Diana berhasil menghubungi teman seangkatan yang ikut mengulang beberapa mata kuliah. Dia tidak sendirian sekarang, sebab ada yang merasa senasib seperjuangan. Lebih baik bersama dibandingkan sendirian. Tidak akan asing dalam lingkaran mahasiswa baru yang begitu semangatnya mengenal dunia psikologi.
Untungnya Pak Wahyudi tidak memberikan tugas berat lagi. Dosen galak dan tegas itu hanya memperkenalkan beberapa hal pada mahasiswa baru. Minggu besok akan ada kelas debat dengan kelompok-kelompok yang sudah dibagi lewat undian.
Diana merasa lega karena sistem undian. Jadi tak perlu kerepotan mencari kelompok yang kekurangan tim.
Saat nasihat sindiran Pak Wahyudi singgah di telinga mahasiswa senior, Diana meringis mendengarnya. Dulu Diana mudah bolos kuliah. Pergi kuliah sebatas melihat pacar yang membuat perut Diana sesak akan kebahagiaan.
Namun, sekarang resolusinya telah berubah. Diana ingin lebih baik. Menebus waktu yang terbuang dengan belajar keras. Artinya, dia kena amuk ayahnya ketika meminta sejumlah uang untuk belanja buku-buku menyangkut Filsafat, Psikologi, Bahasa dan segala macam lainnya.
Rahardian—ayahnya—menanyakan ke mana uang pendidikan yang telah Diana terima selama ini. Dengan jujur, disertai isak tangis penyesalan, Diana mengakui dirinya tidak benar-benar serius kuliah. Sekarang butuh banyak biaya untuk membeli buku kuliah. Sebab semester ganjil lalu, mata kuliah Diana rata-rata mendapat nilai C. Diana tidak bisa mengambil mata kuliah semester depan karena SKS tidak cukup. Jadi Diana mengejar mata kuliah sebelumnya yang nilainya jeblok. Dia bahkan telat mengikuti semester pendek yang biayanya mahal per SKS.
Diana yang selalu membaur di antara semua kalangan angkatan dan sering muncul di banyak acara foya-foya, kali ini memutuskan jadi penyendiri. Tempatnya sekarang bukan distro dan segala hal berbau keramaian dan belanja-belanja. Diana ingin menghabiskan waktu dengan memakan buku tebal-tebal.
Sekarang kamarnya begitu kosong. Tidak ada boneka dari Revan yang sesak memenuhi ranjangnya. Malah dia merasa sedikit bebas. Suasana hatinya begitu baik. Diana bersiap untuk tidur setelah mencuci pakaian dan mandi ketika ponselnya bergetar.
“Ada apa, Tasya?” tanya Diana setelah mengangkat panggilan.
"Kak Diana, gue kaget lihat daftar presensi kelas C di mata kuliah Pak Wahyudi. Gue nyari lo, tapi lo gak ada di kelas. Nah, kebetulan kita buat kelompok. Lo tidak keberatan jadi ketua kelompok? Soalnya anggota kelompok yakin, Kak Diana bisa membimbing kami dengan baik," ujar Tasya dengan cepat.
“Aku nggak cocok jadi ketua kelompok, Tasya,” kelit Diana.
Diana kepalang malu sekarang. Dia tidak menyangka bakal sekelas dengan Tasya. Adik kelasnya semasa SMA itu sangat mengidolakan Diana, sampai-sampai saat kuliah, Tasya memiliki motivasi besar. Dia ingin satu jurusan dengan Diana pas kuliah. Kalau Diana ikut organisasi kemahasiswaan, Tasya bakal aktif di sana pula.
Diana adalah role model Tasya, mentang-mentang Diana juara satu paralel saat SMA.
Diana tidak punya prestasi apa-apa setelah statusnya jadi mahasiswi. Nilainya jeblok semua. Mana pantas dijadikan ketua kelompok debat di kelas Pak Wahyudi.
“Kenapa tidak memilih teman-teman lain saja?”
“Karena Kak Diana lebih tahu dibandingkan kami. Kak Diana, kan, sudah semester 5, jadi lebih punya pengalaman.”
Ketahuilah Tasya, beberapa tahun kuliah tidak menjamin kapasitas otakku kaya teori. Aku semakin melupakan pelajaran di sekolah. Semuanya karena aku yang bodoh diperbudak cinta.
Jeritan batin Diana menggema dalam lorong-lorong kenangan yang melesat tanpa liku. Seraut wajah Revan tersenyum menyodorkan cone berisi vanilla cream kembali hadir. Diana dan Revan jalan-jalan di pinggir jalan pada hari rabu, tepat ketika semestinya Diana dapat giliran presentasi. Mereka membolos bersama di semester lalu.
Betapa tololnya dia saat itu. Diana jauh lebih buruk dibandingkan mahasiswa baru seperti Tasya.
Tahun ini kan beda. Waktunya berubah.
Semangat Tasya semakin membara setelah Diana menyepakatinya. Dari pada mengelak, lebih baik Diana mencari referensi lainnya. Malam itu, Diana begadang sampai nyaris subuh demi mempersiapkan diri, kalau-kalau besok siang—tepatnya nanti siang—Tasya dan anggota kelompok lainnya bertanya macam-macam. Biasanya senior seperti Diana memberikan wejangan sukarela.