Langkah Diana begitu lambat. Di cuaca yang dingin ini, dia membiarkan sensasi dingin merambati kakinya. Angin yang berembus kencang membuatnya menggigil. Peralihan musim kali ini terbilang ekstrim, sehingga hujan turun lebih cepat. Sepanjang jalan, Surabaya menjadi semakin mencekam.
Diana Stelia Arumi tidak punya pikiran untuk menikmati suasana hujan. Diana sengaja menyegel keinginannya jalan-jalan. Seolah kertas jadwal ditempelkan di kening sehingga Diana bisa membacanya sampai hafal.
Tidak ada pengampunan. Tidak ada kebahagiaan.
Diana harus fokus kuliah.
Lulus tepat waktu. Cari kerjaan. Sudah cukup untuk menghadapi kehidupan yang sulit di depan mata.
Sebuah pengkhianatan telah meredupkan dunianya. Tak ada warna-warni yang menghiasi Diana layaknya bunga-bunga di taman kampus. Hanya hitam dan putih yang tampak. Segala emosi yang begitu indah memikat selama ini, hanyut bersama rasa sakit hati.
“Kak Diana!” panggil Tasya menepuk pundak Diana dari belakang. Senyumannya lebar dalam bulatan pipi tembam.
Wajar kalau Tasya bahagia menikmati masa perkuliahan. Dia menikmati masa sebagai mahasiswi baru. Pada semester kedua, Tasya bakal menggila seperti Diana sebelumnya. Dan semakin bertambah semester, semakin sulit saja tugas-tugas yang diberikan dosen. Diana saja tidak punya waktu untuk bersosialisasi dengan teman seangkatannya di semester 5. Hanya ada individualitas di mana-mana.
“Mau balik ke rumah?” tanya Tasya menyamai langkahnya dengan Diana.
Diana mengangguk seperti robot. Dia menyesal tidak menyisipkan earphone, agar pura-pura tidak mendengar panggilan orang lain. Diana hanya ingin bersikap apatis.
“Kebetulan sekali, gue juga mau pulang naik ojol.”
Diana tetap diam, walau sedikit penasaran mengapa Tasya, si anak manja itu berani naik gojek. Sepengetahuan Diana, Tasya punya sopir pribadi yang mengantarnya ke mana-mana. Gadis kaya raya itu tidak perlu merasakan yang namanya hidup berdesakan di dalam kendaraan umum atau jasa antar berbasis daring.
“Iya.”
“Kak Diana naik ojol apaan? ”
“Gojek.”
“Ah ya, kebetulan sama! Aku juga pake gojek. Tapi abangnya lama. Masih jauh.”
Diana tidak perlu menjawab. Dia tidak tertarik untuk mendengar celotehan Tasya. Diana melangkah ke halte di seberang kampus. Driver langganannya akan datang lima menit lagi, tetapi cuaca tidak pernah memberi ampun. Tanpa permisi, hujan turun menerjang kota Surabaya. Kedua gadis itu berlari ke halte yang berjarak seratus meter.
Sebenarnya halte itu sekadar sebutan. Aslinya hanya pos kecil untuk tempat pertemuan antara driver ojol dan pelanggan. Halte mini itu kecil, tetapi penuh sesak orang yang berteduh. Diana dan Tasya berdiri di pinggir bangunan halte yang sempit.
Keduanya sepakat dalam diam dan berharap tidak ada tambahan orang yang berjubel. Mengingat jumlah orang-orang yang memenuhi halte, Diana cemas driver ojolnya diembat orang lain. Selain itu, kaki Diana pegal bukan main mengenakan hak tinggi. Dia ingin memakai sepatu kets saja.
Tasya sibuk dengan ponselnya. Namun, dia tidak sabaran menunggu balasan chat. Tasya langsung menelpon minta jemputan.
“Bang, lo di mana?” tanya Tasya. Tanpa sadar menggigiti ujung kuku. “Gue ada di halte kampus. Ya, depannya toko roti Emeralda. Cepetan!” lanjutnya setengah mendesak.
Sepuluh menit kemudian, sebuah mobil SUV berhenti tepat di halte. Jendela kaca bagian depan dibuka. Diana terkesiap mendapati sosok yang dikenalnya duduk di kursi sopir.
Diana dan Arkaan bertemu pandang. Tidak mungkin Putra Arkaan Daniel menolongnya lagi dengan tumpangan mobil. Anehnya pemuda itu seolah tahu di mana pun Diana berada.
Bibir Diana kering. Dia memalingkan muka, pura-pura tidak melihat. Diana lebih tertarik pada ujung sepatunya yang kotor kena lumpur, memastikan bahwa dia akan mencucinya sesampai di rumah.
“Ayo, Kak Diana.” Tasya menarik lengan Diana dengan gesit ke arah mobil SUV. Diana langsung mundur ke arah halte, sementara Tasya sudah kehujanan. “Kami akan mengantarmu pulang. Kita searah. Ayo!”
Tasya menyeret. Pancaran mata berbinar adik kelasnya membuat Diana terhipnotis. Dia tidak bisa menolak kebaikan Tasya. Tak ada pilihan. Apalagi drivernya mendadak main cancel. Diana mengikuti langkah Tasya. Mereka duduk di jok belakang mobil Arkaan.
"Lo kira gue sopir Grab?" tanya Arkaan.
"Iye!" sahut Tasya.
"Duduk di depan, kenapa? Masa penumpang dua-duanya duduk di belakang?" tanya Arkaan.
“Biarin. Bang Arkaan lama amat sih!” protes Tasya sengaja membanting pintu keras. Bibirnya mngerucut. Dia merajuk pada Arkaan.
Diana mengatupkan bibir. Dia akui sangat penasaran dengan hubungan Tasya dan Arkaan. Keduanya sangat akrab, apalagi pada cara bicara Tasya yang manja.
“Gue lupa mobil ini diparkir di mana. Ternyata parkir gedung Ekonomi,” balas Arkaan melirik penumpang bawelnya lewat kaca spion. “Halo, Pendek!” sapa Arkaan.
Diana menghela napas. Dia membuang muka ke arah jendela. Pura-pura tidak mendengar sapaan kurang ajar itu.
“Bang Arkaan kenal Kak Diana?” tanya Tasya penasaran. “Kapan kenalnya? Ah, gaya amat Bang Arkaan, sudah punya teman. Gue kira lo anti sosial. Baru pindah dari Jakarta sudah membaur,” cerocos Tasya.