Malam itu, setelah kembali dari Taman Namsan dengan fragmen melodi ayahnya yang terngiang di benak, Ji-hoon merasakan sebuah dorongan yang kuat untuk menggali lebih dalam ingatannya yang selama ini terkubur. Melodi itu, meskipun menyayat hati, juga memicu rasa ingin tahu yang tak tertahankan, seperti kunci samar yang mungkin membuka pintu menuju pemahaman yang lebih utuh tentang masa lalunya.
Keesokan harinya, dengan keberanian yang baru ditemukan dan dukungan lembut dari Hana, Ji-hoon memutuskan untuk mengunjungi rumah bibinya, tempat barang-barang peninggalan orang tuanya tersimpan di gudang kecil yang berdebu. Ia merasa kehadiran Hana di sisinya memberikannya kekuatan yang selama ini ia cari, sebuah jangkar yang menahannya agar tidak hanyut dalam lautan kenangan yang mungkin menyakitkan.
Gudang itu gelap dan pengap, dipenuhi dengan tumpukan kotak-kotak kardus usang dan perabot tua yang ditutupi kain putih berdebu. Aroma lembab dan lapuk menyeruak begitu mereka membuka pintu, membawa serta bau kenangan yang terperangkap dalam ruang waktu. Ji-hoon merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya, campuran antara kegugupan dan rasa ingin tahu yang mendalam tentang apa yang akan mereka temukan di antara tumpukan barang-barang itu.
Setelah mencari dengan hati-hati di antara kotak-kotak yang penuh dengan masa lalu, mata Ji-hoon tertuju pada sebuah kotak kayu kecil yang terlihat lebih tua dan lebih usang dari yang lainnya. Di atas tutupnya, terukir inisial nama ayahnya dengan huruf-huruf yang sedikit pudar namun masih terbaca jelas. Dengan tangan gemetar, Ji-hoon mengangkat kotak itu, merasakan beratnya yang tak sebanding dengan ukurannya, seolah menyimpan beban kenangan yang tak terhingga. Bersama Hana yang berdiri di sisinya dengan sabar, ia membuka kotak itu dengan hati-hati.
Di dalamnya, mereka menemukan beberapa foto keluarga yang warnanya telah memudar ditelan waktu, menampilkan senyum bahagia orang tuanya dan dirinya saat masih kecil. Ada juga beberapa surat yang terikat dengan pita sutra berwarna pudar, dan di antara tumpukan kertas itu, tergeletak sebuah buku harian bersampul kulit yang terlihat tua dan rapuh, dengan halaman-halaman yang menguning di bagian tepinya.
Ji-hoon mengambil buku harian itu dengan sentuhan lembut, seolah takut merusak relikui berharga itu. Halamannya terasa rapuh di bawah jemarinya, dan tinta tulisan tangan ayahnya pun mulai memudar, namun masih bisa dibaca dengan seksama. Bersama Hana, mereka duduk bersandar di dinding gudang yang dingin dan mulai membaca catatan-catatan yang tertulis di dalamnya, berusaha merangkai kembali kepingan-kepingan masa lalu yang hilang.