Cahaya matahari menerobos masuk lewat tirai jendela yang terbuka. Semalam Arkaan tidak sempat menutup tirai jendela. Badannya pegal sekali. Dia merenggangkan badannya, lalu berguling menyamping. Ingatannya kembali jatuh pada hotel tempat Irene bermalam.
Untungnya hari ini Arkaan tidak punya jadwal ke kampus. Setelah membersihkan diri, dia langsung pergi. Pembantunya jelas kaget bukan main mendapati sang majikan ada di rumah dan terlalu siang untuk bangun. Biasanya Arkaan sudah pergi sebelum pembantunya datang untuk bekerja.
Tujuan Arkaan sangat jelas. Dia menjemput Irene dan membawanya pergi ke salah satu aset keluarga yang tidak terpakai. Salah satu unit apartemennya belum kunjung disewa seseorang, jadi Arkaan menggunakannya sebagai naungan Irene dan anaknya. Dia membeli beberapa hal yang mendasar seperti selimut, bantal, handuk dan lain sebagainya secara kontan dan meminta layanan kirim cepat. Aroma cat baru benar-benar menentramkan ketika dia membuka pintu.
Irene sangat senang, tidak menyangka kalau tempat yang diberikan Arkaan lebih dari cukup. Dia tidak tahu harus membalas kebaikan Arkaan dengan apa.
Wanita itu terus mengucapkan terima kasih. Tomi berlari di dalam rumah, bersorak mendengarkan gaungnya sendiri. Sangat bahagia akan tempat itu. Baginya, gaung merupakan hal menarik. Padahal ruangan itu sangat kosong tanpa apapun.
“Sori, gue gak bisa nyediain perabot lain. Lo gak keberatan membeli makanan di luar?” tanya Arkaan menggelar tikar, agar mereka bisa duduk. Napas Arkaan masih tersenggal. Dia membeli galon air mineral dan menjunjungnya sendiri. Peluh mulai menetes di sekujur tubuhnya.
Untuk sementara, Irene meminum galon dengan cara manual. Tak ada dispenser di tempat itu demi keamanan Tomi. Tetapi Arkaan sudah punya rencana untuk membelikan dispenser nanti, agar diletakkan di sebelah pantry. Tomi tak akan menjangkau tuas dispenser karena lokasinya tinggi.
“Gsk papa,” kata Irene.
Irene tahu—bila mengungkitnya—bisa dianggap tidak tahu diri. Namun, sebenarnya Irene sangat khawatir. Uangnya terlalu sedikit untuk membeli popok bagi Tomi. Untungnya Arkaan membelikan popok—meskipun ukurannya kekecilan. Bagaimana dia bisa berhemat, kalau urusan popok saja tidak becus, apalagi makan?
“Ini,” ucap Arkaan menyodorkan amplop putih.
Irene menggelengkan kepala. Dia tahu isinya apa. Sudah cukup banyak bantuan dari Arkaan.
“Untuk biaya hidup kalian. Gue gak setiap hari datang mengunjungi kalian.”
“Daniel,” panggil Irene tak percaya.
“Jangan keras kepala, Mbak.”
Ah….
Hati Irene tercekat. Jarak di antara mereka semakin merenggang. Arkaan tidak lagi memanggilnya dengan nama saja. Arkaan sudah berubah. Dia yakin, kisah cinta mereka berakhir. Padahal Irene sedikit berharap setelah melihat Arkaan menjemputnya semalam.
“Baaa… Baaaa…” Tomi berkata. Untuk anak usia dua tahun yang aktif berlarian, perkembangannya lambat. Tomi tidak bisa bicara. Dia menusuk lengan Arkaan dengan jari telunjuknya yang lembut. Binar mata Tomi cerah. Polos dan bening.
Arkaan tersenyum. Dulu, dia pernah mengandaikan kehidupannya bersama Irene. Menunggu beberapa tahun lagi, dia pasti memiliki anak dari rahim Irene. Mereka tinggal di apartemen yang ditinggali Irene saat ini.
Miris. Arkaan membeli apartemen ini dengan tabungannya, agar impiannya menikahi Irene terwujud. Nyatanya dia sewakan demi membuang harapan yang kosong. Seakan Tuhan membiarkan apartemennya tidak laku. Seolah inilah jawabannya mengapa tidak laku disewa orang. Untuk ditempati Irene lagi.
Direngkuh tubuh Tomi dengan gemas, sementara Tomi menepuk pipi Arkaan.
“Baba…. Baba….”
Irene tercenung. Begitu pula Arkaan. Tidak ada penafsiran lebih dalam lagi atas ucapan Tomi. Irene dan Arkaan bertukar pandang, lalu cepat-cepat Irene membuang muka demi menyembunyikan air mata.
Tomi tidak pernah merasakan kasih sayang ayah kandungnya sendiri. Setiap hari Ferdy pulang dalam keadaan marah, lalu keesokan pagi pergi buru-buru ke kantor. Melihat anaknya saja tidak.
“Apa?” tanya Arkaan.
Tomi terus mengatakan baba dan menunjuk-nunjuk dengan jemarinya. Arkaan merasakan emosi yang aneh. Dia mengelus puncak kepala Tomi.
“Mbak, sepertinya ini konyol sekali.” Arkaan tertawa mengingat rencana hidup mereka. Hanya Arkaan yang berharap situasi seperti ini nyata. Dulu sekali, saat Arkaan masih SMP dan Irene sebagai mentornya.
Irene masih diam, terlalu fokus memandang Tomi. Ini kata-kata pertama anaknya. Walau pelafalannya tidak benar, tapi tetap saja itu sebuah kata. Papa. Sebuah perlindungan dan pilar utama untuk Tomi tidak ada. Justru Tomi melayangkan kata itu pada laki-laki yang Irene sakiti hatinya.
“Gue pernah bilang ya dulu, kalau kita suatu saat berumah tangga. Menikah dan punya anak, seperti inilah gambaran masa depan kita.”
“Benar.” Irene mengiyakan, masih menatap anaknya dengan segala emosi yang meluap. Tomi memang terlambat untuk bisa bicara. Tapi tetap saja, ini kata-kata pertamanya. Bagaimana dia tidak terharu?
Dering pintu membuat perhatian semua orang—kecuali Tomi—teralihkan. Arkaan menyerahkan Tomi ke pangkuan ibunya. Dia menghampiri pintu tanpa ragu dan menerima pesanan sarapan sekaligus makan siang mereka.
Rencananya setelah makan, mereka akan pergi ke pengacara untuk mengurus sidang perceraian. Setelah itu, mereka akan mengurus hasil laporan kesehatan Irene di rumah sakit. Tomi termasuk bayi yang tidak mudah menangis. Dia digendong Arkaan selama beberapa waktu pun masih senang. Tangannya yang mungil, terus menusuk wajah Arkaan dengan pelafalan berulang-ulang.
“Ba… Ba…. Baba….”
Tomi terus menunjuk ke depan, mengajak Arkaan keliling rumah sakit. Lengan Arkaan seperti terbakar. Dia tidak terbiasa menggendong anak kecil. Terlebih lagi Irene masih melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Salah satu tulang rusuknya ada yang retak. Pantas saja Irene setiap bernapas dan menggendong Tomi, selalu mengeryit kesakitan.
Sikap Arkaan yang perhatian membuatnya lebih cocok disebut papa muda. Dia juga menyuapi Tomi dengan roti agar tidak menggeliat ingin melepaskan diri. Arkaan harus menjaga Tomi, jika tidak, Irene bakal mengamuk melihat Tomi hilang.
Tingkah Tomi membuat Arkaan betah mengurusnya, sampai akhirnya dia mencium bau tidak mengenakkan dari Tomi. Ragu-ragu, dia mengintip popok Tomi. Betapa kagetnya cowok itu. Seumur hidupnya, dia tidak pernah mengurus anak kecil. Apalagi yang punya kotoran. Bahkan dia lupa ukuran popok Tomi.