Untungnya hari sabtu banyak pegawai yang pulang tepat waktu. Sebagian mengikuti makan malam perusahaan. Tetapi Diana tidak bergabung. Sejak pagi, Diana sudah meneror Arkaan untuk melaporkan hasil perburuannya. Dia tidak mau mendapatkan barang yang salah, atau temannya bakal marah besar. Setiap satu jam sekali, Diana mengirim pesan ke Arkaan secara diam-diam di bawah meja, meminta cepat pergi ke pusat survenir atau toko boneka.
Diana masih saja tidak bisa mempercayai orang lain, sekalipun Arkaan sudah bersumpah tidak akan mencarikan barang yang aneh. Arkaan terpaksa berada di bagian perabot rumah tangga selama berjam-jam, demi menunggu keputusan Diana setelah mengirim gambar banyak item-item yang menarik. Kalau bukan karena rapat dan sebagai notulen pengganti sekretaris direktur, tentu saja Diana sudah menentukan pilihan. Dari pada salah memilih, lebih baik Arkaan keliling tempat, sambil mengirim gambar barang-barang yang sesuai selera teman Diana.
“Bagaimana?” tuntut Diana langsung, tanpa harus meminta izin, dia menerobos masuk ke dalam mobil SUV Arkaan. Mobil yang diparkir sebentar di depan gedung agensi itu bergerak lurus, demi mengantar Diana ke tempat tujuan. Diana mengedarkan pandangannya ke belakang jok, yakin bahwa barangnya lumayan besar. Untungnya barang itu bertengger manis di jok tengah, tersimpan dalam kantong futuristik biru muda.
Ekspresi Diana kembali seperti awal pagi. Dia lebih gugup mengantisipasi hadiah yang dibelikan Arkaan daripada melihat wajah bengkaknya. Lebih panik salah barang. Wajahnya begitu jelas menunjukkan hasratnya membongkar kantong yang sudah diikat rapi, demi memastikan barangnya memang sesuai ekspektasinya.
“Tenang saja, hasilnya bagus. Jangan lo bongkar. Biaya bungkusnya mahal!” Seolah bisa membaca keresahan Diana, Arkaan langsung memperingatkan.
Diana menyerah untuk menyembunyikan keinginannya itu. Dia harus menghargai usaha Arkaan sesulit apapun Arkaan mendapatkannya. Dia tidak boleh seenaknya membongkar isinya, lantas senewen sendiri.
“Baiklah, aku percaya padamu!”
Mobil melambat, persis saat lampu merah menyala. Kesempatan itu tak akan dilewatkan Arkaan membungkukkan badan. Sengaja bersikap seperti itu demi melunturkan ketegangan di sekujur tubuh Diana. Sebuah isyarat agar diberi penghargaan atas apa yang dia lakukan sejak semalam. Tindakannya berhasil. Bukannya menepuk puncak kepala Arkaan, Diana hanya menepuk pundaknya penuh syukur.
“Terima kasih, jinku!” pujinya sungguh-sungguh. Lebih baik seperti itu. Diana tidak mau merusak malam minggunya dengan pertengkaran sepele.
“Ayo cepat injak gasnya,” desak Diana menyadari klakson dari kendaraan belakangnya bersahutan.
Jika membicarakan tempat ideal untuk berkumpul dengan teman, maka salah satu ruas terkenal Gubeng adalah tempat yang cocok. Tetapi sayangnya akhir pekan seperti ini, jalanan padat disesaki ratusan kendaraan yang melaju lambat karena macet. Trotoar penuh pejalan kaki. Diana langsung turun di depan kafe tempat temannya menanti, meninggalkan Arkaan sibuk mencari parkir.
Dengan langkah tergesa-gesa, Diana menenteng kadonya secara sembrono. Arkaan berteriak meminta Diana menahan bokong tasnya, agar isinya tidak jatuh berkeping-keping. Sebab kotaknya tidak sekuat kelihatannya.
Wajah-wajah tidak asing menyambut Diana dengan suka cita. Acaranya tidak cuma ulang tahun Vindi Antika. Kumpul-kumpul sekaligus reuni SMA. Usai menyerahkan hadiah, Diana memindai tempat duduk. Dia menemukan dua kursi kosong, lantas menandai salah satu kursi dengan tasnya untuk Arkaan.
Vindi tidak sabar. Dia lantas membuka isinya lalu berteriak kagum. Terlihat jelas bagaimana ekspresi sukanya akan hadiah autentik dari Diana. Dia sangat menyukai mug pasangan yang tutupnya berupa kepala Doraemon, sementara mugnya berbentuk badan lucu.
“Awakmu trae konco terhebat, Diana!” seru Vindi lantas menyimpan kembali isinya. “Pacarmu mana? Kenapa sendirian?” tanyanya blak-blakan.
“Tunggu saja! Dia pasti dat—”
“Ah itu dia, Revan!” tunjuk Vindi heboh, sengaja menyikut Diana keras-keras ke salah satu meja lain.
Pandangan Diana terkunci. Tangannya secara naluriah mengepal, merasakan dentuman jantung yang membuatnya sesak napas. Di antara banyak hari yang sudah berlalu, tidak pernah disangka kalau Revanno Julian bakal berada di tempat yang sama. Mungkin dia salah lihat, tetapi Vindi memang kenal Revan.
Tidak sepatah kata pun yang mampu terucap di bibir Diana. Dia hanya diam, cepat-cepat mengalihkan pandangan. Gadis itu tidak sesiap itu untuk melihat wajah Revan. Walau begitu, Diana penasaran, mengapa Revan berkeliaran di Surabaya, tepatnya di kafe yang sama dan beda meja.
Diana sangat tahu, undangan Vindi hanya berlaku untuk tujuh gadis yang akrab semasa mereka SMA. Vindi memang kenal Revan, tetapi dia tidak akan mengundangnya. Itu pastilah memang kebetulan. Dan artinya, Diana sangat ingin menghilang begitu saja.
Lubang hidung Diana terasa menyempit. Udara seolah membeku. Oksigen menyusut drastis. Diana merasakan matanya buram. Begitu pula dunia yang bergoyang-goyang. Sadarlah dirinya, dia gemetar hebat dan hampir menangis.
Tentu saja, Diana Stelia Arumi belum bisa menerima kenangan pahit yang merebak begitu saja. Punggung telanjang Revan di apartemen Desha Andini beberapa lalu masih membekas. Dia tidak akan memaafkannya, sekali pun, hatinya belum rela melepas Revan.
“Pendek!” panggil suara itu.
Anehnya, Diana sangat menyukai panggilannya kali ini. Dia mendongak, mendapati seraut wajah bingung Arkaan yang duduk di sebelahnya.