Langit-langit kamar berwarna serba putih adalah pemandangan pertama yang kulihat. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, mencoba beradaptasi dengan cahaya ruangan yang masuk ke dalam mataku. Kepalaku terasa pening. Rasanya seperti baru terbangun dari tidur yang sangat panjang. Ditambah dengan bau tajam dari obat-obatan yang menguar, membuatku ingin muntah. Sebuah pertanyaan terlintas di benakku. Sebenarnya, aku ada di mana?
Samar-samar, aku melihat siluet seorang gadis bersurai hitam yang selalu memakai syal biru polos itu. Ia berdiri di hadapanku, tersenyum sangat manis. Suaranya yang lembut menyapaku.
“Ohayou gozaimasu[1], Haruki.”
“Sakura…”
Tanpa sadar aku menggumamkan namanya. Kuharap, ia membalasnya. Namun, sosoknya malah menghilang secara perlahan
“Haru-senpai[2]?”
Suara seseorang memanggil namaku dengan ragu. Aku yang masih setengah tersadar mencoba melirik, mendapati seorang gadis dengan pakaian musim dingin yang duduk di sebelah ranjangku. Kedua matanya menatapku, tampak terkejut. Aku mencoba mengenali wajahnya yang tampak tidak asing.
“N-Nanami…chan[3]?”
Aku mencoba memanggilnya walau ragu. Namun, suaraku terasa sulit sekali untuk keluar. Tenggorokanku terasa kering. Rasanya seperti tidak minum berhari-hari.
Gadis yang kupanggil Nanami itu tersenyum. Wajahnya menunjukkan rasa lega. Saking leganya, dapat kulihat kedua mata hazel-nya yang berkaca-kaca seperti hendak menangis.
“Syukurlah, kau sadar juga, Haru-senpai. Aku harus segera memanggil dokter,” ujarnya. Baru saja ia hendak menekan tombol di sebelah tempat tidurku, tampak seseorang masuk. Pemuda tinggi bersurai karamel yang wajahnya tampak mirip denganku. Ah, itu adikku.
“Hika-chan, kakakmu sudah sadar,” seru Nanami senang.
Adikku, Hikaru, tampak terkejut. Ia segera menghampiriku. Wajahnya tampak senang begitu melihatku.
“Nii-san[4], akhirnya kau sadar juga. Syukurlah… Terima kasih, Tuhan,” ujar Hikaru sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya. Ia lalu menoleh, menatap Nanami.
“Aku akan menghubungi Otou-san[5] dan Okaa-san[6]. Na-chan, kau tolong panggilkan dokter ya,” ujar Hikaru. Nanami mengangguk dan segera melakukan perintah Hikaru.
Aku hanya diam memperhatikan mereka. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Sejak tadi, berbagai pertanyaan terus berputar di kepalaku. Sebenarnya apa yang telah terjadi padaku?
Tak lama kemudian, seorang dokter dan seorang perawat masuk ke dalam ruanganku. Mereka melakukan beberapa pemeriksaan kepadaku. Setelah itu, mereka tampak berbincang dengan adikku. Aku tidak bisa mendengar perbincangan mereka dengan jelas karena sepertinya indera pendengaranku belum kembali berfungsi dengan normal.
***
“Haruki, akhirnya kau sadar juga, nak. Aku bersyukur sekali.”
Setibanya di kamar rawatku, Okaa-san langsung memelukku erat. Aku sudah sadar sepenuhnya dan sudah cukup kuat untuk bisa duduk. Otou-san yang datang bersama Okaa-san berdiri di sebelah Hikaru, menatapku seraya tersenyum lega.
“Bagaimana kondisimu? Apa kau merasakan sesuatu? Ada yang sakit?” Okaa-san menyerangku dengan pertanyaan. Kentara sekali rasa kekhawatiran di wajahnya.
“Hanya sedikit pusing,” jawabku seadanya.
Otou-san tersenyum. “Itu wajar. Kau baru saja bangun dari tidur panjangmu.”
Aku mengernyit mendengar perkataan Otou-san. “Tidur panjang? Maksud Otou-san?”
Semua orang di dalam ruangan itu terdiam. Mereka saling membuang pandangan, enggan menatapku. Seakan menyembunyikan sesuatu dariku. Aku yang sejak tadi diam merasa tidak terima. Mengapa hanya aku yang tidak tahu apa-apa disini? Ini tidak adil.
“Okaa-san, apa yang sebenarnya terjadi padaku?”
Aku menatap Okaa-san penuh tanya. Okaa-san masih diam, enggan menjelaskan. Aku makin tidak mengerti. Mengapa harus disembunyikan?
“Okaa-san tidak mau cerita kepadaku?”
Lagi, Okaa-san masih diam. Aku melirik Ayah. “Otou-san?”
Otou-san ikut bungkam. Aku melempar pertanyaan yang sama pada Hikaru dan Nanami. Sayangnya, keduanya juga ikut diam. Ya ampun, mengapa mereka seperti ini?
“Sayang, kau mengalami kecelakaan.”
Okaa-san akhirnya buka suara setelah melihat raut wajahku yang tampak frustasi. Aku diam menatap Okaa-san, lagi dengan penuh tanya.
“Kau mengalami kecelakaan saat pertengahan musim panas dan koma selama empat bulan. Itu bukanlah waktu yang sebentar. Dokter bahkan hampir menyerah terhadapmu. Tapi, aku, ayahmu, Hikaru, serta teman-temanmu percaya bahwa suatu saat nanti keajaiban akan datang kepadamu. Dan Tuhan telah membuktikannya.”
Aku terdiam mendengar penjelasan Okaa-san. Koma selama empat bulan, bagaimana bisa? Aku benar-benar tidak bisa mengingat apapun. Semua kejadian sebelum kecelakaan itu terjadi, aku tidak bisa mengingatnya. Saat aku mencoba untuk mengingatnya, rasa sakit malah menyerang kepalaku. Spontan aku mengerang sambil memegangi kepalaku.
“Haruki, kau baik-baik saja?” tanya Okaa-san. Rautnya kembali panik. Otou-san, Hikaru, dan Nanami ikut menunjukkan raut yang sama.
“Jangan memaksakan diri untuk mengingat apapun, Haruki. Saat ini, lebih baik kau perbanyak istirahat agar tubuhmu cepat pulih,” ujar Otou-san.
Aku mengangguk menurut. Segera kembali ku baringkan tubuhku. Padahal baru sejenak membuka mata, rasa kantuk sudah kembali mendera. Mungkinkah ini efek karena memaksakan diri untuk mengingat semua kejadian yang tak sengaja kulupakan?
“Haruki, Okaa-san akan pulang untuk mengambil beberapa pakaianmu. Apa ada sesuatu yang ingin kubawakan?” tanya Okaa-san.
Aku terdiam sejenak hingga aku mengingat salah dua benda kesayanganku. Buku harian, aku selalu menulis tentang keseharianku di sana. Mungkin saja, buku itu dapat membantu mengembalikan ingatanku.
“Tolong bawakan buku harianku. Aku menyimpannya di laci meja belajarku,” ujarku.
Okaa-san tersenyum. “Baik, akan Okaa-san bawakan.”
***
Suasana kamar menjadi sepi setelah Okaa-san pulang. Hikaru ikut mengantar Okaa-san, sedangkan Otou-san harus kembali ke kantor karena masih jam kerja. Hanya ada aku dan Nanami yang menemaniku di sini.
Aku menatap langit senja berwarna jingga dari jendela kamarku. Matahari sebentar lagi terbenam. Biasanya, jam segini aku baru pulang sekolah. Aku pulang bersama Hikaru dan ketiga temanku. Yukimura Nanami dan kakaknya, Yukimura Hiroto. Keduanya merupakan temanku dan Hikaru sejak kecil. Rumah mereka bersebelahan dengan rumahku, sehingga kami sudah cukup lama melakukan banyak hal bersama-sama. Hiroto dan aku seumuran. Kami selalu duduk di kelas yang sama sejak SD, kecuali saat kelas 3 SMP. Sedangkan Nanami lebih muda dariku setahun, seumuran dengan Hikaru. Mereka juga sering kali satu kelas di sekolah. Namun, entah atas alasan dan sebab apa, keduanya sulit sekali untuk akur dan selalu ribut setiap kali bertemu.
Satu dari ketiga teman yang belum kusebutkan namanya adalah Hanamiya Sakura. Aku bertemu dengannya di SMP. Sakura adalah gadis pendiam yang jarang bereskpresi. Ia hanya bicara seperlunya, jarang tertawa, dan hanya menanggapi orang lain dengan senyuman. Jika sedang marah atau sedih, wajahnya akan tetap datar saja. Tak ada bedanya dengan ekspresi yang sering ia tunjukkan seperti biasanya. Tak heran jika ia dijuluki gadis boneka. Ia hanya akan banyak bicara dengan Nanami karena sesama perempuan.
Sakura memiliki kebiasaan yang unik. Ia memiliki kesukaan berlebih terhadap syal, terutama syal berwarna biru polos tanpa pola yang selalu ia kenakan hampir setiap hari. Apapun musimnya, baik musim gugur, dingin, semi, maupun panas, ia akan selalu mengenakan syal kesayangannya itu. Sepertinya, syal itu sangat berarti baginya hingga ia tidak pernah mau melepas syal tersebut dari lehernya.
Aku kembali mengingat kebiasaanku setiap pulang sekolah. Biasanya, aku tidak langsung pulang. Aku dan teman-teman mampir sebentar ke konbini[7] langganan yang letaknya tak jauh dari stasiun, membeli beberapa jajanan favorit kami sambil menyapa bibi penjaga konbini yang sangat ramah itu. Lalu, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan naik kereta. Jarak rumah dengan sekolah cukup jauh sehingga harus ditempuh dengan kereta.
Selama di keretapun, banyak yang kami lakukan. Membicarakan tentang semua yang terjadi hari ini, mulai dari betapa banyaknya tugas yang diberikan guru, kuis dadakan yang sulit dan menyebalkan, betapa menyebalkannya teman laki-laki yang suka menggoda para perempuan, hingga betapa menyenangkannya kelas musik yang diajar guru cantik bernama Akane sensei[8]. Biasanya sih yang paling banyak bicara adalah Nanami, sedangkan yang lain hanya sebagai pendengar. Tak jarang juga Sakura dan Hikaru menimpali, namun dengan cara yang berbeda. Sakura biasanya menimpali sekaligus berbagi cerita dengan Nanami. Sedangkan Hikaru, daripada menimpali, ia lebih senang menggoda Nanami hingga akhirnya mereka beradu argumen, menyebabkan keributan, lalu ditegur oleh penumpang lain. Ya, mereka memang sering bertengkar sejak dulu dan jarang sekali terlihat akur atau satu pemikiran. Aku yang sudah biasa melihatnya sih memakluminya.
Di antara kami berempat, Hiroto adalah yang paling pendiam. Ia lebih sering menjadi pendengar daripada pembicara. Pemuda seumuranku yang sudah menjadi temanku sejak kecil itu memang terkenal sebagai orang yang dingin dan irit bicara. Wajahnya juga selalu terlihat bosan dan tampaknya ia tidak terlalu tertarik dengan hal apapun, kecuali manga[9], anime[10], musik, basket dan game. Setiap di keretapun, ia biasanya asyik dengan dunianya sendiri. Dia akan duduk paling pojok atau berdiri di dekat pintu agar ia bisa tenang dan fokus pada kegiatannya membaca manga, menonton anime, mendengarkan musik, atau bermain game. Jika ia sudah benar-benar bosan dan lelah, ia akan tidur dengan menyandarkan kepalanya di bahuku, kebiasaan yang selalu ia lakukan.
Tanpa sadar, aku tertawa sendiri mengingat masa-masa menyenangkan bersama mereka. Namun di sisi lain, aku merasa miris. Aku bisa mengingat rutinitas yang sering kulakukan, namun tidak bisa mengingat hal yang paling penting. Kejadian sebelum kecelakaan terjadi. Entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang hilang dari kecelakaan tersebut. Sesuatu yang akan membuat segalanya menjadi berbeda, tak lagi sama seperti dulu. Sayangnya, aku tidak tahu apa itu.
Aku melirik Nanami yang sedang asyik mengupas apel. Sejak tadi, ia diam saja. Ini tidak seperti biasanya. Nanami terkenal sebagai gadis yang periang dan banyak bicara. Biasanya, ia tidak akan tahan menghabiskan waktu semenitpun bersama orang lain tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Saking hobinya akan berbicara, Hiroto dan Hikaru kompak menyebutnya radio rusak. Karena itulah, Nanami yang pendiam seperti saat ini adalah hal yang aneh bagiku. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.
“Nanami-chan,” aku memanggilnya. Nanami sontak menoleh, menghentikan sejenak kegiatannya mengupas apel.
“Ada apa, Haru-senpai? Kau sudah lapar?” tanya Nanami dengan wajah polosnya yang lucu.
Aku menggeleng sambil tersenyum kecil. “Tidak. Hanya ingin memanggil saja. Tidak biasanya kau tidak banyak bicara seperti ini,” ujarku.
Nanami tampak terkejut. Ia mengalihkan pandangan dariku sambil tersenyum kikuk. Aku mengernyit, menatapnya heran. Tingkahnya pun tidak seperti biasanya.
“Bagaimana ya… aku bingung mau membicarakan apa denganmu. Lagipula, kau kan baru sadar. Aku tidak mungkin langsung membicarakan banyak hal denganmu. Nanti kau bisa pusing.”
Aku tertawa mendengar alasan Nanami yang unik. Sedangkan Nanami sendiri cemberut. Sepertinya, ia tidak senang ditertawakan.
“Tapi bukan berarti kita diam-diaman seperti ini kan? Seperti dua orang yang sedang musuhan saja,” ujarku.
Lagi, Nanami tersenyum kikuk. “Benar juga sih.”
Suasana kembali hening. Kami kembali terdiam. Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu harus membicarakan apa dengannya. Tidak ada topik yang berarti. Hingga aku teringat dengan Hiroto.
Benar juga. Aku tidak melihat kehadirannya seharian ini. Hiroto adalah sahabatku. Salah satu orang yang dekat denganku, bahkan lebih dekat dari Nanami. Kami sudah seperti saudara karena sering bersama-sama dalam hal apapun. Karena itu, rasanya aneh jika tidak melihatnya di sini, bahkan hanya sekedar untuk menjengukku.
Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Nanami. “Hei Nanami, bagaimana kabar Hiroto? Dia baik-baik saja kan?”
Nanami meletakkan pisau di nakas, lalu menatapku. “Onii-chan baik-baik saja. Ya, dia masih menjadi kakakku yang membosankan seperti biasanya,” jawab Nanami. Ia menyodorkan sepiring apel yang telah selesai ia kupas padaku. “Ini apelmu.”
“Terima kasih,” ujarku. Sepotong apel berukuran kecil kumasukkan ke dalam mulut. Rasa manis dan asam bercampur menjadi satu. “Dia tidak akan kesini?”
Nanami diam sejenak, tak langsung menjawab. Ia tampak berpikir seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Menyadari bahwa aku terus menatapnya, Nanami akhirnya bicara. “Onii-chan tidak bisa datang. Ia cukup sibuk dengan klub basketnya. Seminggu lagi kan turnamen musim dingin. Sebagai kapten, Onii-chan harus mendiskusikan berbagai strategi yang cocok untuk digunakan saat turnamen nanti bersama dengan timnya dan pelatih,” jelas Nanami.
Aku sedikit terkejut mendengarnya. “Hiroto jadi kapten tim basket sekolah? Wah, keren!” seruku. Hiroto memang mengikuti klub basket di sekolah. Sejak kecil, dia sangat menyukai basket. Yang membuatku tidak menyangka adalah Hiroto yang menjadi kapten klub basket. Sekalipun ia terkenal sebagai pemain yang handal, ia selalu menolak setiap kali ditunjuk untuk menjadi kapten. Baginya, menjadi kapten adalah hal yang merepotkan. Mungkin, sekarang ia sudah sedikit termotivasi dan percaya diri untuk menjadi seseorang yang dipercaya dan diandalkan banyak orang.
“Ya, dia baru saja terpilih. Aku juga terkejut dia mau menerimanya. Tapi, kau tenang saja, Senpai. Aku sudah mengabarinya soal keadaanmu. Mungkin, ia akan datang besok,” ujar Nanami seakan sedang menyemangatiku. Aku hanya menimpalinya dengan senyuman. Semoga saja apa yang Nanami katakan benar. Jika Hiroto ada di sini, mungkin ia bisa membantuku mengembalikan ingatanku.
Bicara soal ingatan, sebenarnya aku ingin sekali bertanya tentang semua yang terjadi padaku sebelum kecelakaan yang menyebabkanku koma pada Nanami. Jika Nanami tahu sesuatu, mungkin saja ingatankan dapat kembali. Namun entah mengapa, aku ragu menanyakannya. Firasatku berkata seolah Nanami tak akan mengatakan apapun kepadaku.
Saat aku hendak menanyakannya pada Nanami, Hikaru tiba-tiba muncul dengan beberapa tas kertas di tangan kirinya. Tangan kanannya memegang segelas plastik besar berisi minuman panas. Dapat kulihat uap yang mengepul dari gelas tersebut.
“Nii-san, aku bawakan coklat panas untukmu,” ujar Hikaru sambil meletakkan gelas tersebut di nakas. Nanami tampak memperhatikan gelas tersebut.
“Untukku mana?” tanya Nanami pada Hikaru.
“Beli saja sendiri,” Hikaru menjawab ketus. Nanami langsung cemberut. Belum beberapa menit bertemu, mereka mulai bertengkar lagi. Aku hanya bisa tersenyum maklum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah mereka.
“Okaa-san mana?” tanyaku saat menyadari tidak melihat kehadiran Okaa-san.
“Sedang membeli makanan untuk makan malam. Nanti kita makan sama-sama,” jawab Hikaru.
Nanami bangkit dari kursinya, tampak bersiap seperti hendak pergi. “Kalau begitu, aku pulang ya,” ujarnya.
Aku menatapnya heran. “Lho, kau tidak mau makan malam bersama kami?”
“Sebenarnya sih mau, tapi Mama sudah menghubungiku terus. Hari sudah semakin gelap. Aku juga agak takut kalau pulang terlalu larut. Maaf ya,” ujar Nanami.
Aku tersenyum. “Tak apa. Hikaru, kau antar Nanami sana.”
Hikaru tampak tak suka dengan perintahku. “Kenapa harus aku? Aku saja baru tiba,” protesnya.
“Kau ini memang tega sekali ya membiarkan seorang gadis pulang sendirian. Pantas saja sampai sekarang belum punya pacar. Tidak akan ada yang mau dengan laki-laki egois sepertimu,” cibirku. Mendengar cibiranku, Hikaru akhirnya menurut. Cibiran adalah cara termudah untuk menaklukan dirinya.
“Baiklah-baiklah, aku akan antarkan dia, puas kan kau?”
Aku hanya tertawa menanggapinya, membuat Hikaru kembali cemberut.
“Haru-senpai, cepatlah sembuh. Saat turnamen basket nanti, kau juga datang dan dukung kakakku ya. Aku yakin dia pasti senang,” ujar Nanami.
Aku mengangguk. “Tentu saja, aku janji.”
“Aku pulang dulu ya, Haru-senpai. Sampaikan salamku pada Oba-san[11].”
Setelah itu, Nanami dan Hikaru pergi, meninggalkanku sendirian di dalam kamarku yang sepi.
***
Sudah hampir sebulan sejak aku sadar dari koma. Selama itu juga, kondisi tubuhku semakin membaik. Dokter sudah memperbolehkanku pulang besok. Aku sungguh senang. Wajar saja, aku sudah sangat bosan terkurung terus di dalam kamar rawat ini. Hingga perayaan malam Natalpun aku masih terjebak di rumah sakit sehingga keluargaku harus merayakan Natal di sini. Padahal aku ingin sekali merayakan Natal di rumah atau makan malam di restoran keluarga seperti malam Natal tahun lalu. Sayang sekali, sepertinya tahun ini aku kurang beruntung.
Karena itulah, saat dokter mengatakan bahwa kondisiku sudah cukup baik untuk bisa pulang ke rumah, aku senang bukan kepalang. Sebentar lagi aku bisa meninggalkan kamar yang bau obat-obatan ini dan menjalani aktivitasku seperti biasa. Meski begitu, aku belum boleh melakukan aktivitas yang terlalu berat karena dapat membahayakan kondisi kesehatanku.
Selama ini pula, beberapa temanku datang berkunjung. Mulai dari teman sekelas hingga teman satu klub di klub melukis. Beberapa guru juga datang menjengukku. Aku sangat senang setiap kali mereka datang. Setidaknya ada teman mengobrol dan aku tidak benar-benar sendirian selama kedua orang tuaku sibuk bekerja dan Hikaru yang pulang untuk beristirahat atau mengambil pakaian ganti untukku.
Sore ini, wali kelasku datang. Kazuo-sensei namanya. Beliau datang untuk menjenguk sekaligus memberikan hasil belajarku selama setahun ini.
“Aku sudah berusaha, namun keputusan para guru tidak dapat diubah. Kami memutuskan untuk membuatmu tinggal kelas dan mengulang kembali di kelas 2 tahun ini. Ini semua kami lakukan demi kebaikanmu. Maaf ya, Haruki.”
Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkan Kazuo-sensei yang tampak bersalah. Aku sudah menduga ini akan terjadi. Tinggal kelas setelah empat bulan tidak menghadiri kelas karena koma bukan hal yang aneh kan?
“Aku sama sekali tidak merasa keberatan, Sensei. Keputusan ini adalah yang terbaik bagiku. Lagipula, aku yakin sekali tidak akan bisa mengikuti kelas secara maksimal jika Sensei tetap memaksa untuk membuatku naik kelas. Berada seangkatan dengan adik sendiri kurasa tidak buruk juga. Apalagi jika bisa sekelas, pasti seru. Dengan begitu, aku bisa mengalahkan Hikaru dan menunjukkan kepadanya bahwa aku jauh lebih baik darinya,” ujarku.
Kazuo-sensei tertawa kecil mendengar perkataanku. Ekspresinya sudah sedikit rileks, tidak setegang tadi. “Haruki, kau ini memang siswa yang unik. Tapi, yang kau katakan memang benar. Mungkin, aku bisa membuatmu sekelas dengan adikmu nanti,” ujarnya.
Aku mengangguk. “Mungkin, ini juga akan menjadi kesempatanku untuk memperbaiki nilaiku,” ujarku. Benar, nilai-nilaiku selama berada di kelas 2 tidak cukup bagus. Jika aku mengulang tahun ini, aku memiliki kesempatan untuk belajar lagi dan memperbaiki nilaiku. Dengan begitu, mungkin aku akan mendapatkan peluang yang lebih besar agar bisa diterima di universitas impianku.
“Kau benar. Lagipula, daripada kau memikirkan hal itu, bukankah lebih baik jika fokus akan kesembuhanmu? Dengan begitu, kau bisa kembali ke sekolah dengan tubuh yang sehat dan bisa kembali beraktivitas seperti semula.”
Kazuo-sensei benar. Aku harus fokus pada kesembuhanku, terutama ingatanku. Aku akan cuti dahulu untuk menjalani perawatan dan baru kembali ke sekolah saat musim semi nanti, saat tahun ajaran baru dimulai. Aku tidak bisa kembali ke sekolah dengan ingatan kacau seperti ini.
Setelah mengobrol sejenak, Kazuo-sensei pamit pulang. Aku kembali sendirian di kamar. Aku memang sengaja meminta keluargaku untuk tidak datang dan menjagaku di rumah sakit malam ini dan beristirahat saja di rumah. Aku tahu seberapa lelahnya mereka.
Sebenarnya, aku merasa sangat senang saat teman-temanku dan para guru datang berkunjung. Namun di sisi lain, aku merasa aneh sekaligus kecewa. Di antara semua orang yang kuharapkan datang untuk menjengukku, kedua sahabatku, Sakura dan Hiroto, tidak pernah muncul. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tidak datang menjengukku. Padahal, kehadiran mereka berarti banyak bagiku.
Aku sempat mengira, mungkin saja Hiroto marah padaku karena tidak datang untuk mendukungnya di turnamen musim dingin padahal aku sudah berjanji. Namun, apa boleh buat. Saat final turnamen diselenggerakan, dokter masih melarangku untuk keluar. Aku juga sudah menyampaikan permintaan maafku lewat Nanami, karena Hiroto tidak mau menemuiku dan tidak pernah bisa kuhubungi. Namun, tak ada hasil. Hiroto sepertinya tidak berniat untuk memaafkanku.
Sedangkan Sakura, aku tidak tahu. Ia benar-benar menghilang dan tidak pernah bisa kuhubungi. Aku sudah mencoba beberapa kali untuk menelpon dan mengiriminya pesan. Sayangnya, tak pernah ada balasan hingga sekarang. Nanami juga mengatakan bahwa ia jarang menemui Sakura akhir-akhir ini. Sakura sering menghindarinya tanpa alasan. Aku semakin merasa bingung. Sebenarnya apa yang telah terjadi pada teman-temanku? Apa yang telah kulewati selama empat bulan terakhir ini?
Semakin dipikirkan, semakin membuat kepalaku terasa pening. Aku merebahkan tubuhku di ranjang, mencoba menghilangkan rasa sakit yang kembali menyerang kepalaku. Saat aku mencoba menghilangkan segala pikiran negatif, rasa kantuk malah menyerangku. Lama-kelamaan, mataku semakin terasa berat. Hingga akhirnya, hanya kegelapan yang dapat kulihat.
***
Ketika kembali membuka mata, pemandangan yang pertama kali kulihat adalah hamparan langit biru yang sangat luas dengan awan putihnya yang menghiasi. Pemandangan khas dari langit musim semi. Aku mengerjap beberapa kali, kurasa aku masih bermimpi. Aku yakin sekali beberapa saat yang lalu aku masih berada di kamar rawatku, bukan di tempat antah berantah ini. Karena itu, kuputuskan untuk kembali memejamkan mata, berharap saat kembali membuka mata, aku berada di dalam kamarku kembali. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Saat kubuka mataku kembali, aku masih berada di tempat ini, dengan langit sebagai atapku. Segera aku bangkit dari posisi berbaring. Berbagai pertanyaan menghujam pikiranku.
“Aku ada di mana? Bagaimana bisa aku berada di sini?”
Kuarahkan pandanganku ke sekeliling, berusaha mengenali tempat ini. Hingga mataku menangkap sebuah pohon tua yang terletak tak jauh dari tempatku berbaring tadi. Sebuah pohon tua yang sudah mati, hanya tinggal batang pohon tanpa daun. Aku memincingkan mata, memfokuskan pandanganku pada sesuatu yang digantung pada ranting pohon tersebut. Sepasang sepatu berwarna biru muda. Aku tidak tau milik siapa sepatu itu. Tapi tampaknya tidak asing.
Aku meraba sesuatu yang lembut berwarna putih yang menjadi alas tidurku. Saat kuperhatikan, ternyata itu salju. Aku baru menyadari bahwa aku tidur di atas hamparan salju di sebuah padang ilalang yang sangat luas. Ada yang aneh dari hamparan salju ini. Salju ini berbeda, sama sekali tidak terasa dingin, malah membuatku nyaman. Aku semakin ingin lebih lama merebahkan diri di hamparan putih nan lembut ini.
Aku mengedarkan pandanganku dan kembali mengernyit saat mataku menangkap sesuatu. Saat berusaha memfokuskan pandangan, dapat kulihat jelas sebuah gerbong kereta barang yang tampak tua tak jauh dari tempatku berbaring. Gerbong kereta tersebut tampak sudah tidak terpakai. Namun entah kenapa, aku penasaran dengan isi di dalamnya. Aku merasa ada sesuatu yang menarik menungguku di sana.
Aku berdiri dan melangkahkan kedua kakiku perlahan menuju gerbong tersebut. Kutarik pintu yang berada di sisi kiri gerbong, sontak tertegun melihat apa yang ada di dalam gerbong tersebut.