Spring Breeze

Ratna Aleefa
Chapter #33

#33 Putus

Kedua tungkai kakinya pegal bukan main. Gadis itu merasa tidak beruntung malam ini. Pulang kerja dengan naik bus dan tidak mendapatkan tempat duduk. Dia bergelantungan pada cincin besi agar tidak hilang keseimbangan. Dia sudah tiga puluh menit berdiri, merutuki kebiasaannya yang mengenakan sepatu hak.

Diana merasa rendah diri dengan postur tubuhnya yang pendek. Pantas saja Arkaan suka memanggilnya seperti itu. Demi menopang kepercayaan dirinya yang rapuh, Diana rela melepas kenyamanan demi keindahan. Imbasnya seperti sekarang. Kedua kakinya sakit dan ingin diolesi krim otot.

Diana pun turun dan duduk di halte tujuan untuk melepas sepatunya sejenak sebelum menuju rumahnya yang berjarak tiga ratus meter dari jalan utama. Matanya memindai cahaya sepanjang jalan. Dia mampir sebentar ke toserba terdekat demi sebotol susu pisang sambil menikmati suasana.

Desir angin dan cahaya lampu mampu menghibur hatinya yang terombang-ambing. Hati itu terseret menjauh menuju samudra harapan yang mengamuk. Tentu saja, samudra yang diharapkan menampung arus jiwanya malah melupakannya. Sedikit banyaknya, Diana merindukan Revan lagi. Dia terkenang banyak janji-janji yang diutarakan di depan nenek Revan.

Sudah banyak momen di antara Diana dengan keluarga Revan. Dia merasa terikat. Kepergian nenek tua itu membuat Diana merasa semakin dekat dengan Martha. Dengan ponsel di tangan satunya, Diana menyetel musik yang terpasang pada kabel headset. Dia bersenandung kecil dan membuka daftar kontak terblokir.

Hanya dua nama di sana yang terblokir. Keduanya sama-sama mengisi hati dan pikiran Diana. Gadis itu lantas melepas gambar silang pada nama Revan dan menyimpannya. Tangannya semakin cepat mengirim pesan tanpa berpikir.

Bagaimana harimu? Kamu udah makan?” tulisnya.

Diana menunggu selama beberapa detik. Pesannya terkirim, tetapi masih centang satu. Jelas bahwa Revan sangat sibuk.

Diana tersenyum, berharap bahwa Revan bakal membalas pesannya. Memang di sana diizinkan membawa ponsel. Tapi tidak digunakan saat berada di lapangan. Menurut Martha, Revan bahkan membalas satu kali pesannya di antara puluhan pesan. Revan terlalu lelah untuk main ponsel. Dia kerja sejak pagi dan berakhir larut malam. Tiap selesai kerja, Revan mengolesi krim otot dan langsung terkapar tidur.

Pandangan Diana kembali membeku ke sosok yang berdiri di depannya. Dia lekas membuang muka. Kelopak matanya bergetar, nyaris menangis kesal. Dia mempercepat langkahnya yang pegal untuk masuk ke rumah. Gadis itu terlalu malas untuk bicara.

“Pendek, gue ingin bicara,” ujar Arkaan disertai senyum manisnya yang biasa.

“Besok saja. Aku lelah sekali.”

“Lima menit saja, tolonglah.”

“Besok.”

“Pendek!”

“Aku baru pulang kerja. Sangat lelah. Sana pergi!” semprot Diana. Tak tahan untuk tidak menghardik Arkaan. Gadis itu bahkan melempar susu kotaknya yang tersisa separuh. “Kamu mau bicara omong kosong apalagi tentang Irene dan Tomi?”

Pertanyaan itu merendam senyuman Arkaan. Benar seperti yang diucapkan wanita itu. Diana cemburu. Tetapi yang lebih mengejutkan Arkaan adalah kalimat pertama tadi. Pikiran Arkaan langsung pecah, penasaran dengan maksud Diana. Kerja? Kerja apa? Kenapa dia tidak tahu?

“Sejak kapan lo kerja? Kenapa gak minta jemput gue?”

“Untuk apa kamu harus tahu? Kamu bahkan nggak peduli aku sibuk atau tidak. Memaksaku pergi demi perayaan perceraian Mbak Irene. Jangan libatkan aku dalam urusannya lagi.”

“Lo bicara apa, Pendek?”

Diana meremas poninya, tak tahan untuk mengontrol ketenangannya. Tadinya dia ingin bicara baik-baik saja dan tenang. Kenyataannya, dia emosional seperti ini. Diana terus membanding-bandingkan dirinya dengan Irene yang lebih sempurna, lebih menyenangkan, lebih ramah, dan bisa membuat Arkaan bahagia.

Tidak seperti Diana yang kaku dan gampang menunjukkan perasaan.

Kini dia memahami kenapa Revan menyimpan rapat masalah keluarganya. Pergi diam-diam, agar tidak melihat Diana terluka seperti ini. Gadis itu merasakan kehilangan saja sudah kacau balau.

Lihat selengkapnya