Tempat itu masih sama seperti terakhir kali Diana kunjungi. Ruang tamunya disesaki rak besar yang autentik. Namun isinya bukan lagi keramik cina koleksi keluarga. Beralih fungsi menjadi rak pakaian yang kaca-kacanya dilapisi kain, agar isinya tidak tampak. Di sisi selatan, terdapat ruang makan yang semakin sesak dengan kehadiran barang-barang lain. Rupanya pasangan suami istri yang menyapa Diana ikut tinggal dengan orang tua Revan.
Kamar Revan sudah beralih fungsi sebagai kamar Danu dan istrinya. Kebangkrutan yang dialami ayah Revan dan Danu menyebabkan mereka menjual satu per satu properti keluarga. Satu-satunya harta yang masih dipertahankan adalah rumah yang kini mereka tinggali bersama. Ditambah lagi kesehatan nenek Revan yang semakin memburuk. Neneknya yang mengidap demensia, sudah ditarik dari panti jompo gara-gara ketidakmampuan membayar perawat.
Diana merasakan getaran asing selama duduk di salah satu sofa. Menatap ramah Martha. Wanita berambut keriting itu terus menyeka air matanya dengan sapu tangan. Terharu akan kunjungan tak terduga dari Diana. Dia sangat senang menyambut ‘kepulangan’ Diana ke rumah yang sudah tidak dikunjungi lagi setelah Revan merantau.
Martha setiap minggu menanti kehadiran Diana. Biasanya di akhir pekan, Revan mengajak Diana pergi ke gereja bersama keluarga besar. Diana ikut menuntun nenek Revan ikut masuk ke mobil.
Dengan ketidakhadiran anak laki-lakinya, membuat Martha ikut kehilangan dua permatanya dalam satu waktu. Baginya, Diana sudah sangat cocok untuk Revan.
Diana tidak perlu mengorek lebih dalam. Melihat keadaan rumah yang kacau tanpa adanya TV, pengatur suhu ruangan dan segala benda elektronik mahal, sudah menyimpulkan kalau ucapan Desha benar. Keluarga Revan sudah biasa menyambut tamu dengan jamuan lengkap. Tetapi kali ini sudah tidak dilakukan lagi.
Diana disuguhkan teh kemasan yang murah. Bukan lagi teh herbal dari Cina. Padahal Martha selalu mengutamakan dampak produk herbal bagi tubuh. Mahal sedikit tak apa, asal sehat. Namun, prinsip itu tak berlaku selama tidak ada uang.
“Kalau Revan tidak ada, harusnya kamu datang ke Mama. Mama lebih kangen kamu dibandingkan Revan. Aku percaya dia baik-baik saja. Tapi tidak denganmu. Mama khawatir sekali, Diana.”
Martha terus mengusap air mata yang tidak berhenti meleleh. Diana menepuk punggung rapuh itu penuh simpati. Goncangan nasib yang mendera keluarga Revan membuat Martha tidak punya kesempatan untuk bersikap lemah. Namun, di depan Diana, Martha mengeluarkan semua emosi yang terpendam.
Diana senang atas sikap terbuka Martha. Dia merasa punya ibu kedua setelah ibu kandungnya sendiri. Tetapi pedih memikirkan dia sudah disambut keluarga lain, dan tidak mungkin bersama Revan lagi.
Kalau Dion tidak menerima begitu saja pemberian Revan, tentu saja Diana tidak akan datang ke rumah sesak ini. Menyaksikan kondisi nenek Revan yang terus memburuk. Nenek Revan bahkan sudah lupa pada sekitarnya. Tak heran aroma pesing dan apek menguar seisi rumah akibat mengompol di kasur. Kabar kebangkrutan anak-anaknya, membuat nenek renta itu kolaps. Badannya lumpuh separuh. Menanti ajal menjemput dengan keadaan tak ingat siapa anak-anaknya.
Rasa bersalah menghantui Diana. Saat Diana melabrak Desha dan salah paham, bertepatan dengan jatuhnya sang nenek di kamar mandi. Keluarga Revan semakin kacau balau. Seharusnya Diana ada di samping Revan dan menghiburnya agar lebih kuat menerima cobaan. Bukan menuduhnya bajingan yang tinggal bersama gadis lain.
Tetapi daun telah gugur dari tangkainya.
Tidak mungkin Diana kembali menempel erat ke Revan.
Bahkan Revan tidak gigih mengejarnya untuk meluruskan semua kesalahpahaman dengan mulutnya sendiri. Dia membiarkan Diana jalan bersama Arkaan begitu saja.
Pertemuan di ulang tahun Vindi itu, kenapa sedemikian pedihnya bila diingat?
Lagi-lagi Diana merasa menjadi sosok antagonis dalam drama kehidupannya.
“Mama.” Panggilan hangat itu menjalari sekujur tubuh Diana. Betapa menyenangkan bisa memanggil Martha dengan julukan itu. Hati Diana berdesir. Dia tahu ini cara yang salah. Tetapi demi kebaikan bersama, lebih baik diselesaikan sekalian.
Harapan palsu jauh lebih menyakitkan, tetapi kejujuran atas keadaan yang aktual, sakitnya memang membekas. Namun lebih baik diungkapkan sekarang. Entah sekarang atau nanti, hanya masalah waktu saat kenyataan menampar Martha.
Revan tidak seharusnya diam membiarkan hubungan keduanya seakan tidak ada apa-apa. Seakan-akan tidak putus.