Hana dengan langkah cepat berusaha mengimbangi Ji-hoon yang berjalan tergesa-gesa menembus keramaian Myeongdong. Ia bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuh pemuda itu, seperti senar gitar yang ditarik terlalu kencang dan siap untuk putus. Ada sesuatu yang jelas-jelas mengganggu Ji-hoon di toko musik tadi, sesuatu yang lebih dari sekadar ketidaknyamanan berada di tempat ramai.
Mereka berjalan dalam diam yang canggung hingga akhirnya mencapai kembali ketenangan Taman Namsan, mencari perlindungan di bawah rindangnya pepohonan yang mulai bermandikan cahaya keemasan senja. Ji-hoon duduk dengan kaku di salah satu bangku taman, tatapannya kosong menerawang ke arah hamparan kota Seoul yang mulai menyalakan gemerlap lampunya. Hana duduk di sampingnya, memberikan ruang dan waktu bagi Ji-hoon untuk memproses perasaannya, tanpa memaksa atau mendesak untuk berbicara. Ia tahu, terkadang, keheningan adalah bahasa yang paling tepat untuk menyampaikan dukungan.
Setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang, Hana memberanikan diri memecah keheningan yang menyelimuti mereka. “Ji-hoon-ah,” panggilnya lembut, mengulurkan tangannya dan menyentuh perlahan punggung tangan Ji-hoon yang terasa dingin meskipun udara malam tidak terlalu dingin. “Apa yang terjadi di toko musik tadi? Kau terlihat sangat... tertekan. Ada sesuatu tentang gitar itu yang membuatmu seperti itu.”
Ji-hoon menghela napas panjang, sebuah desahan berat yang sarat dengan emosi yang bercampur aduk. Ia menundukkan kepalanya, tatapannya terpaku pada kedua tangannya yang bertaut erat di pangkuannya, seolah mencoba mencari jawaban di antara garis-garis telapak tangannya. “Aku... aku tidak tahu, Hana-ah,” jawabnya lirih, suaranya serak dan penuh kebingungan. “Tiba-tiba saja... ada perasaan aneh yang menyeruak. Seperti ada sesuatu yang hilang... sesuatu yang terlupakan, tapi terasa begitu dekat, tepat di ujung lidahku.”
“Apakah itu... ada hubungannya dengan ayahmu?” tebak Hana hati-hati, mencoba merangkai kepingan-kepingan misteri yang ia rasakan.
Ji-hoon mengangguk pelan, tanpa mengangkat wajahnya. “Aku... aku hampir tidak bisa mengingat wajahnya dengan jelas lagi. Suaranya... tawanya... semua itu terasa seperti mimpi yang kabur, seperti lukisan yang warnanya mulai memudar seiring berjalannya waktu. Tapi... gitar itu... entah kenapa, aku merasa ada ikatan yang kuat dengannya. Seperti pernah melihatnya dulu... atau mungkin... mendengarnya.”
“Mungkin itu memang gitar yang mirip dengan milik ayahmu,” ujar Hana mencoba menawarkan penjelasan yang logis dan menenangkan. “Banyak gitar akustik terlihat serupa.”
“Mungkin,” balas Ji-hoon, namun nadanya terdengar tidak yakin, tersirat keraguan yang mendalam. “Tapi ada sesuatu yang lain... seperti ada melodi yang ingin keluar dari benakku setiap kali aku melihat gitar itu, Hana-ah. Sesuatu yang... menyedihkan. Melodi yang terasa familiar namun asing secara bersamaan.”