Spring Breeze

Ratna Aleefa
Chapter #18

#18 Taman Bunga

Bulan Desember datang begitu saja. Waktu seolah menetap begitu saja. Tak beranjak sama sekali kecuali bagi yang mencoret angka setiap hari. Waktu terus melaju mengikuti kecepatan revolusi bumi. Akhir tahun, Diana sudah menyelesaikan magangnya. Tiga hari setelahnya, ujian komprehesif magang mengganjar upayanya dengan skor tertinggi. Dia bersyukur pada dirinya sendiri yang tegas menahan godaannya bersenang-senang.

Banyaknya waktu yang dihabiskan bersama Arkaan membuat Diana tidak merasakan pergerakan waktu. Arkaan memberi banyak sokongan pada Diana. Walau Diana terlalu ambius menetapkan standar keberhasilannya secara serius, Arkaan memberi keseimbangan bagi mahasiswi semester lima itu. Arkaan tahu kapan waktunya ketegangan Diana harus dikendorkan. Percuma belajar mati-matian kalau akhirnya otak tidak bisa berpikir jernih.

Kampus tampak begitu lebar dalam sudut pandang Diana. Tak ada lagi belengu yang mencekiknya. Diana hanya akan fokus pada presentasi dan tugas mata kuliahnya yang biasa. Setelah itu dia tinggal fokus mencari kasus penelitian yang akan diajukan sebagai tugas akhirnya.

Merasakan pengalaman bekerja seperti di Big Treasure memacu semangat Diana. Semester tujuh nanti tidak banyak yang dilakukan Diana. Gadis itu berencana mencari pekerjaan sampingan agar tidak jenuh. Namun, Arkaan menggelengkan kepala. Kurang setuju pada Diana.

“Lo itu selalu tegang mendapatkan misi. Lo liat kesempurnaan hasil tanpa benar-benar menikmati prosesnya. Jika lo melakukan kerja paruh waktu dan tugas akhir dalam waktu yang bersamaan, pikir lo, lo bisa fokus pada dua-duanya?” debat Arkaan di sela makan siang mereka di kantin.

“Tentu saja aku bisa.”

“Gimana cara lo ngaturnya?”

Ringisan di wajah Diana mengundang senyuman Arkaan. Cowok itu kadang mengayomi sikap Diana yang gampang panik. Diusap rambut Diana dengan tatapan sayang.

“Pendek, gue gak larang kalo lo melakukan sesuatu. Tapi lo jangan kecewa kalau nilai IP lo untuk skripsi berakhir gak baik. Ini konsekuensi dari pilihan lo sendiri.”

Diana menganggukkan kepala setuju. Arkaan benar. Diana tidak bisa melakukan dua hal sekaligus dengan hasil sempurna. Kesibukan magang berdampak pada tugas-tugas Diana di mata kuliah lainnya. Saking sibuknya fokus ke laporan magang, Diana melupakan tugas di mata kuliahnya yang lain. Dia menemui dosen dengan tatapan putus asa meminta tugas tambahan setelah seminggu berlalu dari tenggat waktu pengumpulan terakhir.

Atas dasar itulah Arkaan menahan Diana tidak mencari pekerjaan sampingan bila ingin mendapat nilai A.

Diana menekan pelipisnya yang pening. Dia langsung tertekan dengan sejumlah tugas yang menghadang di depan matanya.

“Bunga di taman rumahmu sudah bermekaran? Aku ingin melihat bunga-bunga itu," tanya Diana sengaja mengalihkan topik.

“Bunga di sana jelek. Mau jalan-jalan ke Bali sekalian aja? Gue bisa bawa lo ke tempat eksostik lain..”

“Jangan konyol! Bali itu jauh. Aku tidak akan bisa belajar kalau kamu ajak keluar terus!” sungut Diana.

“Tetapi lo bisa lebih berpikir jernih nantinya? Ayolah, nikmati hidup. Lo gak boleh tertekan terus.”

“Mudah bicara seperti itu karena kamu banyak uang. Tapi tidak denganku, Arkaan?” tekan Diana pada akhir kalimatnya.

Arkaan mengedikkan bahu disertai tawa mengejeknya yang biasa. Pemuda itu selalu punya inisiatif tak terduga, yang kadang membuat Diana harus menolak tegas. Pergi ke Bali memang menyenangkan. Tetapi Diana terlalu stres menghadapi waktu terbuang dalam perjalanan. Tak lama lagi ujian semester menghadang mereka. Diana sedikit khawatir harapannya tidak terkabul. Semester kali ini dia harus bisa mencapai minimal angka tiga. Dia tidak mau mengulang lagi hasil yang memporak-porandakan hati ayahnya.

Gara-gara terlalu asik belanja dan kencan, Diana terjengkang nilai IP 2,5 ke bawah. Kalau sampai nilainya jeblok, dia akan menjadikan Arkaan sebagai kambing hitam yang suka mengajaknya keluar terus menerus.

“Ya sudahlah. Aku tinggal telepon Tasya aja. Main ke rumahnya Tasya.”

“Baiklah. Tapi di taman saja, kan?” raut wajah Arkaan agak khawatir. Mengingat ibunya sedang di rumah. Dia tidak ingin Diana disalahpahami sebagai Irene.

Memangnya ada yang bahagia telah kehilangan untuk kedua kalinya? Tentu saja tidak. Karena itu Arkaan harus berhati-hati agar kejadian lama tidak terulang.

“Sip!” Diana mengacungkan dua jempolnya. Senyuman Diana menunjukkan antutiasnya. Parasnya semakin cantik disertai semangat yang meletup.

Lihat selengkapnya