Pagi berlangsung dengan cepat. Diana bangun lebih awal dengan perasaan segar. Dia langsung membuka pintu kulkas untuk mengeluarkan bahan-bahan kimbab. Semalam Diana sudah mengupas dan mengiris beberapa sayuran, jadi dia tinggal menumis ayam, menggoreng telur dadar yang diiris tipis panjang sambil menunggu nasi mengepul matang. Nasinya pun menggunakan resep khusus.
Tepat pada jam enam pagi, anggota keluarganya sudah bangun. Diana sudah selesai menggiling tiga puluh kimbab yang dilapisi kertas foil. Sepuluh gulung kimbab disimpan dalam kotak kedap udara. Diana menyimpannya ke ransel. Dia tidak ingin menenteng kotak secara mencolok.
Diana bersiul riang sambil mengeringkan rambutnya usai mandi ketika adik laki-lakinya, Dion Ariski Pratama duduk di meja makan. Mulut Dion sibuk mengunyah potongan ujung kimbab yang renyah.
“Mbak, biasanya sampeyan pake kepiting. Kenapa jadi ayam?” komentar sang adik penasaran. “Rasane bedo tenan. Ada apa dengan nasinya? Hambar sekali,” tambahnya terus menilai rasa yang berbeda. Tentu saja Diana tidak menambah kaldu ikan teri ke beras.
Dion sangat hafal masakan kakak perempuan dan ibunya yang khas. Bila ibunya bisa memasak segalanya, spesialisasi Diana adalah kimbab isi kepiting.
“Gak usah dimakan kalo gak enak!” sungut Diana merampas potongan ujung kimbab-nya dari tangan Dion.
“Huh, galak tenan. Tumben masak sepagi ini, mau diberikan ke Mas Revan, ya?”
Nama itu muncul lagi. Disebut mulut Dion yang belum sikat gigi.
Sialan kamu, Dion!
Diana berbalik menjejalkan potongan kimbab paling besar ke mulut Dion yang cerewet. Diana tidak tahan dengan adiknya. Dalam kesempatan apapun, Dion akan mengungkit Revan. Adiknya tidak sengaja melihat Diana berciuman dengan Revan di ruang tamu. Mulanya Diana mengira rumah bakal kosong karena orang tuanya pergi ke Palembang untuk menghadiri pernikahan salah satu anak koleganya. Siapa yang menyangka, Dion yang tiap akhir pekan ada di warnet untuk main game, malah pulang lebih awal.
Semenjak itu, apapun yang berkaitan dengan Diana—mau dia belajar mati-matian seperti sekarang—Dion mengira Revan menantang Diana kalau IP naik, ciumannya bakal lebih panas lagi. Dan sampai hari ini, Dion belum tahu hubungan kakaknya dengan sang pacar sudah berakhir. Anak itu tidak pandai menilai situasi yang berubah selama Diana tidak memberitahunya. Adik dan kakak itu tidak pernah saling mengutarakan urusan pribadi satu sama lain.
Tak heran, Diana paling tersiksa seperti pagi ini gara-hara Dion.
“Jangan banyak mulut! Cepat mandi sana! Dasar kemproh!” Tanpa ampun, Diana mengibas keras handuk di kepalanya ke tempurung kepala Dion.
“Mbak Diana!”
Diana menutup pintu kamarnya. Dia mengatur napasnya yang mendadak sakit. Diana tidak bisa berlama-lama melamunkan Revan. Seperti dirinya, Revan pasti sibuk dengan kegiatannya sendiri. Mana mungkin sempat memikirkan mantan pacar yang mudah ditipu karena kebodohannya sendiri?
Alhasil Diana bergegas pergi ke kampus dan mengejar angkot. Aktivitas perkuliahannya hari itu berlangsung biasa. Sampai pertengahan siang, kelas dibubarkan. Diana berulangkali menguap lebar. Semalam dia tidur larut dan bangun pagi lebih awal. Dia lekas membuka pesan grup bentukan Tasya untuk menanyakan posisi anggota grup.
“Tasya, Arkaan, kalian di mana?”
“Gue di rumah,” balas Tasya cepat.
“Tidak pergi ke kampus?”
Gak. Kelas diliburkan mendadak.
AAAAA!!! YA AMPUN GUE LUPA! Sorry, ciusan! Lo, kan, bikin makan siang, ya? Aduh gue harus gimana?”
Bisa ditebak dari teks kapital Tasya, gadis itu sedang kacau. Mau bagaimana lagi, tidak mungkin Tasya datang sekarang untuk mencicipi kimbab.
"Ya sudahlah. Tidak apa-apa, nanti kuberikan pada Arkaan.”
“Seriously, I am sorry, Sister. :(”
Tidak ada yang menduga rencana bisa dijungkirbalikkan begitu saja. Diana langsung menghubungi nomor Arkaan. Dia tidak bisa membawa pulang kimbab ayam itu. Dia tidak menggunakan air kaldu ikan teri demi menambah gurih nasinya. Tidak menggunakan daging kepiting. Semuanya dilakukan agar Tasya dan Arkaan bisa makan.
Memang menyebalkan si Tasya itu.
“Halo?”
“Arkaan?”
“Ya?”
“Kapan kelasmu selesai?”
“Ini baru aja selesai. Kenapa?”
Diana tak perlu repot bertanya ke cenayang. Dia bisa menebak Arkaan belum mengecek percakapan grup.
“Aku tunggu di halaman fakultasku. Rencananya ngajak Tasya dan kamu makan siang di halaman. Tapi Tasya nggak masuk kuliah. Jadi ambil saja kimbab-nya dan bagikan dengan Tasya, ya?”
“Baiklah. Sampai jumpa lima menit lagi.”
Diana mendadak gugup. Dia tidak ingin makan bersama Arkaan di area kampus. Padahal keduanya seharusnya sudah terbiasa makan satu meja. Anehnya Diana seperti berhalusinasi. Dia takut Revan muncul untuk menghakimi. Gadis itu selalu mengatakan Revan satu-satunya pria yang paling Diana cintai di dunia ini setelah sang ayah. Namun, sesakit apapun Diana dikhianati Revan, rasanya Diana tetap bersalah.
Arkaan muncul seperti yang dijanjikan. Dilihat dalam aspek apapun, penampilan Arkaan menarik perhatian. Tinggi jangkung dengan bahu lebar mempertegas sikap kerennya.