Spotlight

Mizan Publishing
Chapter #3

bon voyage

This is not acceptable! Keterlaluan. Pokoknya, aku enggak terima. I can’t believe ini terjadi padaku,” katanya dengan gaya bahasa bilingual. Perempuan muda cantik dan berkaki jenjang itu mengipasi dadanya yang terasa sesak, ketika mendengar laporan tidak mengenakkan dari salah satu temannya. Dilihat dari postur tubuh dan garis muka, kemungkinan dia peranakan bangsa Rusia. Sebut saja Si Cantik ini dengan nama Maimun. Kepanjangannya, Maimun Suhidin.

“Katanya memang dia yang bakal pake gaun andalan Master Liem, Kakak,” imbuh temannya sambil memamerkan mimik prihatin. “Sabar eaaa …,” lanjutnya alay.

Dada Maimun Suhidin masih kembang kempis. Dia dan gerombolan kecilnya yang tadi menjauh dari kerumunan rekan seprofesi lain, hanya menatap bengis ke arah seorang perempuan berkulit putih. Perempuan berambut hitam legam sepunggung, memakai topi lebar, celana jins pendek, dan tank top berwarna abu-abu. Tidak disangka, perempuan berpakaian ala petani itu merebut mimpi indahnya saat Master Liem menawarkan kontrak pagelaran couture termegah beberapa bulan lalu.

“Pokoknya, aku don’t want to know, that horrible perempuan jalang itu, harus kita get rid off.” Matanya mendelik-delik antagonis dengan bahasa yang semakin campur aduk.

Sosok yang barusan membuat heboh dengan laporan Master Liem, bertanya. Panggil saja dia Mawar. Tidak Berduri kepanjangannya. “Gimana caranya, Kak?”

“Kita jambak saja?” susul Si Alay.

“No, no, no jambak. Not classy ….”

Mawar menatap Si Alay dengan mata mencela. Sementara yang satunya lagi, yang tugasnya memata-matai gerak-gerik sekitar ... ya, sebagaimana tugasnya ... hanya fokus ke arah sekitar dia. Sebut saja dia CCTV.

Maimun mengembuskan napas. “I have a plan, kalian semua jangan jauh-jauh, stay close.”

“Oke,” jawab ketiganya serempak.

“Nah, come on kita ke sana. Aku sambil cerita our next move, biar Si Jalang taste it.”

Maimun Suhidin membetulkan posisi kacamata hitam, lalu bergerak mendekati kerumunan teman-teman yang lain. Dia dibuntiti ketiga dayang yang juga sama-sama cantik. Mereka melewati pemuda yang sedari tadi memperhatikan keempatnya. Begitu para perempuan itu beriringan melewatinya seperti petugas pengibar bendera, Si Pemuda langsung bersiul.

Rombongan kecil itu tidak ambil pusing, mereka terus berjalan dengan jemawa.

Sang Pemuda memperhatikan mereka terus-menerus, hingga keempatnya membaur dengan yang lain. Mengubah raut wajah menjadi ramah, sambil ber-toast ria mendentingkan gelasgelas sampanye. Bintang di tengah kerumunan itu seorang lakilaki setengah matang: usia cukup matang, tetapi belum matang dalam memutuskan apa dia lebih suka menjadi maskulin atau feminin. Disinyalir bernama Master Liem.

Master Liem bergelar master bukan karena lulus S2 atau pernah menimba ilmu silat. Gelar Master itu julukan karena beliau genius. Meski beberapa menduga gelar master diberikan karena saking geniusnya, dia mempunyai visi dan misi yang agak sulit diterima akal sehat.

Bintang lain di antara kumpulan itu, yang ciri-cirinya disebutkan tadi, mereka sasaran empuk untuk industri santet: Si Kulit Putih, dengan rambut hitam ala model sampo sachet, bertank top abu-abu, dan celana jins pendek.

Si Pemuda mengeluh pelan. Mengapa tadi tidak ikut bergabung saja dalam koalisi perempuan-perempuan itu? Karena Si Pemuda, sebetulnya juga tidak suka kepada perempuan bertank top abu-abu yang mereka sebutkan tadi. Bukan karena perempuan itu model belia dengan bayaran mahal, atau perempuan yang akan menjadi bintang top di Indonesia, bahkan dicap sebagai perempuan yang suka merebut mimpi perempuan lain.

Melainkan karena pemuda itu menyandang status adik kandung Si Rambut Hitam.

Si Perempuan yang menjadi bintang di kerumunan itu bernama Kailani Anestiria atau nama bekennya Kaylan. Biasa dipanggil Ilan atau Cu Pat Kay oleh adiknya.

Kaylan seharusnya jangan disusun menjadi kakak dari Kaiden Adamar, alias Kai, adik yang usianya terpaut empat tahun. Kai bukan tipikal pemuda yang suka dengan kehidupan glamor dan dunia keartisan Sang Kakak. Sebaliknya, Kaylan menuduh Kai hanya terlalu iri, sampai tidak mau mengakui kesuksesannya.

Kai merasa Kaylan itu menyebalkan, sombong, dan tidak peka. Kaylan merasa bahwa Kai seharusnya paham, segala sesuatu itu didapatkan oleh ambisi yang kuat, tekad yang bulat, dan tanpa ampun. Di mata Kai, Kaylan itu sok tahu, sedangkan bagi Kaylan, Kai itu tidak punya tujuan hidup.

Rasanya dulu Kaylan tidak separah sekarang. Kai ingat saat dia berumur delapan tahun, Mami mengatakan setiap bulan Kaylan akan mendapat jatah roti. Sejak saat itu, Kaylan mulai bertingkah bitchy. Rahasia-rahasiaan, merasa superior, dan centil. Kai sampai bingung, roti khusus apa yang diberikan Mami sampai Kaylan seperti domba tersesat.

Lambat laun Kai pun akhirnya mengerti. Sang Kakak sudah mengalami masa puber. Namun dia tidak mengerti, mengapa sikap resek Kaylan tidak pernah luntur. Terlebih setelah menapaki jejak sebagai model dan sejak umur empat belas sudah dikenal banyak orang. Mereka yang tadinya begitu dekat, sekarang menjadi sosok asing bagi satu sama lain.

Kai pun menutup diri, tidak mau tahu tentang Kaylan. Sebaliknya, Kaylan pun tidak merasa perlu mengenalkan Kai ke dunia penuh mimpi itu.

Kai mendesah pelan, memasang earphone yang sempat dilepasnya, setelah berpisah dengan Kaylan saat di kabin tadi. Dia menekan tombol play, mendengarkan salah satu lagu dari playlist yang dibuatnya beberapa hari lalu, demi mengantisipasi kebosanan dan omelan Kaylan.

Suara pesan singkat yang masuk ke messenger menginterupsi lagu. Kai membuka pesan.

Cu Pat Kay: Belon ngunyah beling ya? Suram gitu.

Lihat selengkapnya