Diana pulang kemalaman. Kehadiran Tasya membuatnya lupa waktu. Nyatanya permainan panas yang dimaksud Arkaan adalah permainan monopoli. Tasya jelas untung besar. Dua putaran pertama, Tasya sudah mengeruk keuangan Diana.
Diana jelas tidak beruntung dalam melempar dadu. Dia tergelincir ke petak-petak negara yang dikuasai oleh Tasya. Akibatnya, siapa yang kalah harus menerima sentilan sesuai jumlah umurnya di dahi.
Lupakan bahwa Putra Arkaan Daniel mencuri-cium tadi. Sentilannya tidak main-main. Panas sekali di dahi.
“Selamat malam, Kak Diana, mimpi indah, ya?” ucap Tasya yang ikut mengantarnya pulang. Lambaian tangan di balik mobil yang kaca jendelanya separuh tertutup itu, menandakan keseruan pertemanan mereka semakin dalam.
Padahal dulu, Diana tidak suka dengan kehadiran Tasya yang suka meniru setiap gerakan dan tampilannya. Juga tidak suka dengan Arkaan yang seenaknya menerobos masuk dalam kehidupannya.
Dia sudah tidak lagi membencinya. Diana membiarkan segalanya berjalan sebagaimana mestinya. Dengan cepat dia membuka pintu gerbang yang digembok dari luar. Akhir pekan ini, keluarganya pergi ke Kediri, melayat ke rumah salah satu paman Diana. Diana memilih tidak ikut dengan alasan sibuk menyusun laporan, nyatanya malah main monopoli di rumah Arkaan.
Sedari tadi tangannya merogoh isi tasnya yang tak kunjung menemukan kunci cadangan. Keluarga Pratama memang agak ketat dalam keamanan rumah. Diana dan orang tuanya yang punya kunci cadangan, sementara milik Dion sudah lama hilang. Jadi adiknya harus menunggu berjam-jam di luar rumah sampai orang rumah ada yang membukakan pintu.
“Diana,” panggil seseorang dari sampingnya.
Diana menoleh ke sumber suara. Bibirnya terkatup rapat. Matanya terpicing penuh kebencian. Ingatan tajam tentang hari itu melumat Diana tanpa ampun. Kebahagiaan yang dia peroleh beberapa menit yang lalu, hilang sudah. Lenyap tak berbekas.
Hanya karena Desha Andini muncul selarut itu dengan tampilan berantakan dan kelelahan. Kakinya sempoyongan menghampiri Diana.
Diana tidak peduli. Dia fokus membuka pintunya. Tetapi anak kunci itu tidak kunjung ditemukan. Baginya, lebih baik tidak berurusan dengan si pengkhianat, yang seenaknya datang di depan rumahnya dalam keadaan kacau. Tidak akan ada tanda-tanda Desha minta maaf setelah berbulan-bulan menghindar.
“APA?” bentak Diana, jengkel karena kuncinya terselip di bagian terdalam tasnya.
“Ada yang ingin kukatakan.” Desha mengumpulkan keberanian bicara.
Diana melipat tangannya. Dia mengalihkan pandangannya ke sepatunya sendiri. Sebal bukan main mendengarkan isak tangis Desha yang tak kunjung reda.
Bahkan saat Desha sudah mencuri lelaki yang paling dicintai Diana, tanpa malu, hadir dalam keadaan kacau. Menangis minta pertolongan. Sungguh tidak tahu malu.
“Aku lelah. Pulang saja sana,” usir Diana kembali melakukan pencarian pada anak kuncinya di saku depan ransel.
“Diana, kamu salah paham sama aku, Diana.”
Diana sangat benci mendengar suara Desha. Dia tidak suka mendengar intonasi yang mengiba-iba itu. Diana sudah bahagia sekarang. Mengapa sekali lagi Revan dan Desha mengganggunya lagi saat gadis itu sudah tak mau berurusan dengan mereka? Mau mereka pacaran, menikah atau putus, Diana tidak peduli. Dia sudah selesai dengan orang-orang yang dulu pernah dipercaya.
“Dengar ya, Desha, apapun itu, semuanya sudah berlalu. Hati seseorang bisa berubah. Mau menangis darah pun, aku sudah tidak peduli karena kamu.”
“Itu tidak seperti yang kamu pikirkan selama ini.”
“Lantas kenapa baru sekarang kamu datang? Kenapa tidak dari dulu kamu jelaskan kalau ini salah paham? Kenapa harus selama ini kamu membuatku kecewa seperti ini?”
Kemarahan Diana meluap. Dia tidak peduli jika para tetangga mengintip pertengkaran mereka berdua. Sudah banyak hal yang menyesaki Diana selama ini. Desha sama sekali tidak menunjukkan untuk meluruskan kesalahpahaman yang tidak akan pernah Diana terima.
“Kamu bahkan tidak minta maaf padaku.”
“Apa kesalahanku hingga aku harus minta maaf? Aku tak pernah salah, Diana. Kamu duluan yang menilai apa yang pertama kamu lihat!”
“JELASKAN KALAU BEGITU!”