Bulan Nopember datang lebih cepat. Segala tanaman yang tertidur, kali ini terbangun. Tunas-tunas dedaunan mulai tumbuh. Kuncup-kuncup bunga bermekaran. Orang-orang mulai mengenakan pakaian tebal, termasuk Diana.
Dia mulai sibuk dengan magang. Sudah seminggu yang lalu dirinya menjadi anak magang. Betapa takjubnya Diana dengan kehidupan barunya. Sejauh ini, Diana belum melakukan kesalahan fatal. Kegiatan Diana tidak begitu banyak. Dia hanya duduk di meja, menghadapi situasi rumit yang terjadi antar staf dan calon artis. Pantas saja Big Treasure menerima anak magang setiap tiga bulan sekali. Paling tidak, menjadi penyampai kabar buruk tidak akan terlalu berdampak buruk bagi para pemagang, agensi dan artis yang bernaung.
Diana hanya tersenyum simpatik dan tidak banyak memberi wejangan demi menenangkan para model yang mendapat review bulanan terburuk, lantas didepak karena tidak ada harapan lagi. Menjadi seorang selebritis susahnya bukan main. Tak heran ada banyak harapan anak muda yang lantas ambruk karena tuntutan tinggi atas kesempurnaan di dunia modeling.
Anehnya, hal ini membuat Diana sangat lelah. Pulang larut malam demi mendengarkan orang menangis putus asa. Dia melepaskan kalung staf yang membelit lehernya sejak jam delapan pagi. Tali kalung itu biasa saja. Justru itu yang mecekik Diana bahwa tanggung jawab ada di tangannya, sekecil apapun jabatan yang dimiliki Diana. Dia sadar, status magang tak ubahnya dalam pertandingan banteng. Terserah mau jadi bendera merah, atau matador, semuanya mengandalkan otak.
Diana pulang sambil melepas sepatu. Kakinya pegal mengenakan sepatu hak. Sepanjang hari ini dia jauh lebih sibuk dari pada hari-hari sebelumnya. Dia menerima hasil evaluasi para artis yang tidak berhasil. Dua bulan lagi adalah masa perilisan model baru Big Treasure yang dikontrak dan dikirim ke Jakarta.
Mata sayunya melihat lalu lalang kendaraan yang semburat ke segala arah. Gadis itu mengandaikan suatu hari saat berhasil kerja di kantoran, pulang naik mobil sendiri. Betapa enaknya saat posisi pekerjaannya lebih tinggi. Diana tidak perlu lagi naik angkot atau bus. Dia tidak akan berdesakan gara-gara tidak kebagian tempat duduk, tidak akan menggantungkan sebelah tangannya ke besi lingkaran dan lengan lainnya memegang sepatunya.
“Pendek!”
Diana mengedarkan pandangan bingung. Di sebelah trotoar, mobil SUV warna perak menepi tanpa mematikan mesin. Diana langsung mengenali siapa pengendara mobil itu.
“Sudah aku bilang jangan panggil aku seperti itu!” Diana mengeluh. Dia tidak suka julukannya. Walau kenyataannya, Diana memang lebih mungil dibandingkan teman sepantarannya. Mau pakai bantalan sepatu sepuluh centi pun, Diana tetap akan kelihatan pendek. Diana siap melayangkan salah satu sepatunya ke wajah Arkaan sekali lagi kalau berani menyebutnya Pendek.
“Masuklah!” perintah Arkaan.
“Kamu habis dari mana?” tanya Diana setelah menutup pintu mobil.
Setelah seminggu pulang naik angkot, diam-diam Diana senang bisa naik mobil. Selain tidak berhenti dari halte ke halte, Diana bisa tiduran tanpa takut kebablas.
“Gue lagi keliling kota, sekalian cari makan,” sahut Arkaan.
Diana sedikit kecewa. Mulanya berharap Arkaan hadir untuk menjemputnya. Tetapi kebetulan saja Arkaan sedang lewat area itu.
“Lo udah makan malam?” tanya Arkaan melirik sebelahnya.
Diana menggelengkan kepala. Dia bahkan tidak bisa makan dengan tenang gara-gara ada insiden. Salah satu orang tua model mengamuk, tak terima akan hasil anaknya. Setelah enam tahun dikontrak, bukannya berhasil, si model malah didepak secara memalukan oleh pendatang baru yang baru dua bulan bergabung di agensi. Ketidakadilan itu bisa dirasakan oleh banyak pihak. Tak heran, Diana pulang telat demi menemani orang tua labil itu.
“Aku sangat lapar sekali, tapi juga mengantuk. Aku ikut saja apapun yang ingin kamu makan. Biarkan aku tidur dulu sampai nanti tiba di restorannya,” gumam Diana menguap lebar. Dia langsung terpejam, larut dalam mimpinya yang sebentar.
Arkaan memberi kesempatan untuk Diana, keliling mobil selama beberapa waktu demi bisa istirahat sejenak. Gadis itu bakal melewatkan makan malam bila dibiarkan tertidur seperti itu. Jadi Arkaan fokus mencari restoran yang enak.
Untungnya Arkaan datang tepat waktu. Percuma menjemput Diana jika Diana sudah naik angkot. Dua malam yang lalu, Arkaan hendak menjemput Diana, nyatanya Diana terlihat sangat kelelahan. Berdiri dengan pandangan menerawang berharap ada kursi kosong yang bisa diduduki. Nyatanya dia bisa duduk tepat saat tinggal satu halte lagi bisa turun.
Kalau bukan karena membuntuti seperti itu, tentu saja Arkaan tidak akan datang satu jam lebih awal dan duduk diam di seberang gedung agensi menunggu Diana keluar. Arkaan memang sengaja tidak menghubungi Diana agar terkesan sebagai sebuah kebetulan saja.
“Pendek, bangun!”
Diana mengerjabkan mata. Dia memakai sepatunya lantas merenggangkan badan. Gadis itu berjalan terseret-seret memasuki restoran dengan aroma khas. Matanya yang sayu lantas mendelik ke arah Arkaan.
“Hei, kenapa kamu mampir ke restoran seafood segala? Ayo balik. Kita cari tempat lain? Katamu, mau makan malam. Apa kamu segila ini mau makan hidangan laut?” bisik Diana semakin resah. Sebelumnya, Diana tidak melihat sekitarnya. Dia tinggal percaya dan terima masuk restoran pilihan Arkaan sepenuhnya.
Gadis itu tidak mau tertimpa masalah hanya karena Arkaan keracunan. Lagi pula Diana sudah mendengar cerita Tasya, kalau Arkaan sampai memakai masker yang ditancapkan di mulutnya. Membayangkannya saja Diana sudah ngeri.
“Sudahlah. Lo makan aja dulu. Gue yang traktir.”