Kelas baru saja berakhir setelah menginterpretasikan karya klasik Khahlil Gibran yang mendunia. Arkaan hendak pergi ke perpustakaan seperti biasanya untuk meluangkan waktu. Baginya, tempat itu jauh lebih baik disinggahi dibandingkan di rumah untuk membaca buku-buku. Padahal koleksi pribadinya lebih lengkap dibandingkan di perpustakaan. Tetap saja, Arkaan gemar melihat lalu lalang manusia yang membisu, berkutat dengan kegiatan masing-masing.
Dia urung pergi ketika ponselnya bergetar. Satu-satunya orang yang rajin menghubungi Arkaan adalah Diana Stelia Arumi. Dia tersenyum membayangkan rencananya makan malam bersama Diana. Di mana pun dan kapan pun, minimal sehari mereka makan bersama.
Tetapi ekpektasinya meleset total. Nama Irene tertera di layar ponsel, mendesaknya segera mengangkat panggilan itu.
Refleks, Arkaan menerima panggilan itu dengan hati berkecamuk. Irene kembali lagi menghubunginya setelah sekian lama memblokirnya. Kesempatan itu tak akan datang lagi kalau panggilan Irene tidak kunjung diangkat Arkaan.
Harap-harap cemas Arkaan ingin tahu keadaan wanita yang meninggalkannya tanpa alasan jelas. Sama sekali Irene tidak mengucapkan perpisahan. Hanya surat undangan pernikahan yang menonjok relung jiwa Arkaan begitu saja. Dan sekarang? Seenaknya Irene kembali menghubungi Arkaan.
Sekian lama Irene tidak menghubunginya. Bahkan dia mengganti nomor ponsel, agar Arkaan berhenti mencari Irene sebelum menikah dengan pria bernama Fajar. Kini nomor itu diaktifkan lagi. Arkaan kira, dia sedang berhalusinasi.
Tetapi semuanya nyata.
“Halo?” Suara Arkaan gemetar akibat terjangan emosi. Rindu? Marah? Lega dan apa lagi jenis perasaan yang menggayuti hatinya. Arkaan tidak bisa menjabarkannya kecuali diam menyimak suara isak tangis di seberang sambungan.
Irene tidak mengatakan apapun selama setengah menit lamanya. Menangis sampai siapapun yang mendengarnya ikut pilu. Arkaan terus menanti dengan gelisah. Jelas telepon Irene bukanlah mengandung kabar baik setelah bertahun-tahun tidak saling kontak.
“Bilang ke gue, lo di mana? Gue akan datang jemput lo!”
Isak tangis Irene jauh lebih kencang dibandingkan sebelumnya. Masih terbata-bata akibat tekanan emosi, Irene menjelaskan lokasinya. Arkaan mempercepat kegiatannya menjejalkan barang-barangnya ke dalam tas ransel. Dia berlari dengan kakinya yang saling berkejaran tak sabar. Setelah menemukan mobil SUV, dilemparkan tasnya ke jok belakang, lalu meluncur ke alamat yang dituju.
Berjam-jam Arkaan menyetir, menggila hanya karena sebuah telepon dari Irene.
Dia sedikit senang karena Irene menyimpan nomornya. Menghubunginya lagi. Dia, yang dibuat patah hati oleh Irene, masih saja dihubungi. Dia, masih tempat sandaran Irene.
Irene menunggu di rumahnya yang ditinggali bersama suami dan anaknya. Lokasinya lumayan terpencil. Menjauh dari kota. Berkelok-kelok melintasi areal pesawahan. Setelah melewati jembatan gantung, Arkaan melambatkan laju mobilnya. Berdasar instruksi dari Irene, rumah Irene lumayan jauh dari rumah tetangganya. Bila melintasi jembatan, rumah Irene seperti menjadi satu-satunya bangunan di area yang padat akan semak belukar dan pohon-pohon.
Arkaan memutar balik mobilnya, menunggu Irene keluar dari rumahnya. Dia menghubungi Irene lagi, masih dengan rasa penasaran atas apa yang terjadi pada wanita itu.
Suasana tempat itu benar-benar gelap dan sepi. Arkaan heran mengapa Irene bertahan tinggal di tempat yang sangat menyeramkan. Setahunya, Irene sangat penakut dengan yang namanya kegelapan. Mungkin kehadiran anaknya yang membuat Irene bertahan dan lebih berani.
Memang benar, kehadiran anak bisa mengubah seseorang.
Panggilan telepon Arkaan ditolak. Semakin bingung Arkaan dengan sikap Irene. Padahal jelas sekali gadis itu menyuruh Arkaan menjemputnya. Dia melirik isi rumah yang gelap. Satu-satunya penerangan bersumber pada lampu mobil Arkaan. Lengkingan pintu gerbang yang berkarat itu terdengar. Irene muncul sambil menggendong anak kecil berusia dua tahun dan tas besar.
Masih dalam kondisi bingung, Arkaan membiarkan begitu saja Irene masuk mobil. Sorot mata Irene tidak sesuai anggapan Arkaan selama ini. Definisi kebahagiaan itu tidak bisa diuraikan bila melihat cara Irene mendekap anaknya, padahal sudah duduk di jok depan. Terus mendesak Arkaan mempercepat laju mobil.
“Cepat bawa aku pergi!” desaknya melirik ke belakang, tak ingin ada orang lain tahu dengan mobil yang diparkir di depan rumah Irene. Sebab, sangat jarang kendaraan lewat pedesaan itu.
“Irene, apa masalahmu?” tanya Arkaan semakin ingin tahu. Masih tidak ingin menjalankan mobilnya, padahal mesinnya sudah hidup. Mana mungkin Arkaan membawa istri orang jika tidak tahu alasannya.
“CEPAT!”
Dekapan Irene semakin erat disertai intonasi tinggi.
“Bawa aku sejauh-jauhnya dari rumah, tolong,” pinta Irene. Suaranya gemetar. “Akan kujelaskan nanti.”