Diana benar-benar pandai menyimpan air mata. Dia langsung mencari film komedi yang membuatnya terpingkal-pingkal sore itu. Pekerjaan rumah sudah dia lakukan dengan cepat. Mulai dari menguras kamar mandi, merapikan perkakas dapur, mengepel lantai dan menata kamarnya sendiri. Betapa menyenangkan jika stresnya lenyap menyaksikan rumah berkilat bersih.
Tidak ada jejak air mata yang menyebabkan kelopak matanya bengkak. Tidak ada pula suasana suram akibat patah hati berkepanjangan.
Keluarganya baru sampai di rumah nanti jam delapan malam. Diam-diam Diana bersyukur tidak ada siapapun di rumah selama Diana menangis semalam. Begitu mudah dia mengeluarkan ekspresinya tanpa harus malu ketahuan menangis. Sekencang apapun tangisnya, tidak akan ada yang mendengar. Baginya, lebih baik tidak menerima pertanyaan mengapa dia menangis.
Kesibukan yang dia lakukan selama membereskan rumah itu menyebabkan mentalnya cepat pulih. Saat orang tuanya datang membawa lauk pemberian kerabat dari Kediri, Diana langsung mengeluarkan isinya untuk dipanaskan. Ibunya terlalu lelah mengurus kotak milik sang adik. Sebagai gantinya, Diana yang mencuci kotak itu agar dikirim besok lewat kurir ke rumah bibinya. Sementara itu, lauknya disimpan ke kotak milik sendiri dan ditaruh ke lemari pendingin.
Rumah kembali sepi. Diana merasakan kantuk akibat kelelahan melepaskan beban pikiran. Esok paginya, ketika orang-orang baru bangun, sekali lagi Diana menjadi orang pertama yang menyiapkan sarapan. Dia berangkat mengejar angkot pertamanya yang akan membawanya ke kantor.
Diana sangat menyukai lingkungan kantor. Walau hanya magang kurang dari sebulan, dia bisa merasakan betapa mewahnya bekerja sebagai orang kantoran. Pundaknya terasa diangkat karena di belakang namanya, terdapat agensi yang menaungi masa depan. Diana ingin punya jejak baik di kantor itu, agar kelak jika dia kembali mengajukan CV setelah lulus kerja, mudah disambut kembali. Masih 1,5 tahun lagi bila kuliahnya lancar.
Bekerja bagi sebagian orang, merupakan rutinitas paling melelahkan yang akan ditanggung seumur hidup. Membawa beban ke mana-mana sampai tulang belulang remuk setiap merebahkan badan di kasur. Menjaga agar tanggung jawabnya terlaksana atau jika tidak, penjara dan uang sebagai akibatnya. Tetapi Diana yang masih baru menjejakkan kaki di dunia kerja, menganggap kerja adalah langkah selanjutnya usai merampungkan semua pendidikannya. Tidak ada yang lebih menyenangkan kecuali punya kegiatan tetap.
Seperti biasa, Arkaan menjemput Diana pulang dari kantor untuk makan malam bersama. Pernah Diana merasa tidak enak menyita waktu Arkaan. Gadis itu tidak masalah naik bus setiap malam. Toh sepatu pemberian Arkaan selalu dia pakai. Tidak akan terlalu pegal berdiri setengah jam lamanya bergelantungan pada cincin besi.
Arkaan malah menggusak poni Diana, menyuruhnya tak usah khawatir. Dia terlalu banyak waktu luang. Sangat menyenangkan bisa bersama Diana dibandingkan melahap buku-buku sastra. Malam itu, mereka memutuskan makan di restoran tidak jauh dari kantor agensi. Diana merekomendasikan tempat itu, usai mendengar saran pegawai Big Treasure. Sajian dagingnya sangat enak. Bumbu steaknya unik.
Betapa puasnya Arkaan merasakan aroma bumbu daging yang dipanggang. Begitu pekat padanan kecap, minyak wijen, lada dan daun ketumbar yang berdesis di daging itu. Diana merencanakan pergi melihat festival bunga mawar setelah menyelesaikan laporan magangnya di akhir bulan Nopember.
“Bakal cocok kalau ada jus jeruk. Sayang di sini hanya ada es teh doang,” keluh Arkaan mengelap mulutnya dengan tisu. Dia menggunting daging yang matang ke potongan kecil-kecil.
“Ini bukan restoran langgananmu yang mewah. Kamu suka steik tradisional ini atau yang ada di atap itu?” tanya Diana merujuk kafe terbuka di mana harga steik satu porsinya sangat fantastis. Bahkan harga steik tradisional yang mereka santap sekarang, harganya tidak sampai seperempat harga steik ala Eropa.
“Tentu saja yang ini terbaik dalam rasa. Tapi gue lebih suka suasana tempat langganan.”
“Dih… Lain kali jangan ajak aku ke sana.” Diana bergidik membayangkan harus berhutang lagi ke Arkaan. Dia tidak mau menebus dirinya sebagai pacar gadungan Arkaan.
Akan sangat lucu situasinya jika suatu saat Arkaan menagih semua uang untuk mentraktiran Diana selama ini. Bayangkan saja Diana melotot tak percaya pada dokumentasi struk makanan yang ditandai mana bagian yang sudah masuk mulutnya.
“Kenapa lo tidak mau?”
“Aku tidak mau kamu membuang uang hanya untuk makan.”
Arkaan menahan gigitannya. Dia berpikir sejenak meresapi kata-kata Diana. Dia akhirnya tersenyum menyadari maknanya. Mereka memang bukan pasangan kekasih. Wajar kalau Diana selalu tidak enak hati banyak menerima. Diam-diam Diana menebusnya dengan menemani Arkaan makan. Diana tahu, Arkaan jarang makan. Namun, sekali makan, dia sangat lahap sampai tambah porsi.
“Gue gak masalah traktir orang yang satu meja dengan gue. Gue abisin banyak uang buat lo pun, gue gak pernah rugi atau pun menyesal.”
“Hm…. Ucapanmu menggiurkan, Arkaan. Aku bisa memanfaatkanmu untuk semua kepentinganku,” ujar Diana sambil lalu.
“Silahkan aja. Keberadaan lo sudah banyak membuat gue bersyukur.”
“Benarkah? Kenapa kamu bersyukur? Aku tidak melakukan apapun.”
Banyak. Sangat banyak dibandingkan yang bisa gue tukar dengan uang. Kebersamaan kita bahkan tidak sepadan dengan harta benda. Karena gue bahagia bernostalgia tanpa harus tersakiti akibat mengenang Irene.
Arkaan menyodorkan potongan daging ke arah Diana, menyuruhnya buka mulut. Menyenangkan rasanya bisa menyuapi seseorang yang masih tinggal di hati Arkaan. Dia tahu pikirannya salah. Pada akhirnya, Arkaan sendiri yang terluka kalau Diana pergi. Entah dengan cara yang sama atau berbeda, Diana bakal pergi. Karena yang namanya pertemuan, selalu berakhir pada perpisahan.
“Karena lo cantik.”
Diana melengos. Tidak menyangka sesederhana itu ucapan cowok di depannya. Ekspresi pura-pura muntahnya menunjukkan penyangkalan atas wajah Diana sendiri. Gadis itu menolak diakui eksistensinya karena wajah. Dia ingin etos kerja dan sikapnya yang membuat orang lain mau menjalin hubungan. Sebab wajah bisa hancur dalam sekejab dan mudah ditinggalkan.