Proses penguburan Maryani sudah selesai. Suasana duka masih menyelimuti keluarga Revan. Esoknya, Diana hadir lagi demi menghibur Martha yang masih kalut. Sama halnya dengan ibu Revan, Diana sangat kehilangan Maryani.
Sedikit pedih mengingat Revan tidak bisa berlama-lama di rumah duka. Pemuda itu memantau perkembangannya lewat chat grup keluarga. Dia terlalu lelah sebenarnya untuk sekadar membuka ponsel. Pekerjaannya sangat berat dan intens, tak sempat baginya untuk bermain ponsel.
Tiga hari berkabung, semuanya kembali ke aktivitas masing-masing. Diana menerima orderan rangkaian bunga dari salah satu tokoh pejabat. Hatinya teriris-iris mengenang Maryani. Diana menghias jalinan bunga dengan murung.
Tidak ada gairah di mata Diana. Dia mulai terbiasa dengan ritme pekerjaan. Walau mengeluh tidak bisa sering membaca buku sebagai referensi tambahan kuliah, Diana tetap mengotak-atik rangkaian bunga. Begitu pula dengan perkuliahan. Tak pernah absen meskipun dikejar deadline kerjaan.
Siang itu, Diana baru saja menghadiri salah satu mata kuliahnya. Dia baru saja selesai mengisi perut sebelum mengikuti seminar kakak tingkatnya. Kebetulan kasus studinya menarik perhatian Diana. Dia ingin mengambil kasus yang sama sebagai penelitian berikutnya.
Ekor matanya menemukan sosok Arkaan yang berjalan ke arahnya. Diana pura-pura tidak melihat, dia memasukkan barang ke tas dan berdiri mengambil nampan stainless kotor.
“Tahan sebentar,” kata Arkaan menahan piring Diana tetap di meja. Tanpa segan, Arkaan mengambil sisa-sisa potongan sayur milik Diana lalu disantap.
“Cepatlah, aku tidak punya banyak waktu,” sahut Diana melirik arloji yang melekat di pergelangan tangannya agak tidak sabaran.
Arkaan makan dengan kecepatan yang biasa. Menjelang habis, dia baru memperhatikan Diana menatap jendela kantin dengan pandangan kosong. Sorot mata sayu, sering menghela napas dan lesu. Jelas bahwa Diana banyak pikiran.
“Lo kenapa?” tanya Arkaan penasaran. Namun, mulutnya sibuk mengunyah menu makan siang yang sangat lezat.
“Tidak ada masalah,” sergah Diana merapatkan rahang. Masih tidak mau melihat Arkaan.
“Ngomong dong,” desak Arkaan, kali ini meletakkan sendok. Dia benar-benar siap mendengar semua masalah Diana.
Pikiran berat kembali mendesak kedamaian Diana. Sudah cukup permintaan terakhir Maryani membebaninya, jangan diperkeruh kekhawatiran bahwa Irene bakal merebut kembali Arkaan. Walau ibu Arkaan bakal mendukung Diana, tetapi Arkaan yang menjalani kehidupan asmaranya.
“Aku harus ke kelas, kamu bisa makan sendirian?”
Alis Arkaan semakin bertaut. Dia bingung pada sikap Diana yang semakin dingin. Jarang sekali melihat Diana semurung ini. Begitu penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Ada sesuatu yang Diana tidak bisa ceritakan pada Arkaan dan itu malah memperkeruh keadaan.
“Pendek, lo kenapa?”
“Kenapa kamu tanya terus, hah?”
Akhirnya bentakan itu keluar. Kelopak mata Diana basah. Diana mengerjabkan mata, tak sanggup berlama-lama melihat Arkaan. Dalam satu sentakan, dia meninggalkan Arkaan sendirian di meja makan. Untuk pertama kalinya Diana membiarkan Arkaan sendirian di depan makanannya.
Arkaan tidak diam. Dia ikut mengekor sampai akhirnya Diana benar-benar menaiki tangga ke arah fakultasnya.
“Pendek, apa masalah lo?” tanya Arkaan lewat pesan. Tetapi pesan itu tidak bisa terkirim karena lagi-lagi Diana memblokir nomornya.
Arkaan mengumpat, kesal karena tak tahu masalahnya apa. Dia mengembuskan napasnya kuat-kuat. Bila memang Diana tak mau diganggu, dia tidak akan mengganggu sampai akhirnya Diana datang dengan sendirinya ke Arkaan.