Detik jam menemani Samantha. Dua cangkir kopi tergeletak di atas nakas yang terletak di samping kasur. Malam ini, ia tidak yakin bisa tidur. Perasaan rindu telah sampai ke ubun-ubunnya. Saat ini, ia ingin sekali bertemu dengan Jamie. Emosinya telah mengalahkan ketakutan yang selama ini ia rasakan.
Semakin malam, perasaannya semakin gelisah. Ia terus berdoa agar besok ia dipertemukan lagi dengan Jamie. Tapi sisi hatinya yang lain menentang. Ketakutan kembali muncul ketika ia mengingat semua kisahnya yang telah lalu.
Di kehidupan pertamanya, mereka harus berpisah karena perbedaan kasta. Kehidupan kedua, Jamie meninggal karena kecelakaan. Kehidupan ketiga, ia harus dijodohkan dengan laki-laki lain. Dan di kehidupan ke empat, mereka memutuskan berpisah karena perbedaan agama. Lalu di kehidupan kali ini, Samantha terlalu takut untuk membayangkannya. Tentu saja tak akan ada lagi cerita pertentangan dari keluarganya karena sekarang ia sebatang kara. Ia merasa tidak ada sesuatu yang memicu masalah dari sisinya.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 02.38. Samantha menghela napasnya. Ini tidak baik. Pagi hari ia harus bertemu dengan klien yang tertarik dengan rancangan design miliknya. Sudah empat tahun ini ia membuka jasa design interior, pekerjaan yang paling ia sukai diantara pekerjaan lainnya yang pernah ia lakukan.
Akhirnya Samantha memutuskan untuk tidur. Sebelum memejamkan matanya, ia menyelipkan sebuah doa agar bisa bertemu dengn Jamie sekali lagi.
..
Suasana di kota tua saat akhir pekan seperti ini selalu saja ramai. Kerumunan banyak orang menghiasi setiap jengkal tempat. Café, kedai, dan restoran semua penuh. Bahkan tak jarang orang harus melakukan reservasi telebih dahulu jika ingin berkunjung ke sana. Ya, akhir pekan memang milik semua orang. Begitu juga dengan Jamie.
Hari ini ia sedang berkumpul dengan teman-temannya sewaktu kuliah dulu. Bercerita banyak hal dan membicarakan masa lalu yang tak jarang untuk saat ini adalah aib bagi mereka. Mereka terlihat bersenang-senang. Tidak memperdulikan kerumunan lalu lalang yang semakin ramai menjelang sore.
“Kau masih betah untuk sendiri?” Tanya Clarissa, teman Jamie yang akan menikah bulan depan.
“Aku kan tidak sendiri. Ada kalian di sini.” Jawab Jamie asal.
Clarissa mendengus kesal. Ia tahu betul bagaimana cueknya Jamie pada lawan jenis. Mereka berteman sejak taman kanak-kanak. Bahkan, ia sempat menduga kalau Jamie itu gay. Tentu saja Jamie marah-marah ketika mengetahuinya.
“Jamie, bulan depan aku menikah. Kau tidak ada niatan untuk menikah juga?” Tanya Clarissa lagi.
Jamie melihat Clarissa sebentar. Kemudian matanya menerawang, membayangkan wajah Samantha yang membuatnya terjaga semalaman. “Tentu saja aku ingin menikah juga. Tapi tidak untuk sekarang.” Jawab Jamie.
“Kapan? Nunggu rambutmu beruban semua?”
Jamie tergelak mendengar sindiran Clarissa. Kemudian ia beusaha untuk mengalihkan pembicaraan dengan mengajak mereka bermain sebuah game. Clarissa menggelengkan kepalanya perlahan. Ia tahu kalau Jamie sedang menghindari pertanyaannya.
Tak berapa lama kemudian, Jamie berpisah dngan teman-temannya. Sekarang ia sedang berjalan Santai di sepanjang jalan menuju halte trem terdekat. Kota tua berada tidak jauh dari pusat kota. Dan dari pusat kota ke apartemennya hanya perlu memakan waktu sekitar lima belas menit.
Sepanjang jalan yang ia lalui, ingatannya terus tertuju pada kenangannya bersama dengan Samantha. Bagaimana wanitanya itu tertawa, tersenyum, sedih, marah, merajuk, semuanya ia ingat dengan sempurna. Tak ada seharipun yang ia lalui tanpa memikirkan Samantha.
Udara sudah tidak begitu dingin lagi. Sekarang Jamie hanya mengenakan jaket jeans ber-hodie berwarna abu-abu. Rambut hitam yang sangat kontras dengan kulit putihnya dibiarkan berantakan begitu saja. kedua tangannya tersimpan di saku jaket. Earphone nampak terpasang di kedua telinganya. Rupanya ia sedang asyik mendengarkan musik yang dimainkan melalui ponselnya. Dan setelah ia menyebrang perempatan lampu merah, mata hijaunya menangkap seseorang di depan toko buku. Seketika raut mukanya berubah menjadi ceria. Doanya terkabul. Ia bertemu lagi dengan Samantha.
…