Aku sedang muak. Lebih parahnya lagi, muak dengan sedikit perasaan dilema. Karena awalnya memang sudah muak, dengan munculnya perasaan dilema ini, rasa muakku semakin bertambah saja. Itu tentu bukan hal yang bagus.
Aku berkali-kali meremas cover buku yang ada di tanganku. Berulang kali aku berusaha mencakar dan melakukan hal yang pasti bisa membuat buku ini menjerit jika dia bernyawa. Tapi karena buku yang kugenggam kali ini menggunakan hard cover, jadi aku menyerah. Aku menggigit bibir bagian bawah, lalu menghempaskan diri ke kasur.
“Oh, tidak, tidak, tidak. Mimpi buruk. Papa dan Mama mungkin tahu bahwa rumah itu pasti bukanlah pilihan yang bagus. Tapi kenapa mereka ingin membelinya? Desain rumah macam apa itu?” gumamku sambil menggeram tertahan.
Ketika aku menatap handel pintu kamar berputar, spontan aku memutar bola mata dengan malas. “Ooh, ayolah, Pa, kukira rumah itu tidak akan pernah jadi pilihan terbaik kita.”
“Hei? Kamu, kan, belum pernah tinggal di sana. Kenapa bisa menilai begitu, Sherin?” ucap Papa agak geregetan. “Kalau kamu tidak suka desain rumah itu atau kamu benci pada suatu hal yang ada di sana, tetap saja itu yang harus kita pilih,” ujar Papa sambil berdecak, lalu mendekat dan duduk di tepi ranjang anak perempuan satu-satunya ini.
“Aku tidak suka desain rumahnya. Kalau mata kita bisa melihat jelas, rumah itu terlalu kuno seperti peninggalan zaman Belanda,” tukasku. “Jadi jelas, kan, bahwa kita masih punya pilihan rumah lain yang bisa membuat kita nyaman tinggal di dalamnya?”
Seketika itu juga, Papa diam.
“Tapi, Nak, kamu tahu, dari calon rumah baru kita itu, kantor baru Papa sangatlah dekat,” ucap Papa. “Kalau kamu mau bilang kenapa kita harus pindah ke rumah itu dan bukan ke rumah lain di sebelahnya, kamu pasti tahu jawabannya. Semua rumah sudah terisi di sana, tinggal rumah nomor 46 itu saja. Selamat tidur, Sherin.” Papa melenggang berat ke luar kamar, lalu menutup pintu dan membuat ruangan kamar menjadi gelap sekali.
Aku berteriak tertahan, lebih mirip seekor kucing yang mencoba bernyanyi lalu tersedak. Detik itu, ketika aku merasa ada keegoisan dalam pola pikir Papa, aku mendengar suara dering telepon di luar kamar. Lalu dering itu berhenti dan tergantikan oleh suara serak Papa yang berkata, “Halo?”