Pertanyaan Diana terus berenang dalam otaknya. Menancap sangat dalam kesunyian. Irene duduk di sana, memikirkan kemarahan Diana. Sampai akhirnya Arkaan dan Tomi puas memukul tikus yang bermunculan dengan tongkat khusus. Tawa mereka riang, kontras dengan Irene yang bersaput mendung. Mereka tidak langsung pulang. Giliran Irene yang mengasuh anaknya sementara Arkaan mengisi tenaganya.
Dia melamun lagi saat menatap barisan toko saat mobil SUV Arkaan menyintas ke arah apartemennya. Tomi baru saja tertidur, pulas sekali dan menggenggam pistol mainan yang dibelikan Arkaan di Time Zone.
Sejujurnya, dia tidak bermaksud menghancurkan hubungan Arkaan dan Diana. Dia lupa kalau Arkaan punya kehidupan lain. Wajar kalau kekasih Arkaan kesal.
Hampir setiap hari Arkaan mampir ke apartemen, membelikan sesuatu yang tidak diminta Irene. Terkadang mereka makan di luar, kadang mengantar Irene ke tempat kerja. Tak heran bara api membabat habis kesabaran Diana.
Namun, Irene tidak bisa menepis kehadiran Arkaan. Pemuda itu bisa membuatnya tertawa bebas. Apalagi Tomi sering menanyakan baba-nya jika Arkaan tidak kunjung main ke apartemen.
Wanita itu semakin tidak enak. Kepikiran bahwa selama ini dia menjadi parasit. Tetapi Irene harus bertahan sedikit lagi. Wanita itu tidak ada yang bisa menopang selain Arkaan dari segi finansial dan tempat tinggal. Sampai dia cukup punya uang, akan dia ganti semua yang diberikan Arkaan.
“Daniel, lo gak kerepotan mengasuh Tomi?” tanya Irene memecah kesunyian.
“Gak. Gue senang bersama Tomi.”
Arkaan tidak bohong. Anaknya dan Arkaan saling menyukai kehadiran satu sama lain.
“Tetapi lo sudah sering bolos kuliah demi menemani Tomi.”
“Gak masalah.”
Irene mengulas senyum. Arkaan memang seperti itu. Tidak peduli urusan pendidikannya demi melihat orang yang disukainya.
“Gue rasa, sebenarnya Diana sedang membutuhkan waktu khusus hanya bersama lo. Kenapa lo harus melibarkan gue dan Tomi?”
Arkaan melirik. Mulutnya bungkam. Bertanya-tanya dari mana Irene punya pemikiran semacam itu.
“Diana bilang begitu ke lo?”
“Tidak. Ini cuma perasaan gue aja.” Irene membalas dengan cepat. Tangannya terus mengelus puncak kepala anaknya, semakin gugup membahas masalah ini.
“Itu hanya perasaan lo, Mbak Irene. Diana pasti mengerti Tomi butuh perhatian.”
Deru mobil kembali mengisi keheningan di antara mereka. Dari tarikan napas Irene yang berat, menunjukkan bahwa hubungan Diana dan Arkaan tidak sekuat kelihatannya. Irene tidak tahu apa-apa tentang Arkaan semenjak menikah. Tetapi mengingat bagaimana sensitifnya Diana hari ini, Irene jadi tahu bahwa kedua orang itu masih tahap krisis kepercayaan dan sedang membangun komitmen yang lebih dalam.
“Oh, ya,” ujar Irene berlagak ingat sesuatu yang terlupakan. “Bukannya hari ini lo punya rencana nonton film bersama pacar lo? Kenapa jadinya malah lo yang ada di sin nganter kita. Mestinya lo anter Diana kek, pulang ke rumahnya.”