Arkaan mengantar Diana pulang ke rumah sore itu. Tidak pernah Diana duga kalau dalam sekejab menerima begitu saja hubungan tak jelas ini untuk saling mengandalkan satu sama lain. Mereka orang asing yang mendadak dekat tanpa alasan pasti. Memiliki komitmen selalu bersama, tetapi jika berpisah, tidak perlu sakit hati atas kehilangan itu.
Semestinya kalau memang jadi teman, ya tak perlu seperti ini. Secara naluriah pertemanan bisa putus jika tidak saling kontak dan ada perbedaan kegiatan. Tetapi kalau percintaan? Sekali putus, hanya tersisa rasa sakit saat berusaha keras untuk tidak diingat, tetapi susah dilupakan.
Diana menganggap Arkaan seperti Dion. Sebatas saudara.
Lebih baik mengganggap begitu dari pada suatu hari tenggelam dalam perasaan yang lebih dalam. Toh Arkaan sudah mengatakan jika sewaktu-waktu hubungan mereka berakhir, tak akan merasa ada yang tersakiti gara-gara cinta sepihak. Paling tidak, Arkaan tahu Diana dalam fase patah hati, masih berat hati melepas Revan sekali pun Revan berani selingkuh.
Dalam bilik hati Diana, dia masih ingin mengelabui ingatan buruk itu. Revan tidak sejahat itu. Revan-nya sosok setia yang akan selalu ada untuk Diana. Suatu saat Revan pasti bakal kembali.
Hanya tinggal menggali alasan Arkaan ingin dekat tanpa hubungan yang pasti. Pemuda itu punya alasan mengapa dia tertarik pada Diana. Jadi, dia bersikap biasa saja. Tidak banyak yang Diana lakukan bersama Arkaan.
Mereka bertemu setiap saat selama di kampus. Makan di kantin dan bertukar lauk. Belajar di perpustakaan, duduk bersebelahan dalam keheningan fokus pada tugas atau bacaan masing-masing. Terkadang Arkaan mengajak Diana jalan-jalan keliling kota demi melepas penat. Destinasi mereka mencari makan sekarang tak hanya ke Malang. Arkaan setuju saja dan langsung berangkat saat Diana mengusulkan makan sego tempong di Banyuwangi yang ditempuh enam jam dengan kereta api.
“Hei, ajak Tasya. Kita jalan-jalan cari kerang di pantai,” usul Arkaan sambil menutup bukunya.
Arkaan sangat suka buku. Bacaannya tidak selalu tentang tentang sastra Inggris. Bacaannya variatif. Hari ini ekonomi praktis, besok filsafat, lusanya komputer. Tak heran diskusi dengan Arkaan asyik. Sekonyong-konyong ingin pergi di tengah bacaan tentang agama.
"Serius? Ke mana emangnya?"
"Banyuwangi?"
"Waktunya nggak cukup."
"Ya sudah. Ke Probolinggo aja."
“Musim begini mana ada?” Diana sangsi. Dia menggarisbawahi kutipan buku dengan pensilnya. Rambutnya yang dikuncir tinggi menunjukkan betapa seriusnya Diana.
Arkaan sudah hafal kapan Diana pusing dengan tugasnya dan kapan santainya lewat mode rambutnya. Bila digerai, Diana lebih mudah diajak kompromi. Waktunya bisa dibagi untuk interaksi dengan orang lain. Tetapi kalau dikuncir ala ekor kuda, ada pengencangan konsentrasi sekuat ikat rambut menarik helai hitam rambut Diana.
“Bisa. Kita berangkat besok subuh. Sampai ke sini sebelum jam 12 malam. Bagaimana?”
“Kamu yakin menyetir jauh?”
“Tentu saja.”
“Tidak usah. Lihat aja matamu yang merah kurang tidur. Tadi kamu bilang tidur jam lima pagi dan berangkat ke sini jam tujuh. Sopirnya kurang tidur begini. Aku nggak mau jadi korban sial karena menumpang mobil yang terlibat kecelakaan," tepis Diana.
“Baiklah. Gue pulang sekarang untuk tidur. Pastikan lo siap besok pagi!”
“Nggak!”
Arkaan tidak mengindahkan Diana. Dia menandai bagian bacaannya lalu dibawa ke loket pustakawan untuk dibawa pulang ke rumah.
Begitulah Putra Arkaan Daniel.
Impulsif tapi tahu kapan dirinya harus mengisi energi dan beraktivitas. Diana tak habis pikir mengapa harus berurusan dengan Arkaan. Belakangan ini Diana mulai jarang membaca. Di perpustakaan, kadang dia membaca novel menemani Arkaan yang sibuk dengan esainya.
"Mendadak banget. Gimana aku minta izin ke orang tuaku? Nggak mungkin subuh-subuh menyelinap keluar," gumam Diana.
"Izin aja nginep buat lembur garap tugas kelompok di kosan temen. Gampang kan?" usul Arkaan.
Diana cemberut. Tetapi dia mengeluarkan ponsel.
“Tasya, gimana kalau besok kita pergi menikmati kerang? Aku pengen makan kerang,” tulis Diana lewat chat personal.