Spring Breeze

Ratna Aleefa
Chapter #31

#31 Wasiat Terakhir

Tumpukan tugas sama sekali tidak bisa mengikis kekalutan Diana. Dia menutup layar laptop dan melempar kacamata minusnya ke meja belajar. Tekanan yang dirasakan menyebabkan pusing bukan main.

Sepulang dari Time Zone, Diana lekas mengurung diri di kamar. Ketukan pintu kamar tidak digubris. Adiknya terus mengganggu Diana. Sampai akhirnya dia membuka pintu dan melempar sandal kelincinya ke perut Dion.

“Berisik banget!” amuknya lantas membanting pintu.

“Sudah, jangan ganggu kakakmu, Dion!” lerai ibunya mengedikkan bahu. Sudah biasa dia melihat kedua anaknya ribut seperti itu.

Dion tidak ada yang bisa dilakukan semenjak laptop dan ponselnya disita ayahnya. Jadi adiknya melakukan tiga kegiatan. Makan, nonton TV dan tidur. Disuruh belajar malah bikin perutnya mulas.

“Mama!” panggil Dion menoleh horor ke ibunya, “Kenapa dia seperti itu? Kita kudu bawa Mbak Diana ke dukun, deh. Siapa tau jin ganas itu hilang. Serem tenan melihat orang ngamuk," oceh Dion menggigil seakan berjumpa hantu perawan berambut panjang.

“Kamu yang usil,” tanggap ibunya tidak peduli.

Percakapan di luar kamarnya masih saja terdengar. Diana mengentakkan kaki ke meja belajar. Jemarinya dengan ganas mengambil ponsel dan headset. Dia mendengar keras-keras musik yang berdentum di telinganya. Bukannya membaik, situasinya semakin kacau saja.

Semuanya gara-gara Irene.

ARGHHHHH…..

Jeritan Diana teredam pada bantalnya. Dia lantas menghajar benda empuk itu dengan membayangkan wajah Arkaan yang tersenyum ke arah Irene tadi. Hingga sekarang pun, Arkaan tidak menelponnya. Jelas bahwa pria itu sangat menyukai Irene.

Hebat sekali Putra Arkaan Daniel, kamu sudah membuatku jatuh cinta padamu. Lalu saat mantanmu kembali, kamu membuangku seolah sampah, batinnya mengaduh.

Diana menyerah. Dia kembali memblokir nama Arkaan dari daftar kontak ponsel. Anehnya perasaannya menjadi lebih tenang. Matanya lekas terpejam rapat, menanti alarm subuh kembali memekik. Dia menyerah memaksakan diri untuk mengerjakan tugas selesai sekarang juga.

“Terlalu buru-buru hanya berujung kekacauan. Gak bisakah lo lebih santai?”

“Jangan bohong. Lo ini calon psikolog. Tapi gak pandai mengatur emosi sendiri.”

“Lo bisa menganggap gue apa saja. Gue bakal datang ke lo. Tapi suatu hari, kalau gue gak bisa lo hubungi, itu artinya hubungan kita selesai.”

“Lo boleh anggep gue pacar.” Arkaan memperjelas maksudnya. Tidak ada gurat malu terpeta di wajahnya yang ceria. “Tapi kita gak akan saling mengikat dalam hubungan yang namanya kencan. Kita hanya teman bermain. Jalan-jalan, belajar bersama atau apapun itu. Status tidak penting, kita hanya menikmati momen bersama dan saling menjaga.”

"Arkaan, bagaimana aku bisa menikmati kencan menyenangkan kalau kamu sendiri menyebalkan?” Diana mengacak kepalanya, senewen sendiri dan menendang selimutnya.

Jika ada zat menghapus memori, dia lebih suka meminumnya untuk melupakan Arkaan dan Irene. Janji menikmati kencan menyenangkan bersama Arkaan merupakan janji kosong. Pemuda itu sudah menemukan kembali sumber kebahagiaannya.

Sementara Diana, menerima harapan palsu.

"Lo itu selalu tegang mendapatkan misi. Lo liat kesempurnaan hasil tanpa benar-benar menikmati prosesnya. Jika lo melakukan kerja paruh waktu dan tugas akhir dalam waktu yang bersamaan, pikir lo, lo bisa fokus pada dua-duanya?"

“Pendek, gue gak larang kalo lo melakukan sesuatu. Tapi lo jangan kecewa kalau nilai IP lo untuk skripsi berakhir gak baik. Ini konsekuensi dari pilihan lo sendiri.”

“Mau kerja sambil kuliah pun tak masalah. Aku bisa membagi kedua-duanya. Tapi aku tidak bisa membagi hati dan otakku lebih rasional. Keduanya bertabrakan disebabkan kamu bakal lari pada Irene!”

Diana terus menggerutu. Dia hanya gelisah membayangkan yang tidak-tidak.

Jeritan di ponselnya membuat kepalanya bagai dipelintir. Dia langsung menyambar ponselnya, mengangkat panggilan dari nomor tidak dikenal, lantas menempelkan dengan cepat.

“HALO?”

“Diana?”

Seseorang dari seberang memanggil namanya. Suaranya parau. Samar-samar isak tangis terdengar menyayat. Begitu pilu. Diana bisa merasakan bulu kuduknya meremang.

“Iya, Mama?” Diana menurunkan intonasinya, mengenali Martha menangis tersedu-sedu di seberang.

“Nenek Revan sudah meninggal.”

“Apa!”

Diana kembali terkejut. Kedua bahunya terlontar ke atas. Gadis itu duduk dengan tegang. Seketika air matanya merembes. Terakhir kali Diana datang ke rumah keluarga Revan hanyalah mengembalikan uang Revan dan meminta uang itu digunakan untuk membeli pengatur suhu ruangan. Sampai sekarang, gadis itu sama sekali tidak pernah mengontak keluarga mantan kekasihnya. Martha sesekali mengirim pesan untuk menanyakan kabar, tetapi Diana tidak mengubris.

“Nenek Revan masih di rumah?”

“Di Rumah Sakit Dr. Sutomo, ini perjalanan ke rumah buat persiapan dikubur.”

“Aku akan ke sana, Mama.”

Lihat selengkapnya