Pada tanggal 06 Mei 2030 ini, akhirnya kami menetap di rumah nomor 4.
Aku pernah mendengar cerita tentang orang-orang yang hidup sebelum kami. Mereka telah membuat masa depan kami bergelimang teknologi keren. Tapi nyatanya, pada tahun 2030—di mana aku yang masih muda ini sungguh pantas mendapatkan gadget-gadget produksi terkini penunjang kebahagiaanku—entah kenapa aku cuma mempunyai laptop dan komputer, teknologi yang mungkin sudah ada sejak masa lampau, tahun 1900-an. Tidak ada perkembangan yang cukup super pada masa kini. Aku hanya mengenal laptop, komputer, atau modem, dan ... oh ya, aku tidak pernah mengenal alat apa pun yang bisa me-make-up-ku secara otomatis. Tapi okelah, aku, kan, tidak suka di-make-up.
Aku berpangku tangan di dalam kamar baruku yang sudah rapi. Tanpa disuruh, bola mataku sibuk menggeliat ke sana kemari untuk melihat sudut kamar yang tidak ada sarang laba-labanya seperti di rumah lama. Aku sering berpikir, mengapa laba-laba seenaknya membuat sarang di rumah orang, sementara tak ada orang yang membuat rumah di dalam sarangnya?
“Rumahnya memang modern. Aku cukup suka, malah jatuh cinta,” gumamku sambil mengembuskan napas. Rumah nomor 4 ini bergaya minimalis modern dengan cat abu-abu lembut, diperindah dengan halaman yang tak terlalu luas, tapi ditumbuhi banyak tumbuhan segar. Rumah ini berlantai dua, lantai 2 masih kosong dan belum kami pakai untuk apa pun.
Aku bangkit dari kasur empuk dan berlari ke luar kamar, mencoba menemukan kedua orangtuaku. Mama-Papa rupanya sedang membereskan kamar mereka. Aku menyapa mereka yang langsung menatapku dengan senyum lebar.
“Hei, Sherin, suka dengan rumah baru kita?” gurau Papa sambil tetap fokus membereskan kamar. Aku duduk di tepi ranjang sambil mengamati tengkuk mereka yang sudah tidak lagi menatapku.
“Lumayan. Setidaknya enggak seburuk calon rumah kita waktu itu,” kataku. “Semoga aku cepat dapat teman di sini.”
Setelah aku memainkan jari-jari tanganku sebentar, selanjutnya aku berlari ke ruangan atas yang masih kosong dan gelap. Jendela yang tertutup tirai seakan tidak mengizinkan secercah pun sinar matahari menembus masuk ke dalam. Entah kenapa rasa merinding langsung merambat di sekujur tubuhku. Awalnya hanya tanganku yang mulai merasa tidak enak, namun akhirnya meluas ke seluruh tubuh.
Aku tetap berdiri tegak, masih di ujung tangga menghadap lantai 2. Yang kulihat hanya ruangan kosong yang hawanya tidak enak, dingin, dan tidak menyenangkan. Orang bernyali seperti kismis yang mengerut pasti akan langsung lari terbirit-birit melihatnya. Tapi aku, kan, sudah kelas 2 SMP. Aku bisa menertawakan diriku sendiri kalau aku langsung kabur, mengingat yang sedang kujejaki ini adalah rumahku sendiri.
“Oke, enggak ada apa-apa di sini. Sherin, ayo kita turun lagi,” kataku kepada diri sendiri, mencoba berpura-pura ada teman di sebelahku. Oke, aku tidak mau di sebelahku ada siapa-siapa.
Beberapa detik setelahnya, dengan langkah-langkah besar, aku menuruni tangga dan mendarat mulus di lantai 1. Aku kembali melewati kamar Papa-Mama yang pintunya sedikit terbuka. Rupanya mereka masih sibuk membereskan yang masih berantakan di dalam kamar. Dengan sedikit ragu dan alis bertaut, aku mengambil langkah kecil dan sangat pelan, melintasi kamar mereka dan ke luar rumah.
Langsung saja aku merentangkan tangan sambil menggerakkan leherku yang pegal ke kiri dan kanan. Dengan sedikit ragu dan ekspresi konyol, aku langsung mengambil langkah seribu melewati pagar rumah. Sampai di luar rumah, aku melihat ada ibu muda yang sedang menyapu halaman rumahnya di siang hari begini.
“Halo, Ibu, permisi. Kenalkan, saya anak dari pemilik rumah ini. Kami baru sampai siang ini dan langsung menetap,” kataku sambil tersenyum dan sedikit menunduk. “Ya, di rumah nomor 4 ini.”
Ibu itu dengan cepat tersenyum, tapi tiba-tiba dia menatap rumah nomor 4 milik kami dengan ekspresi kosong, lalu menelan ludah dengan susah payah.
“Wah, semoga betah, Anak Muda. Namamu siapa?” kata ibu itu.
“Ya, namaku Sherin,” kataku sambil terus tersenyum. Aku langsung khawatir, lama-kelamaan aku bisa divonis terkena penyakit pipi pegal stadium 5.
“Dengar-dengar, baru saja rumah ini ditinggal penghuni lamanya. Ke mana mereka pindah, Bu?” Dengan pertanyaan serius semacam ini, bisa lebih baik aku tidak menyunggingkan senyum yang terlalu ramah. Ini modus agar tidak senyum melulu.