Irene menemukan pekerjaan paruh waktu lain. Dia menjadi pelayan di restoran yang memiliki jumlah pelanggan ratusan setiap hari.
Walau tidak mudah, dia menitipkan Tomi di tempat penitipan anak. Kadang-kadang jika Arkaan senggang, dia mengambil Tomi di tempat penitipan anak, lalu mengajaknya jalan-jalan. Tadinya Arkaan hendak mengajak Diana juga. Tetapi akhir-akhir ini Diana sibuk. Selalu menolak pergi. Sudah tidak bisa menemani Arkaan makan siang atau malam.
Dengan anggapan sibuk urusan kampus, Arkaan memaklumi sang pacar. Tetapi perayaan kebebasan Irene dari mantan suaminya harus dilakukan. Arkaan telah memastikan jadwal Irene di akhir pekan bisa digunakan untuk pergi ke luar. Dalam satu bulan, Irene hanya punya dua hari libur. Jadi libur pertamanya akan digunakan untuk makan di restoran terkenal lainnya.
Pertahanan Diana akhirnya luruh. Dia tidak sanggup menyaksikan pacarnya selalu menghabiskan waktunya dengan Irene. Diana akui, sangat menyayangkan kesibukannya sebagai florist. Hanya saja, ini konsekuensi yang Diana pilih. Menutupi kegiatan barunya, sibuk bekerja, sampai tugas-tugas kampus mulai terbengkalai.
Setiap Diana ingin bicara berdua dengan Arkaan, ada saja hal yang membuat komunikasi tidak lancar. Diana sebal setiap mendengar nama Tomi dan Irene disebut. Seolah tidak ada percakapan lainnya. Ada sedikit jenuh yang menghimpit di dada Diana. Seolah Arkaan bahagia menyambut masa lalu yang semestinya lenyap tertelan kehadiran Diana sebagai kekasihnya.
“Ayolah, Pendek. Kita jalan-jalan. Ke Time Zone saja jika gak bisa jalan-jalan lebih lama? Satu jam gak akan mengubah nilai-nilai lo turun,” bujuk Arkaan lewat telepon.
Masih sebal, Diana akhirnya luluh. Dia menukar jadwal kerjanya ke hari lain demi menuruti permintaan menemani Arkaan setelah empat hari mereka tidak bertukar kabar.
Suasana hati Diana tidak membaik. Dia menyimpan rapat mulutnya. Tidak tersenyum ke Irene sama sekali. Hanya duduk di jok depan mobil, sementara Arkaan meninggalkannya di parkiran saat menjemput Irene dan Tomi di lantai atas. Ketika mereka pergi, Diana pura-pura tidur. Padahal telinganya panas sekali mendengar percakapan mereka.
Dia sedang cemburu berat.
Tetapi kesabaran itu tidak punya batas. Arkaan mengajak Tomi main game, sementara Irene dan Diana disuruh makan siang bersama.
“Mbak Irene suka hidangan laut. Nah ini selagi ada partner makan, kalian saja yang duluan,” kata Arkaan sambil lalu. Dengan dagunya, dia menunjuk barisan restoran aneka menu seafood.
Diana tidak banyak bicara. Dia berbalik ke tempat yang ditunjuk Arkaan. Dia memesan makanannya sendiri, sementara Irene mengekor di belakangnya. Irene memesan menu yang sama. Keduanya duduk di salah satu meja bernomor enam. Irene mengamati sekitarnya, sementara Diana sibuk dengan ponsel. Sampai makanannya tiba, Diana tetap diam. Kepiting pedas itu tidak memupus kedongkolannya. Ini kepiting paling tidak enak yang Diana santap.
“Perut lo masih sakit?” tanya Irene perhatian. Dia tadinya hanya mendengar dari Arkaan kalau Diana sedang datang bulan dan lagi sensitif-sensitifnya.
Tetapi ini semua alasan saja.
“Mbak Irene, apa kamu tidak berpikir kalau bantuan Arkaan lebih dari kata cukup untuk kalian? Perceraianmu sudah selesai diurus. Apa seterusnya kamu akan menempel pada pacarku?” tanya Diana. Suaranya tajam bersama tatapan yang beralih ke area permainan yang berjarak 200 meter. Dari kejauhan, Arkaan sedang menuntun Tomi beli koin sebelum menjajal permainan anak-anak.
Irene terperangah. Tidak menduga sefrontal itu Diana bicara.
Tidak peduli betapa cemburunya Diana, Arkaan terus saja menemui Irene dan Tomi. Wajar kalau Diana marah. Diana adalah kekasihnya. Dia masa kininya, sementara Irene masa lalu yang harus dilupakan Arkaan.
Tetapi dengan seenaknya Irene hadir di tengah mereka, bagai hama yang merusak bunga-bunga yang sedang bermekaran.