Aroma kopi yang pahit bercampur dengan jejak cat minyak yang menyengat selalu menyambut Ji-hoon setiap kali ia memasuki studionya yang sempit di sudut distrik Hongdae yang ramai. Dindingnya dipenuhi oleh kanvas-kanvas yang menyimpan gejolak jiwanya, sapuan kuas yang kasar dan warna-warna kelam mendominasi. Di tengah kekacauan kreatif itu, Ji-hoon duduk termenung di depan easel kosong, jemarinya mengetuk-ngetuk tanpa irama.
Malam itu, Seoul terasa lebih bising dari biasanya. Gemuruh lalu lintas dan riuh rendah percakapan dari jalanan seolah mengejek kesunyian yang melingkupi hatinya. Sudah berhari-hari ia tak mampu menorehkan warna di atas kanvas. Bayangan masa lalu, seperti kabut tebal, terus menghalangi pandangannya, merampas inspirasi yang dulu mengalir deras dalam dirinya.
Ia meraih cangkir kopi yang sudah dingin, menyesapnya tanpa merasakan nikmat. Pikirannya melayang pada tatapan mata Hana, secerah mentari pagi yang menerobos jendela kafe tempat ia sering menghabiskan waktu. “Cafe ‘Spring Day’,” nama yang terasa begitu kontras dengan kegelapan yang ia rasakan.
Hana. Gadis itu adalah anomali dalam hidupnya yang serba abu-abu. Senyumnya mampu menghangatkan sudut hatinya yang membeku, dan tawanya bagaikan melodi lembut di tengah kebisingan dunianya. Di kafe itu, di antara aroma kue panggang dan celoteh pelanggan, Ji-hoon menemukan secercah kedamaian yang langka.
Mereka bertemu secara случайно. Ji-hoon, yang sedang mencari tempat yang tenang untuk melarikan diri dari hiruk pikuk pikirannya, tersesat ke dalam kafe kecil itu. Hana, yang sedang membersihkan meja dekat jendela, mendongak dan menyambutnya dengan senyum yang membuat jantungnya berdebar tak karuan.
“Selamat datang,” sapanya ramah, suaranya selembut alunan gitar akustik. “Ada yang bisa saya bantu?”
Ji-hoon, yang biasanya gugup berinteraksi dengan orang asing, entah kenapa merasa nyaman dengan tatapan mata Hana yang tulus. “Hanya ingin mencari tempat yang tenang untuk minum kopi,” jawabnya pelan.
“Tentu saja. Silakan duduk di mana saja Anda suka,” Hana mengantar dengan isyarat tangannya ke sudut ruangan, yang dekat rak buku yang penuh warna.
Sejak saat itu, “Spring Day” menjadi tempat pelariannya, dan Hana menjadi alasan utamanya untuk kembali. Di bawah lampu-lampu temaram kafe, di antara rak-rak buku raksasa, mereka berbagi cerita.
“Lukisanmu... sangat kuat,” kata Hana suatu sore, setelah Ji-hoon memberanikan diri menunjukkan sketsa-sketsanya. “Ada kesedihan di sana, tapi juga harapan yang tersembunyi.”
Ji-hoon terkejut dengan ketajaman mata Hana. “Itu hanya... luapan perasaanku,” jawabnya, sedikit mengalihkan pandangan.
“Semua seni adalah luapan perasaan, bukan?” balas Hana lembut. “Apa yang membuatmu merasa seperti ini?”
Perlahan, Ji-hoon mulai membuka diri. Ia menceritakan tentang lukisan-lukisannya, tentang mimpi-mimpinya yang rapuh, dan tentang bayangan kelam yang terus mengikutinya. Hana mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengajukan pertanyaan yang menunjukkan pemahamannya yang dalam.
“Kamu tahu,” kata Hana suatu kali, sambil menatap mata Ji-hoon, “kadang kegelapan dibutuhkan untuk melihat betapa berharganya cahaya.”