Kepergian Irene terasa sangat menyesakkan sampai hari ini. Ketika Arkaan terbangun dari pingsannya, dia merasakan tusukan menyakitkan di kerongkongannya. Kegagalan napas yang terjadi pada Arkaan menyebabkan masker oksigen melekat di hidungnya. Rasa pusing, gatal dan mual terus menyiksanya. Pertama yang dicari adalah Irene.
Berjam-jam lamanya Arkaan terbaring di ranjang, tergolek lemah akibat alergi parah. Tetapi pengunjung yang keluar masuk ke kamarnya adalah dokter dan perawat yang memantau perkembangannya. Satu-satunya penjaga hanyalah ibunya yang datang jauh-jauh dari Singapura.
Ibunya membatalkan rapat perusahaan, padahal baru turun dari pesawat. Dia meradang setelah mendengar isak tangis Irene. Terakhir kali mereka berjumpa adalah setahun yang lalu. Kesal bukan main saat tahu ucapannya tidak diindahkan Irene. Begitu beraninya Irene menemui Arkaan secara diam-diam. Semestinya Irene tahu diri. Tidak sepatutnya seorang pendidik berani menggoda sang murid.
Arkaan tidak mungkin menanyakan tentang Irene. Jika ibunya tahu, kemungkinan besar hanya masalah semakin bertambah saja. Meskipun ada kemungkinan sebelumnya Irene bertatap muka dengan wanita yang melahirkan Arkaan. Dengan asumsi Irene takut bertemu Irma—Ibunya Arkaan—gadis itu lebih baik kabur saja.
Keesokannya, ibunya masih menjaga. Hari ketiga, Tasya menggantikan tantenya. Gadis itu benar-benar cerewet. Mengomeli Arkaan yang teledor. Sudah tahu alergi, malah berani makan kepiting dan sejenisnya. Ibunya kembali ke Singapura untuk melanjutkan rapat yang tertunda. Tetapi Irene sama sekali tidak datang.
Arkaan ingin sekali menanyakan keberadaan Irene pada Tasya. Tetapi Tasya bakal mengoceh tanpa mempertimbangkan apa yang terjadi ke sembarang orang. Dari pada sampai ke telinga ibunya, lebih baik Tasya tidak tahu apa-apa tentang Irene. Lewat ponsel, Arkaan berusaha menghubungi Irene secara diam-diam.
Tak pernah aktif.
Arkaan gelisah bukan main. Dia menahan diri sampai seminggu kemudian disergap perasaan tidak enak. Saat ibunya menampar Irene pun, mereka tak pernah gentar. Ada keyakinan kuat bahwa mereka akan selalu bersama. Kali ini keyakinan itu seolah luntur. Arkaan tidak tahu mengapa keyakinannya seperti itu.
Saat kembali ke rumah lima minggu kemudian, sebuah surat diberikan pembantunya. Surat itu sudah datang seminggu yang lalu.
Arkaan kira semuanya lelucon. Tetapi nama mempelai di sana sangat dikenal. Kedua-duanya sangat Arkaan kenal. Bukannya beristirahat, dia malah mengendarai mobilnya. Berjam-jam melintasi jalanan dengan mengebut menuju rumah Irene di daerah Magelang. Tetapi apa yang didapatnya hanya luka menyisir seluruh tekad Arkaan.
Irene sudah menikah dengan laki-laki lain. Segalanya telah telanjur. Arkaan tidak bisa merampas kembali sebagian hatinya. Dengan tangan terkepal menyaksikan surat undangan yang dikirim itu, air matanya meleleh. Tidak menyangka Irene kalah pada peringatan keras ibunya.
Arkaan pulang dengan hati gamang. Dia hanya membaca banyak buku di dalam rumah. Tidak mau keluar sama sekali, pun berinteraksi dengan orang lain. Satu-satunya orang yang gemar menerobos ke kamar Arkaan hanyalah Tasya Devika. Sepupunya terus merecoki Arkaan bila waktunya makan.
Suatu hari, Tasya datang ke rumah Arkaan. Tak tahan berada di rumahnya sendiri jika semua orang tidak ada. Tasya mengerjakan tugasnya. Duduk menggelosor di lantai. Mulutnya sibuk menyanyikan lagu-lagu yang sedang tren. Arkaan yang ada di sebelahnya hanya geleng-geleng kepala melihat ketukan nada Tasya tak pernah tepat.
Untuk pertama kalinya, dia melihat seraut wajah tidak asing yang muncul saat Tasya menampilkan dekstop utama laptop.
“Siapa gadis itu?” tanya Arkaan dari balik koran harian.
“Ini kakak kelas gue. Cantik kan dia?” Tasya mengarahkan layar laptop putihnya ke Arkaan. “Gue pengen seperti dia. Menurut gue, Kak Diana adalah gadis terkeren. Punya banyak teman dan juara paralel di sekolah.”
Arkaan diam. Salah mengira kalau itu Irene.
“Gue kayak kenal.”
“Beneran, Bang?”