Debat antara kelompok Diana dan kelompok lain berjalan dengan sengit dan seru. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, benar atau salah, menang atau kalah, baik atau buruk, kunci dari penilaian dihitung seberapa kuat argumen awal dipertahankan.
Kelompok Diana akhirnya mendapat skor tertinggi. Dosen yang mengampu mata kuliah sangat terkejut mendapati perubahan signifikan tentang Diana. Mulanya sang dosen bakal memberi nilai C; seperti biasa. Nyatanya mata Diana berkilat mengetahui kelemahan sang lawan. Dia langsung memangkas habis pernyataan lawan debatnya dalam satu kalimat.
Atas kekompakan kelompok Diana, setiap anggota diganjar nilai paling rendah adalah B. Kalau bukan karena kerja sama yang solid serta penyatuan argumen sejak awal, tentu saja kinerja kelompok bisa hancur lebur.
Diana sangat lega kerja kerasnya begadang selama ini menorehkan hasil yang manis. Dia semakin bersemangat untuk mengerjakan tugas-tugas selanjutnya. Bukannya bersantai atas pencapaian itu, dia malah ingin belajar lebih giat lagi. Rasa puas itu seolah tidak berkenan masuk di hatinya. Dia sudah merencanakan untuk menambah bacaan di perpustakaan. Membabat habis teori Nietzche dalam satu kali duduk.
Namun, rencananya terhalang dengan kehadiran Arkaan. Pemuda itu menyeringai dan menyeret Diana agar tidak memasuki perpustakaan.
“Hai, Pendek,” sapa Arkaan. Lengan panjangnya yang kokoh menarik tudung jaket Diana.
Gadis itu nyaris terjengkang ke belakang. Dia berjalan mundur mengikuti langkah Arkaan. Cara Arkaan menggiring Diana tak ubahnya domba yang dipaksa masuk kandang.
“Ngapain kamu? Aku sibuk, tau!” sergah Diana akhirnya memutar badan. Kini Diana bisa berjalan dengan benar, meskipun kerah belakang jaketnya masih dipegang Arkaan.
“Beliin gue makanan,” kata Arkaan sekenanya.
Diana agak khawatir dengan keadaan dompetnya yang kosong. Mengingat dua kali Arkaan mentraktir makanan enak—dan yang terakhir—Diana sudah mengecek harga steik premium itu mahal bukan main. Steik sapi saja dihargai Rp. 95.000 per porsi. Bagaimana dia bakal bisa membelikan makanan untuk Arkaan yang seleranya tinggi itu?
“Arkaan, bisakah makannya ditunda? Aku ingin belajar.”
“Gue pengen makanan yang mudah didapatkan. Ayo!” bujuk Arkaan tak peduli.
Keduanya berjalan melintasi halaman kampus yang berangin. Betapa herannya Diana saat tahu ke mana Arkaan membawanya pergi. Bukannya naik mobil seperti beberapa hari yang lalu, Arkaan malah masuk ke minimarket seberang kampus. Pemuda itu memilih minuman kaleng dingin dari kulkas, lalu beralih ke sisi rak di belakangnya dan mengambil begitu saja mengikuti warna kemasannya.
Diana membayarkan belanjaan Arkaan yang tidak seberapa. Kekesalannya bertumbuh. Jika tahu apa yang Arkaan beli, lebih baik Diana memberikan uang langsung dari pada ikut pergi ke minimarket demi sepotong roti sobek.
“Bukannya makan semangkuk bakso, kamu memilih roti? Nggak bisakah kamu lebih pengertian pada kesibukanku dengan milih makanan yang lebih baik?” sindir Diana antara kesal sekaligus geli.
Arkaan acuh tidak acuh. Dia mengunyah rotinya Begitu nikmat sampai membuka kemasan yang kedua.
“Terima kasih makanannya, Pendek.”
Pemuda itu langsung menyeberang jalan, kembali ke kampus. Membiarkan Diana tercengang. Diana jelas menggerutu karena Arkaan meninggalkan bungkus roti dan botol minumannya yang langsung tandas.
Matanya menyipit menyadari ini akal-akalan Arkaan untuk menemui dirinya. Andai saja hari ini Diana membawa uang yang cukup, dia akan membereskan utangnya dan tidak mau terlibat dengan Arkaan lagi.
Sayangnya Diana pantang meminjam ke orang lain jika tidak benar-benar dekat. Sedikit penyesalan membekas di hati Diana. Semalam Diana kalap membeli buku Psikologi lagi. Setelah kena omelan terpanjang dari Rahardian, Diana agak segan meminta uang lagi. Jadi dia terus menghemat uang jajan demi buku mahal itu. Jika Diana bisa menahan diri tidak beli buku, tentu hari ini bisa menyimpan uang untuk makanan.
“Apa aku cari kerja sampingan, ya?” tanya Diana putus asa. Raut wajahnya yang serius menampakkan dia ingin secepatnya menyelesaikan masalah yang mudah itu.
Bukannya ke perpustakaan lagi, Diana malah berkeliaran sepanjang jalan untuk mencari lowongan kerjaan. Dia juga khawatir tidak bisa membagi waktu antara kerja dan kuliah. Bagaimana pun juga, kapasitas ilmu Diana masih kosong.