Stasiun Gubeng padat akan ribuan manusia. Tempat megah nan luas itu menyimpan banyak ribuan cerita. Perpisahan disertai hati gamang dan sejuta harapan. Pertemuan memuncak atas kerinduan tak tertahankan. Tempat banyak mengenang jarak dan waktu.
Tetapi bagi Putra Arkaan Daniel, tempat itu menyimpan kekhawatiran. Dia duduk di koridor luar, menunggu seseorang turun dari kereta. Tidak perlu susah mencari.
Kepalanya memanjang, mencari sosok pendek yang paling ditunggu. Tetapi sulit menemukan Diana di tengah kepala-kepala lelah manusia yang keluar dari peron. Diana tidak muncul sama sekali di stasiun.
Padahal jelas sekali Diana turun dari kereta.
Arkaan bertahan menunggu. Mungkin dia salah peron. Dengan langkah lesu, Arkaan hendak pindah ke peron lain ketika panggilan seseorang membuat Arkaan lekas mendekap sosok itu.
“Pendek, sori gue gak bisa menepati janji,” ucap Arkaan, sangat menyesal.
“Ceritakan padaku, kenapa Irene bisa memegang ponselmu,” pinta Diana melepas dekapan Arkaan. Diana hanya butuh kepastian.
Tetapi pemuda itu sama sekali tidak ingin melepasnya. Justru membiarkan Diana sesak napas menghirup aroma dada Arkaan.
“Lo harus percaya pada apa yang gue omongin. Sebaiknya kita pulang. Sudah malem.”
“Aku mau dengar ceritanya,” tuntut Diana keras kepala. Gadis itu tidak mau pulang diantar Arkaan. Biarlah dia naik taksi jika Arkaan tetap bungkam..
Masih banyak pertanyaan yang ingin dia dengar, tetapi Irene lah yang harus diketahui oleh Diana Stelia Arumi.
“Gue cerita sambil jalan ya?”
Arkaan akhirnya melepas pelukannya. Justru mengamit lengan Diana lebih erat, tak ingin dipisahkan.
“Tapi aku lapar sekali." Diana bergumam.
“Memangnya di sana lo tidak makan?” tanya Arkaan.
“Bagaimana aku bisa makan? Lagi pula tidak ada teman yang membuatku tidak khawatir ketinggalan kereta.”
“Sori, Pendek!” Arkaan mengecup kening Diana. “Berjanjilah sama gue, nanti kalau ingin pergi ke suatu tempat, lo harus menunggu gue. Kita akan pergi bersama. Oke?”
“Aku tidak akan memaafkanmu kalau batal secara mendadak.” Diana berkata dengan ekspresi datar.
“Oke. Sorry, ya.”
“Huh. Dasar tega," sungut Diana.
“Lo mau makan apa? Gue traktir.”
“Apa saja.” Diana malas berpikir lebih banyak.
“Uh? Apa itu?” tanya Arkaan menunjuk kantong plastik yang digenggam Diana. Tadinya Diana hendak membuangnya setelah turun dari kereta. Aromanya sedikit menyengat. Mungkin karena saat masih panas, Diana langsung menggulungnya ke dalam kertas foil.