Diana mulai sibuk dengan pekerjaan paruh waktunya. Dia bekerja di tempat yang cocok. Menjadi seorang florist tidak semudah perkiraannya. Dia harus menghafal jenis bunga dan apa fungsinya. Dengan cepat, Diana belajar merangkai bunga.
Diana menyukai prosesnya menjadi seorang wirausahawan. Tak apa saat ini menjadi pegawai di toko bunga cabang. Walau apa yang dilakukannya tidak relevan dengan studinya, tetapico gagasan tugas akhirnya tentang pengaruh bunga pada mentalitas seseorang terus mengisi kepalanya.
Gagasan semacam itu langsung lindap seketika. Diana sibuk merangkai bunga. Kebanyakan pesanan toko itu membuat rangkaian ucapan selamat atas keberhasilan seseorang dan duka cita atas almarhum. Sungguh. Hal itu memberi dampak bagi Diana. Setelah menyelesaikan rangkaian bunga bermakna kebahagiaan, Diana puas melihat jalinan bunga. Tetapi Diana langsung memalingkan muka kalau isinya tentang kematian.
Dia sangat menikmati dunianya yang baru. Melayani pesanan, merangkai bunga, menulis catatan kecil dan terkadang mengantar pesanan ke tempat yang dituju. Tetapi hari pertamanya sedikit teralihkan ketika Arkaan menelponnya. Diana lebih fokus memperhatikan pekerjaannya. Tahu kebiasaan Arkaan seperti apa, Diana langsung memblokir sementara. Arkaan akan terus merongrong Diana sampai dapat kepastian. Memang Diana masih marah diabaikan begitu saja, menunggu berjam-jam sampai kehujanan dalam keadaan perut keroncongan. Tetapi itu alasan yang lemah.
Dia sibuk sekali menyusun jalinan bunga, menghafal jenis dan nilai estetika bunga-bunga itu, termasuk tarif bunga per tangkai. Rasanya sangat memusingkan diberondong banyak hal tentang dunia florist. Diana sama sekali awam tentang bunga. Dia menyukai bunga sebagai obyek foto. Tapi tidak untuk mendalaminya sebagai pekerjaan.
Mendadak saja Diana teringat kota Malang. Rasanya ringan sekali. Dan kenangan perjalanan pertamanya yang mendekatkan Diana dengan Arkaan kembali mengisi pikiran gadis tersebut.
Seharusnya Arkaan menelponnya. Tapi sudah sangat terlambat Arkaan menelponnya. Membaca pesan Diana dan baru menelpon sekarang, keterlaluan sekali. Dari pada Diana semakin bad mood, lebih baik dia menjaga wajahnya tenang di depan pelanggan dengan cara memblokir orang yang membuatnya sebal.
Tentu saja, Diana Stelia Arumi punya kebiasaan unik. Memang merepotkan. Tapi dia akan memblokir sampai hatinya bisa memaafkan seseorang, termasuk Arkaan.
Diana Stelia Arumi, bisa saja Arkaan memang sibuk. Ayolah jangan berpikiran sempit. Katanya kamu tidak mau mengulang kesalahan yang sama? Hatinya memperingatkan. Jika dia bersikap kekanakan, hubungannya dengan Arkaan akan berakhir seketika. Akhirnya Diana menghela napas saat membatalkan pemblokiran.
Bukankah ada untungnya Arkaan tidak menghubunginya sementara waktu? Bagaimana kalau Arkaan tiba-tiba mengajaknya jalan-jalan di saat pekerjaannya menjadi prioritas? Diana memang sengaja menyembunyikan pekerjaannya, agar tidak kena omel sang pacar.
Tidak begini caranya. Aku ingin dia mengakui kesalahannya. Kenapa setelah jadian, Arkaan malah tidak peka dengan suasana hatiku? sangkal Diana semakin dongkol.
Diana menyemprotkan air kualitas super ke kelopak bunga mawar agar kesegarannya terjaga.
Ego membuat Diana bertahan untuk tidak menghubungi Arkaan. Harga dirinya sangat tinggi. Sampai akhirnya manajer cabang menyuruh Diana pulang pada jam delapan malam. Diana menyusuri trotoar, menikmati suasana kota yang menyenangkan.
Lampu jalanan menjadi penghias yang menentramkan. Sampai akhirnya hidungnya mengendus bau nikmat yang dirindukan. Diana langsung memasuki restoran yang ramai. Di tengah kota pesisir yang panas, dia bersyukur menemukan tempat yang menjajakan seafood segar.
Gadis itu sudah biasa makan sendiri, tetapi karena belakangan ini selalu menemani Arkaan setiap makan, anehnya sekarang asinan kepiting favoritnya terasa hambar. Dia rindu Putra Arkaan Daniel.
Diana menyeringai saat mendapati ponselnya bergetar. Arkaan melakukan panggilan video setelah seharian ini kelimpungan mencoba menghubungi Diana.
“Opo?” tanya Diana ogah-ogahan. Padahal aslinya senang bukan main.
“Lo di mana?” Arkaan mengabaikan pertanyaan Diana, terlihat khawatir. Tampak terlihat lukisan Pegasus sebagai latar di seberang. Rupanya ada di rumah. Tetapi wajahnya lelah sekali dan kurang tidur. Kelopak matanya tampak sayu.
“Aku di luar. Sedang makan malam.” Diana mempertahankan wajahnya datar, begitu pula intonasi suaranya. Padahal dia sangat penasaran kenapa sedrastis itu wajah Arkaan menjadi layu.
“Sama siapa?” tanya Arkaan ingin tahu.
Diana menunjukkan kursi-kursi kosong yang menunjukkan dia makan sendirian.
“Gue ke sana, ya?” Kamera Arkaan tampak bergoyang. Arkaan mengambil jaket di lapisan teratas. Tidak memperhatikan sama sekali apa yang dikenakan.
“Tidak usah. Kamu tidak akan bisa datang ke sini,” cegah Diana.
“Lha kenapa?”