Kehangatan telapak tangan Hana yang menggenggam jemari Ji-hoon yang sedingin es terasa seperti setitik api di tengah hamparan salju keputusasaan yang membekukan hatinya. Ia mendongak perlahan, tatapan matanya yang kosong bertemu dengan mata Hana yang berkaca-kaca, namun di balik air mata itu, Ji-hoon menangkap pancaran keteguhan yang tak tergoyahkan. Rasa bersalah menghantamnya bagai gelombang pasang yang menerjang pantai, menyadari betapa dalam ia telah menggoreskan luka pada ketulusan gadis yang berdiri di hadapannya.
"Maafkan aku, Hana-ah," bisik Ji-hoon tercekat, suaranya nyaris hilang ditelan kesunyian studio yang pengap. Kata-kata itu terasa begitu ringan dan tidak mampu mewakili gejolak penyesalan yang berkecamuk di dalam dirinya.
Hana menggeleng pelan, setetes air mata lolos dari sudut matanya dan membasahi pipi yang merona. "Lalu, kenapa kau lakukan ini?" tanyanya lirih, suaranya bergetar seperti dawai gitar yang terpetik dengan lembut. "Kenapa kau membangun tembok setinggi dan setebal ini di antara kita? Aku... aku tidak mengerti. Apa yang telah berubah?"
Ji-hoon menarik tangannya perlahan dari genggaman Hana, berbalik memunggunginya dan berjalan gontai menuju kanvas kosong yang berdiri tegak di sudut studio. Permukaan putih itu memantulkan cahaya rembulan yang samar-samar menembus jendela, sebuah metafora yang menyakitkan bagi kehampaan yang menganga di dalam dirinya. Ia merasa seperti kanvas itu sendiri, kosong dan tak berwarna, menunggu sentuhan yang tak kunjung datang.
"Ada... ada bayangan yang selalu mengikutiku, Hana-ah," katanya akhirnya, suaranya parau dan serak seperti gesekan amplas pada kayu. "Masa lalu... itu seperti rantai yang berat, mengikat pergerakanku, menarikku kembali ke dalam kegelapan setiap kali aku mencoba meraih cahaya. Aku takut... aku takut rantai itu akan melilitmu juga, menyeret kita berdua ke dalam jurang yang sama."
Hana melangkah mendekat, namun ia menjaga jarak, menghormati ruang pribadi Ji-hoon yang terasa begitu rapuh saat ini. Ia bisa merasakan aura kepedihan dan kecemasan yang menguar dari tubuh pemuda itu, sebuah medan energi negatif yang menariknya dengan kekuatan yang sama besarnya dengan dorongan untuk menjauh.
"Semua orang membawa jejak masa lalu dalam hidup mereka, Ji-hoon-ah," jawab Hana lembut, suaranya bagai melodi pelan yang mencoba menenangkan badai dalam jiwa Ji-hoon. "Luka dan kebahagiaan, keduanya membentuk kita. Tapi bukankah cinta seharusnya menjadi kekuatan yang membantu kita melewati itu semua? Bukankah seharusnya cinta menjadi alasan untuk saling mendekat, bukan malah menjauh?"