Minggu-minggu yang menyusul pertemuan penuh air mata di studio itu diwarnai dengan upaya Ji-hoon dan Hana untuk meruntuhkan tembok ketakutan yang selama ini berdiri kokoh di antara mereka. Hana, dengan kesabaran dan pengertian yang nyaris tanpa batas, berusaha menenangkan gelombang kecemasan Ji-hoon yang terkadang datang menerjang tanpa peringatan, seperti badai kecil yang mengacaukan ketenangan. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama di luar batas “Spring Day” dan studio yang sunyi. Hana dengan lembut menarik Ji-hoon keluar dari cangkangnya, mengajaknya menjelajahi sudut-sudut kota yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Mereka mengunjungi pasar tradisional yang ramai, dengan aroma makanan yang menggoda dan warna-warni kain yang memikat. Hana dengan riang menawar harga tteokbokki dan mengenalkannya pada berbagai jajanan kaki lima yang asing bagi Ji-hoon. Ia tertawa melihat ekspresi bingung Ji-hoon saat mencoba sundae untuk pertama kalinya. Momen-momen sederhana ini, meskipun terasa sedikit asing dan menguras energi bagi Ji-hoon, perlahan mulai menorehkan senyum tipis di bibirnya dan mengurangi beban di hatinya.
Hana juga mengajaknya mendaki bukit kecil di pinggiran kota, menikmati pemandangan hijau yang menenangkan dan udara segar yang memenuhi paru-paru. Di tengah keheningan alam, Ji-hoon merasa lebih mudah untuk membuka diri, menceritakan tentang masa kecilnya yang penuh warna sebelum tragedi itu merenggut segalanya. Ia berbagi kenangan tentang tawa orang tuanya, tentang liburan keluarga yang hangat, dan tentang mimpi-mimpi masa kecil yang kini terasa begitu jauh. Hana mendengarkan dengan seksama, sesekali mengajukan pertanyaan lembut yang menunjukkan pemahamannya yang mendalam, tanpa pernah memaksa atau menghakimi.
Di studionya, Hana seringkali menjadi teman sunyi Ji-hoon saat ia melukis. Ia akan duduk di sudut ruangan, membaca buku atau sekadar memperhatikan setiap goresan kuas Ji-hoon, memberikan kehadiran yang menenangkan tanpa mengganggu konsentrasinya. Ji-hoon merasa kehadiran Hana seperti jangkar yang menahannya tetap membumi, mengurangi kecemasan yang dulu seringkali melumpuhkannya saat ia berkutat dengan kanvasnya. Ia mulai berani menggunakan warna-warna yang lebih cerah dalam lukisannya, terinspirasi oleh kehangatan Hana dan keindahan dunia di luar studionya yang mulai ia lihat melalui mata gadis itu.
Suatu sore di awal musim semi, ketika semburat warna merah muda mulai menghiasi ranting-ranting pohon di sepanjang jalanan Seoul, Hana mengajak Ji-hoon berjalan-jalan santai di Taman Namsan. Langit biru cerah dihiasi awan putih yang berarak perlahan, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma manis bunga-bunga yang mulai bermekaran. Pasangan-pasangan muda berjalan bergandengan tangan, tawa riang mereka bercampur dengan bisikan lembut angin di antara dedaunan. Ji-hoon, meskipun masih merasa sedikit canggung di tengah keramaian, merasakan kehangatan tangan Hana yang menggenggam tangannya dengan erat, memberikannya rasa aman yang tak ternilai harganya.
Mereka berhenti di bawah pohon sakura yang baru mulai memamerkan keindahan bunganya. Kelopak-kelopak merah muda pucat berjatuhan seperti salju lembut, menciptakan pemandangan yang begitu romantis dan magis. Hana mendongak, wajahnya berseri-seri diterpa cahaya matahari yang menembus celah-celah bunga. Ia menoleh pada Ji-hoon, matanya berbinar penuh kekaguman.
“Indah sekali, bukan, Ji-hoon-ah?” katanya lembut, suaranya selembut desahan angin.