Spring Breeze

Ratna Aleefa
Chapter #19

#19 Bunda Arkaan

Hal pertama yang Arkaan dengar dari Diana membuatnya terkesiap. Tidak pernah dia sangka—di tengah keindahan sepetak taman yang sering diabaikan—Diana menyatakan perasaannya yang terdalam. Dampak dari pengakuan Arkaan membuat Diana tergerak ikut mengakuinya. Gadis itu tidak suka digantungkan tanpa alasan. Dia ingin kepastian yang jelas, agar tidak terlalu larut dalam kebingungan akan status mereka.

Arkaan baru sadar jika Diana sudah menyimpan hal ini cukup lama dan tidak mau menunggu sebuah kepastian dari Arkaan. Kebimbangan yang bodoh itu, akhirnya Diana melakukan inisiatif. Lebih baik mengakui dari pada tidak sama sekali.

Sikap tenang Diana patut disyukuri oleh Arkaan. Tidak marah karena dianggap Irene. Namun, pada detik yang sama, Arkaan mengukuhkan dirinya untuk berhenti menyamakan kedua gadis yang mencuri hatinya. Mereka orang yang berbeda. Tidak jenuh Arkaan mengingatkan dirinya sendiri untuk berkata demikian.

Apalagi Diana sudah melepaskan cintanya pada Revan. Sosok itu tidak pernah dilihat secara langsung oleh Arkaan. Bahkan fotonya saja tidak kasat dalam netra Arkaan. Diana sengaja melakukannya. Memblokir tentang figur Revan di hadapan laki-laki yang baru dekat dengannya untuk mengganti semua kekosongan yang ditinggalkan Revan.

Sama halnya dengan Arkaan, Diana tidak ingin membicarakan masa lalu. Jika bukan Arkaan sendiri yang mengemukakan terlebih dahulu, tentu saja Diana tidak akan tahu.

Kejujuran Diana—mau tak mau membuat Arkaan sadar—bahwa peluang besar kembalinya Diana dan Revan sebagai pasangan lagi sangat tinggi.

Betapa kerennya pacar Arkaan. Berbesar hati merelakan takdir yang tak bisa diubah saat ini. Rasa malu menggerogoti Arkaan. Membayang tak terkendali. Mengejeknya sebagai laki-laki pecundang yang hilang akal.

Diana meledeknya sebagai laki-laki cengeng. Tentu saja dia cengeng. Arkaan akui itu. Sudah dua tahun dia mengurung diri, menyalahkan kesalahan dan ketidakmampuannya menerima perpisahan. Butuh waktu yang lama agar bisa move on dari Irene lewat Diana.

Memang benar ucapan Diana. Mereka sama-sama belajar melupakan seseorang yang telah pergi. Dengan menyatunya mereka, tentu saja ingatan masa lalu akan pudar. Kenangan hari ini akan membekas lebih dalam untuk ingatan masa mendatang. Perpisahan yang telah terlewati, akan memberikan kekuatan yang cukup sebagai pelajaran—agar pada komitmen saat ini—masing-masing lebih bisa menghargai dan menyayangi satu sama lain.

Hubungan Arkaan dan Diana telah menemui titik terang. Terlalu naif memikirkan semuanya sendirian. Ketakutan-ketakutan tak berdasar itu membuat Arkaan sempat berpikir tidak logis. Tadinya Arkaan yakin sudah mengedepankan rasionalitas tentang kemungkinan atas 

Pertama, Diana bakal mengamuk dianggap sebagai Irene selama dua bulan terakhir mereka pendekatan. Namun, semuanya ilusi semata.

Diana memakluminya.

Rasa percaya diri Arkaan mulai meroket. Semangatnya meletup saat menarik lengan Diana. Dia mengajak pacarnya masuk ke rumah. Langkahnya semakin ringan demi membuktikan pikirannya salah lagi. Hanya satu hal yang masih mengganjal. Arkaan tahu ini terlalu cepat, tetapi lebih baik mengenalkan Diana pada ibunya dari pada was-was kencan diam-diam.

Rumah yang tadinya sesak, menjadi terang benderang dan lapang. Kehangatan rumah itu semakin terasa dengan kehadiran anggota keluarga Arkaan.

Harum roti dipanggang menguar begitu sedap ke segala penjuru. Membuat Arkaan merasakan perutnya makin keroncongan. Senyum mengembangnya terus terukir sambil menggandeng Diana masuk rumah. Dia memanggil sang ibu yang ada di dapur.

Sudah sebulan ibu dan anak itu tidak bertatap muka. Ibunya, Irma Fransisca terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai wanita karir yang sukses, dia membiarkan rumahnya kosong sepanjang waktu. Sebagai akibatnya, anak kesayangan2nya kerap dilanda kerinduan akibat kesepian yang mencekam.

Arkaan jelas keheranan. Baru kali ini melihat Irma begitu tegang menekan krim dalam kemasan plastik di depan seloyang muffin. Ibunya jarang memasak bila ada di rumah. Jika punya waktu senggang, Irma suka memilih tidur sepanjang hari. Kadang-kadang, kalau Arkaan ingin makan, Irma menggelengkan kepala sedih. Dia tidak pandai memasak akibat sedikitnya waktu untuk belajar menyentuh bumbu dapur. Keahlian utamanya adalah analisa bisnis. Bukan analisa rasa.

“Bunda.”

Irma mendongak. Dia meletakkan pekerjaannya. Matanya menyipit sekilas mendapati jarak di antara Arkaan dengan gadis tidak dikenal.

Opo?”

Mereka bertukar kecupan ringan. Arkaan langsung mencomot muffin setengah jadi. Sementara gula hias, krim dan lainnya masih dibiarkan di permukaan meja, menanti muffin sedikit dingin.

“Bunda, kenalkan ini pacarku.”

Jika saja lubang buaya muncul di depan Diana, gadis itu lebih suka melompat di lubang itu. Terkoyak-koyak dalam kesakitan luar biasa. Siapa yang menyangka dalam sepuluh menitnya berstatus pacar Arkaan, sudah diperkenalkan di depan ibunya.

Diana tersenyum kikuk. Andaikan tahu bahwa di rumah ada keluarga Arkaan, tentu saja dia tidak akan datang dengan tangan kosong.

Arkaan sedikit mundur, mendekati Diana sebagai upaya defensif jika terjadi sesuatu. Sudah dia duga reaksi ibunya seperti apa. Irma agak lama mengamati wajah Diana. Menilai siapa tahu sosok di depannya adalah Irene. Datang mengoloknya karena tidak berhasil memisahkan Arkaan dengan Irene.

Kedua wanita yang Arkaan sayangi sama-sama canggung. Diana cepat-cepat menganggukkan kepala lalu menyalami Irma. 

Irma tersenyum kecil. Dia sudah bisa melihat dampak besar yang ditinggalkan oleh Irene pada Arkaan. Baru kali ini dia melihat pancaran asa di wajah sang anak. Semangatnya berkobar lagi. Mulai keluar dari rumah dan berinteraksi dengan orang lain. Menurut cerita si pembantu, kulkasnya sering kosong karena ada yang memasak di malam hari; artinya ada tamu masuk rumah mereka. Kini Irma tahu, siapa yang mengosongkan kulkasnya.

“Selamat sore, Tante. Saya Diana,” sapa Diana, suaranya sedikit panik.

“Halo, Sayang,” sapa wanita itu berusaha mengatur ekspresinya tenang. Dia melepas sarung tangan plastiknya dan menghampiri Diana. Dekapannya yang singkat menunjukkan kecanggungan yang nyata. “Kamu sudah makan?”

“Iya.” Diana melirik ke arah oven. Menandakan durasi pemanggangan sudah selesai. Alat pemangganggan itu terbilang canggih. Mati otomatis mengikuti durasinya. Tetapi tidak dengan kuenya. Harus segera dikeluarkan sebelum bagian bawahnya gosong.

“Boleh saya mengambil kuenya?” tanya Diana. Baginya, lebih baik melakukan sesuatu dari pada canggung di depan ibu sang pacar.

Lihat selengkapnya