Bila berhadapan dengan situasi antara membiarkan keadaan sebagaimana mestinya seolah tak ada apa-apa dan dianggap pacar Revan; atau segalanya berubah dan jadi dikasihani banyak orang; pilihan mana yang harus dipilih Diana?
Bungkam atas kebohongan kecil demi ketenangan sesaat atau jujur secara menyakitkan, sekarang atau nanti, pada akhirnya rasa sakit itu akan datang dengan konsekuensi yang sama.
Pertanyaan itu yang memberondong pikiran Diana tanpa henti.
Untuk saat ini, Diana memutuskan lari dari banyak orang, termasuk makan siang di kantin. Diana tidak jadi memasak dan menyiapkan kotak bekal di rumah. Justru sepulang dari kampus kemarin, Diana membeli roti dan sebotol susu stroberi sebagai jaga-jaga. Demi penghematan waktu, Diana makan dengan lahap lalu bersembunyi di antara kolom rak-rak buku perpustakaan, sibuk memindai buku-buku motivasi. Otaknya terasa panas. Diana tidak paham teori-teori tentang perilaku manusia. Bahkan dia tak paham dirinya sendiri, yang begitu sulit melupakan Revanno Julian.
Gimana kabar lo, Revan?
Diana menggelengkan kepala dengan cepat dan mengenyahkan pikiran itu. Dia mengharamkan kenangan tentang Revan masuk lagi ke dalam kehidupannya. Toh Revan sudah ada di Semarang. Tak akan kembali ke kampus sementara waktu. Semestinya Diana mensyukuri ketiadaan Revan agar cepat move on.
Diana mengembalikan buku yang dibaca ke tempat asalnya. Dia tidak mood membaca. Namun, dia harus menguasai materi kuliah lebih dahulu sebelum besok kena pertanyaan acak dosen. Tidak ada kesempatan bersantai-santai. Oleh karena itu, walau lelah secara psikis, Diana memaksakan dirinya bergerak. Matanya menemukan buku yang diincar berada di puncak rak. Dia harus melompat untuk bisa membawanya pulang.
“Abraham Maslow ya?” tanya sosok bongsor menginterupsi lompatan Diana. “Dia menyakini kebutuhan manusia didorong rasa memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal Hierarchy of Needs. Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.”
Lumayan juga orang ini. Tahu banyak tentang Psikologi Humanis, batin Diana menilai cowok misterius itu.
“Lo pasti membutuhkan kebenaran atas ego lo sendiri. Gue rasa gitu.”
Diana membeku, padahal hujan tidak memasuki ruang perpustakaan. Setiap jendela terkunci rapat tidak mengizinkan angin menerobos seenaknya.
Sosok yang menyapanya itu adalah orang yang meminta rebusan sayur kemarin.
“Lo anak Psikologi, kayak sepupu gue aja,” gumamnya. Lagi-lagi tanpa permisi mengambil buku yang dicari Diana.
“Hm… Ini untuk lo, Pendek,” katanya seraya mengangsurkan buku ke telapak tangan Diana. Dia melewati Diana begitu saja dan berhenti di rak yang lebih dalam, persisnya di area Sastra Inggris.
“Hei, kenapa kamu memanggilku Pendek?”
Cowok itu tertawa. Diana lelah mendongak demi bisa melihat wajah cowok itu. Mereka berbagi makanan, bahkan Diana janji makan bersama lagi kalau menu kantin adalah menu hidangan laut. Kali ini si cowok mengambil buku tebal pilihannya.
Diana tidak tahu nama si pemuda, berikut apa motifnya mengajak bicara. Sekarang cowok itu berani mengatainya pendek. Diana memang pendek dibandingkan pemuda tadi, tapi dia tidak rela dipanggil tidak sopan oleh orang asing.
“Memangnya gak boleh? Gue aja gak tau nama lo,” tanggap si cowok enteng, mengambil acak buku bersampul kusam.
“Diana Stelia Arumi. Panggil aku dengan nama itu. Jangan panggil aku Pendek,” jawab Diana keberatan.