“I wanna hold your hand and go to the other side of the earth.
But, I can’t reach you.”
.
.
.
Deru angin di hari pertama musim semi berhembus menyapa telingaku, menerbangkan sedikit helaian rambutku. Ku pejamkan kedua mataku erat-erat. Menarik napas dalam-dalam, menghirup sebanyak-banyaknya oksigen. Ah, aroma musim semi yang menyejukkan. Aku selalu menyukainya.
Kembali kubuka kedua mataku. Sosok seorang gadis yang berdiri membelakangiku di seberang sana—terpisahkan dengan rel kereta api—adalah pemandangan pertama yang kulihat. Rambut hitamnya yang terurai panjang sedikit diterbangkan angin. Jangan lupakan syal biru kesayangannya yang juga ikut bergoyang. Sesekali tangannya bergerak menyapu kelopak bunga plum yang baru mekar dan jatuh tepat di atas kepalanya.
Aku masih diam memandanginya. Hingga ia berbalik dan menatapku. Wajah manisnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ada jejak air mata yang mengering di sudut matanya yang tajam itu. Kedua manik sehitam langit malam miliknya berpendar, menatapku dalam. Sebuah lengkungan sabit terbentuk dari bibir ranumnya, membuat wajahnya tampak semakin manis.
Selama beberapa detik, aku tertegun. Terpaku pada keindahan yang kulihat di hadapanku. Pemandangan seorang gadis yang tengah tersenyum, dihiasi dengan kelopak-kelopak bunga plum yang berterbangan di tiup angin, serta langit oranye yang mulai menggelap. Aku tidak bisa berhenti mengucapkan syukur dalam hati, betapa indahnya segala ciptaan Tuhan ini.
"Haruki..."
Aku tersadar dari lamunanku setelah suara manis dari gadis di hadapanku bergetar dalam telingaku. Masih dengan senyum manis, ia melangkahkan kakinya. Selangkah dua langkah, hingga berhenti tepat di tengah lintasan kereta api.
Aku termangu. Apa yang akan ia lakukan disana?