“Bang Arkaan, lo kencan dengan Kak Diana ya?” tanya Tasya dengan pandangan menuduh sesampainya mereka di rumah Tasya.
Arkaan mengedikkan bahu. Dia melempar jaket kulitnya ke sofa. Kakinya yang panjang diselonjorkan ke sofa. Malam ini Arkaan lelah dan tidak ingin pulang ke rumahnya sendiri. Dia akan bermalam di kamar tamu. Kamar tamu itu nyaris bisa dibilang kamarnya Arkaan saking seringnya Arkaan berkunjung.
“Kita cuma teman dekat,” tepis Arkaan berusaha memejamkan mata.
Sorot mata Tasya menunjukkan kekecewaan. “Kencan juga tidak apa-apa. Gue sangat mendukung lo,” katanya dengan mulut mencebik.
“Sudah sana! Anak kecil jangan ikut campur urusan orang dewasa!” usir Arkaan lewat tendangan kakinya ke udara.
“Huh… Padahal gue senang sekali liat lo ceria lagi. GUE DOAKAN LO MENIKAH DENGANNYA!”
“Tasya Devika!!”
Tawa membahana Tasya pecah malam itu. Anak itu benar-benar usil, pergi ke kamarnya di lantai atas sebelum Arkaan memitingnya.
Arkaan hanya menatap atap dengan pandangan penuh tanya. Teringat bagaimana mereka menjalani hubungan simpel selama ini. Kenangannya tentang gadis bernama Diana Stelia Arumi terus tergiang-giang. Tawanya, senyum sinisnya, perdebatan kecil mereka, dan genggaman tangan yang hangat di mobil.
Jangan!
Terlambat untuk mencegahnya. Arkaan terjengkang jatuh ke labirin hati yang selama ini dia tutup rapat. Tanpa permisi, mimpi itu mencekiknya. Arkaan terus berlari, mencari suara gadis tertawa. Arkaan mengenali gadis berambut hitam sedang merobohkan istana pasir yang dibangun Arkaan. Bukannya marah, Arkaan malah mengejarnya.
Si gadis berteriak kegirangan saat Arkaan menangkapnya. Mereka berputar-putar, lalu Arkaan memeluknya dari belakang.
Deru ombak, pepohonan melambai, desau angin, terik matahari, jus nanas yang kuning cerah, menandakan tempat itu ada di salah pantai. Empat tahun berlalu, tetapi Arkaan memang terperangkap pada kenyataan yang terekam permanen dalam otaknya. Mereka sepakat untuk kembali ke payung parasol merah jambu di mana pesanan mereka sudah tiba.
“Arkaan, ayo suapi gue!” bujuk wanita bergaun terusan orange bermotif bunga yang mencolok. Salah satu daun telinganya disematkan bunga lily.
Arkaan menurut. Dia langsung memberi potongan roti pada si gadis.
“Hei!”
Dengan sengaja, gadis itu menggigit jemari Arkaan. Dia tertawa bisa mengerjai Arkaan sepanjang hari. Betapa menyenangkan menghabiskan waktu bersama pria yang dicintainya. Gadis itu balas menyuapi Arkaan dengan daging lobster panggang. Ah ya, Arkaan tidak masalah makan lobster, juga kerang dan apapun yang berasal dari laut demi menemani Irene makan. Mereka sangat menikmati makan siang di tepi pantai berpasir putih.
“Irene,” panggil Arkaan terus menyuapi gadis itu. Irene menggelengkan kepala. Dia sudah terlalu kenyang.
“Makan aja.” Irene mengelak. Dia menutup mulut tak mau mengunyah lagi.
“Ya udah gue abisin sendiri.” Arkaan memesan menu yang berbeda. Dia benar-benar ketagihan. Kali ini Arkaan memilih kepiting raja. Disantap sendirian sementara Irene berjemur santai sambil mengoleskan sun block untuk yang kedua kalinya.
“Arkaan!” panggil gadis itu semerdu musik.
Arkaan tidak mengindahkan Irene. Dia sangat menikmati suguhan dari laut. Betapa enaknya kepiting yang meleleh di mulutnya. Kemudian dia merasakan sensasi hangat menggerogoti tenggorokannya. Kehangatan itu semakin berpijar membakar kepalanya, lalu turun ke perutnya. Dan akhirnya, ada sesuatu yang menghambat di paru-paru Arkaan. Arkaan tersedak lantas kesulitan bernapas.