Aroma karbol berpadu antiseptik menjadi kombinasi bau paling tidak disukai Diana. Sepanjang koridor yang mengarah ke ruangan Tomi, aroma itu terus menyengat hidung. Diana sebenarnya malas berada di rumah sakit akibat bau itu. Tetapi dia sudah janji ikut mengunjungi Tomi di salah satu bangsal rumah sakit.
Arkaan mendorong pelan pintu, memastikan penghuninya tidak terusik. Tomi paling rewel bila mendengar suara saat tidur. Tetapi Tomi memang rewel. Tidak betah di lingkungan baru, apalagi tusukan jarim di tangannya yang diganjal papan plastik agar tidak banyak gerak dan terlepas, terus menusuk-nusuk kulitnya. Keadaan Tomi langsung gemuk karena cairan infus yang masuk lewat pembuluh darah.
“Halo Tomi!” Arkaan melambaikan tangannya. Pemuda itu duduk di sisi ranjang lain, menyapa anak dua tahun itu.
Diana meletakkan bubur hangat untuk Irene di meja. Dia menyaksikan sikap perhatian Arkaan tidak beralasan. Tentu saja Irene tidak sempat bisa mengurus dirinya sendiri, apalagi membeli makanan di luar. Terlihat dari tampang kurang tidurnya, Irene tidak sempat mandi maupun ganti baju.
Sisa-sisa pukulan suaminya tampak di wajahnya, masih biru kekuningan. Seminggu lagi, lebam birunya baru lenyap.
"Mbak, makan dulu. Gue yang gendong Tomi. Boleh gue bawa keluar sekalian?” Arkaan menjulurkan tangannya ke arah Tomi.
Tomi diam. Tangannya balas terulur ke Arkaan.
“Baaaa… Babaaaa….” Anak itu mengoceh. Tangisnya reda.
“Thank you, Daniel.” Irene menyerahkan anak semata wayangnya ke gendongan Arkaan.
Diana terkesima dengan sosok Arkaan yang baru. Bagaimana mungkin laki-laki tertutup ini begitu akrabnya dengan anak kecil? Bertolak belakang dengan Diana Stelia Arumi yang tidak suka mengurus anak kecil.
“Siapa dia?” tanya Irene akhirnya menoleh ke tamu tak dikenal.
“Ini pacar gue, Mbak.”
Ada gelenyar yang menerjang Diana. Dia tersenyum tampak berpuas diri. Diperkenalkan ke mantan pacar Arkaan sedikit membangun kepercayaan diri Diana.
Baguslah. Irene tidak akan berharap memiliki Arkaan, pikirnya.
Irene mengulurkan tangan setelah mengusapnya ke rok. Senyumannya hangat. Walau lelah, kesan cantiknya tidak memudar.
Kini Diana bisa mengerti mengapa Arkaan sangat peduli pada Irene. Ada banyak bekas luka di sekujur tubuh Irene akibat perbuatan suaminya sendiri. Diana cepat-cepat mengalihkan pandangan, tak tahan menyaksikan bilur-bilur itu. Akan dianggap tidak sopan melihat penderitaan secara terang-terangan.
“Diana,” ucap Diana lebih percaya diri.
“Irene,” balas Irene akhirnya melepas jabatan tangan.
Kedua gadis itu tidak perlu perkenalan lebih lanjut. Sama-sama canggung pada satu sama lain. Sementara Arkaan asyik bermain dengan Tomi. Irene lekas mengambil baju ganti di lemari kecil untuk membersihkan diri.
“Gue titip Tomi dulu ya, Daniel.”
Demi privasi, Arkaan mengajak Diana dan Tomi jalan-jalan ke area terbuka. Tomi semakin tidak bisa diam. Terus menjulurkan tangannya yang bebas jarum infus ke depan. Di belakangnya, Diana mengekor sambil memegang wadah cairan infus.
Mereka hanya keliling taman rumah sakit, memberi kesempatan untuk Irene istirahat. Lagi pula Tomi tidak pernah berhenti menangis sampai muncul Arkaan. Begitu nyaman bercengkerama dengan Arkaan seolah dia ayah Tomi.
“Baaa… Baba…”
“Terdengar seperti papa, ya?” terka Diana.
Arkaan tersenyum menghadap ke Diana. Dia berjalan mundur, mempertegas penglihatan Diana bahwa dia adalah penyayang anak kecil.
“Akan sangat menyenangkan masa depan kita seperti ini.”
Cheese!
Pipi Diana merona. Tidak menyangka Arkaan melontarkan candaan semacam ini.
“Lulus kuliah dan dapatkan kerjaan dulu, baru membahas hal seperti ini,” sahut Diana lebih tertarik membaca tulisan di kemasan cairan infus.
“Hm…. Lo mengejar kemapanan?”