Sapuan badai yang baru saja melintasi daratan, selalu menyisakan hati yang porak poranda. Kehilangan segalanya dalam satu kejab mata memang tak terelakkan, tetapi segalanya sudah terjadi. Butuh waktu untuk memulihkan diri. Itulah yang terjadi pada Diana Stelia Arumi.
Menyenangkan sekali rasanya bisa memiliki seseorang yang selalu ada di sampingnya. Menemaninya sepanjang waktu, meskipun kadang-kadang Diana menyangsikan dirinya sendiri atas kesungguhan hatinya. Diana takut mengecewakan Arkaan hanya karena tiba-tiba memikirkan Revan. Terlebih lagi, dia sekadar tahu—tidak benar-benar memahami—rasa kehilangan Arkaan pada mantannya. Mengingat Irma benar-benar menyambutnya dengan pelukan hangat tadi.
Seperti Revan, Arkaan mengenalkan Diana ke keluarganya. Tetapi Diana sama sekali tidak ada keinginan melakukan hal yang sama. Dia masih nyaman untuk menyimpan kekasih di depan orang tuanya. Masih ada banyak waktu sampai akhirnya sama-sama siapnya, bila takdir menggariskan mereka lebih terikat dalam pernikahan.
Toh sudah bisa ditebak bagaimana nantinya. Ayahnya bakal melipat tangan, dengan mata terpicing sebal, tak rela anaknya dikencani laki-laki lain.
Untungnya, semuanya masih aman-aman saja, kecuali kalau Dion buka mulut lagi. Jika Dion berani memeras lagi jika chip emasnya habis, tentu saja dia bakal kerepotan.
“Mama, aku minta uang!”
Kegaduhan di ruang tengah menembus sampai ke kamar Diana ryang pintu kamarnya tepat menghadap layar TV. Dion sedang menarik-narik baju belakang ibunya, seperti biasa kalau menginginkan sesuatu. Ibu mereka sama sekali tidak mengacuhkan Dion. Sibuk memisahkan akar daun bawang untuk dijadikan sambal bajak.
Ingin sekali Diana bisa memukul Dion, agar berhenti merepotkan orang tua mereka. Hanya game saja yang dilakukannya. Belajar di sekolah saja tidak becus. Keributan seperti ini sudah lama tidak terjadi gara-gara game online.
“Kalau buat main game, tidak usah!” ujar Hilda.
“Ayolah, Mama. Aku sudah lama tidak minta macam-macam pada kalian. Sampai minggu kemarin, aku punya uang sendiri buat main game,” rengek Dion.
Adiknya memang jangkung sekali. Kadang saat keluarga itu pergi bersama, banyak yang mengira jika Diana adalah adik Dion. Tapi siapa yang sangka, di balik tubuh jangkungnya, terdapat sikap manja bukan main pada diri Dion.
“Uang sendiri dari siapa? Kamu tidak main rampas milik temanmu, kan?” selidik Rahardian ikut nimbrung.
“Papa, aku bukan preman, ya,” kelit Dion merajuk.
“Lalu kamu dapat dari siapa? Aneh juga kamu, Dion. Kukira kamu sudah berhenti kecanduan di warnet untuk main game. Tapi kamu masih saja main game sampai sekarang. Dapat uang dari siapa?”
Suara gedebuk disertai erangan Dion semakin mengusik Diana. Gadis itu bergerak turun dari ranjang. Tangannya mendorong gagang pintu, penasaran mengapa keributan itu terjadi. Dia panas dingin menyadari sesuatu yang sangat genting. Ibu dan ayahnya memang tidak tahu, tetapi Diana jelas tahu semuanya. Jika bukan dari Diana, Dion menerimanya dari….
Retina Diana membesar. Adrenalin berpacu deras. Terlalu kaget menyakini kalau spekulasinya kali ini benar.
“Dion, temani aku sebentar!”
Diana menarik lengan Dion. Padahal orang tua mereka sedang menginterogasi Dion. Apa yang Rahardian dan istrinya lakukan, sudah tidak penting bagi Diana. Desakan keingintahuan meluap tak terkira. Dia mendorong adiknya keluar rumah. Tak ingin percakapan mereka sampai ke telinga Rahardian. Langkah cepat Diana mengarah ke sudut ujung gang yang berhadapan dengan jalan raya, persis di depan kios cilok yang baru saja ditutup.
“Apa Revan masih memberimu uang saku?” tanya Diana. Ketegangannya memuncak jadi kepanikan.
Mustahil jika Revan yang krisis moneter—masih mengikuti kewajiban negara—malah memberi upeti bungkam pada Dion. Dion sangat jelas memiliki kecanduan game yang parah. Siapa pun yang ketergantungan, bakal menghalalkan segala cara, termasuk memeras bila keadaannya sudah mendesak.
“Hehehehehe.” Dion cengengsan. Sama sekali tidak merasa bersalah di depan Diana.
Kali ini telapak tangan Diana melayang ke punggung Dion. Lumayan keras sampai adik yang berjarak empat tahun darinya melompat kesakitan.
“Apa yang kamu lakukan? Berapa yang dia berikan? JAWAB!”
“Mbak Diana, kenapa kamu sewot? Mas Revan menjual chip-nya ke orang lain. Katanya dia sudah tidak minat main game lagi. Tahu tidak, chip yang diberikan padaku itu jika dikonversikan setara lima jutaan.”
Dion tampak semringah. Baginya, sakitnya tamparan punggung tidak ada apa-apanya dengan keberuntungan memiliki chip emas yang banyak. Tetapi semua chip telah sirna demi kemajuan kota. Sekarang dia kehabisan chip untuk menginvasi musuh bebuyutannya. Tak heran kalau sekarang Dion minta uang pada ibunya.
“Kamu masih menemui Revan?” tanya Diana. Kelopak matanya memanas.
Diana kira hubungannya dengan Revan telah berakhir sepenuhnya. Termasuk tak ada kontak antar keluarga. Pertemuan Diana dengan paman dan bibi Revan bulan lalu tak lebih suatu kebetulan. Diana ingin mempercayai kalau pemberian Revan pada Dion hanya kebetulan. Dan hasilnya tidak seberapa. Tapi duit lima juta di saat pemuda itu kesulitan mencari tempat tinggal, bukankah keterlaluan namanya?