Spring Breeze

Ratna Aleefa
Chapter #9

#9 Lain Kali

“Lo gak apa-apa?” tanya Arkaan memecah keheningan. Pemuda itu tersenyum kecut mendapati Diana sedari tadi hanya diam membisu. Untungnya gadis itu tidak mencoba untuk melepaskan tangannya. Bagi Arkaan, itu sudah cukup menjawab bahwa Diana menerima apapun hubungan mereka. Namun, Arkaan tahu, mereka masih belum cukup dekat untuk hal-hal lain.

Mereka masih berjarak. Arkaan harus lebih bersabar dalam menyikapi hubungan mereka. Memangnya belum genap sebulan sudah berani pelukan? Apalagi mereka juga tidak kencan buta, walau kelihatannya sudah seperti itu.

Perjalanan kali ini benar-benar indah. Bulan Oktober mulai cerah. Dunia tampak lebih hidup mengikuti pergantian bulan. Walau gelap, suasana kota lebih riuh dengan kesibukan sepanjang jalan. Arkaan ingin berhenti di rest area, menikmati makanan enak. Dia sedari tadi menahan diri melihat kenikmatan yang diterima Tasya dan Diana saat makan kerang.

Dia tidak bisa mengambil risiko masuk UGD seperti dahulu saat SMA. Arkaan iseng membeli burger udang saking penasarannya. Imbasnya saat matanya terbuka, dia sudah ada di rumah sakit dengan badan memerah sekujur tubuh dan kesulitan bernapas. Sebuah selang oksigen menancap masuk ke mulutnya. Selama dua hari Arkaan tergolek lemah di ranjang. Berjanji tak akan menyentuh yang namanya olahan laut lagi.

Hari itu, setelah berminggu-minggu memasuki dunia kampus, Arkaan putus asa mencari teman satu meja. Dia tidak bisa menyisakan makanan sekali pun makanannya adalah makanan terlarang baginya sendiri. Tadinya Arkaan sudah menghubungi Tasya, sayangnya partner makannya selama ini tidak sudi balik ke kantin kalau disuruh memakan sup kepala ikan. Seperti kebetulan, dia melihat seorang mahasiswi tampak lahap memakan sup kepala ikan.

Arkaan nekat saja duduk di depan gadis yang mengeryitkan dahi. Wajar kalau Diana bersikap demikian. Dia tidak kenal. Sama halnya Arkaan. Rasa percaya diri Arkaan tak bisa dibendung. Dia menarik simpati si gadis dengan keadaannya yang alergi ikan laut. Mereka makan dengan tenang 

Betapa senangnya Arkaan karena gadis itu yang menawarkan diri untuk menemaninya makan kalau menunya adalah hidangan laut. Arkaan tidak tahu namanya, sampai akhirnya Diana tidak terima dipanggil Pendek. Sikapnya yang dingin membuat rasa penasaran semakin tumbuh di hati Arkaan. Arkaan sangat tertarik pada gadis itu.

Jika sup kepala ikan adalah kebetulan yang menjadikan mereka teman makan siang, maka Tasya adalah jalan penghubung. Tasya seenaknya membawa teman buat ikut pulang bersama ketika hujan turun deras. Rasa penasaran itu semakin membuncah. Arkaan teringat keinginannya untuk pergi dengan Tasya. Rencana itu tidak bisa ditunda. Jadilah mereka pergi ke Malang.

Semenjak itu Arkaan merasa semakin dekat dengan Diana. Sampai hari ini, genggamannya masih erat. Arkaan masih menunggu gadis itu merespon pertanyaannya.

Gelengan kepala Diana akhirnya menjawab pertanyaan Arkaan.

“Sedari tadi lo diam terus.”

“Aku bingung harus bicara apa.” Diana menjawab pelan.

“Ayo, beli kopi dulu. Gue sudah mulai mengantuk.”

Arkaan memperlambat laju mobilnya setelah menemukan ruas jalan yang ramai pertokoan. Dia menepikan mobil dan meminta Diana menemaninya duduk di dalam kafe. Dibiarkan jendelanya sedikit terbuka agar Tasya bisa bernapas. Tasya masih susah dibangunkan, jadi Arkaan merenggangkan badannya lebih santai dengan duduk di bangku kayu kafe.

“Lo gak laper?” tanya Arkaan, teringat tujuan utamanya ingin berhenti menyetir di rest area.

“Tidak. Mau aku beliin sesuatu?” tanya Diana menyadari keinginan Arkaan.

“Sebenarnya sih lapar. Tapi kalau lo gak mau makan, ya sudah gue gak makan.”

“Jangan begitu. Ayo kita pindah ke restoran itu. Tempat ini hanya menyediakan minuman saja,” ajak Diana.

Lihat selengkapnya