Spring Day

Zumi05
Chapter #7

Percakapan tentang Warna yang Mulai Bersemi

Setelah penemuan buku harian ayahnya dan melodi “Lagu untuk Bintang Kecilku,” sebuah jendela kecil seolah terbuka dalam diri Ji-hoon. Ia mulai merasa ada kebutuhan untuk berbagi beban masa lalunya, dan Hana, dengan kesabarannya yang tak terhingga, menjadi pendengar yang penuh perhatian. Suatu sore yang tenang di “Spring Day,” setelah pelanggan terakhir meninggalkan kafe, Hana sedang membersihkan meja dekat jendela yang menghadap jalanan Seoul yang mulai remang. Ji-hoon menghampirinya perlahan, menggenggam beberapa sketsa terbarunya di tangannya.

“Hana-ah,” panggil Ji-hoon pelan, menyodorkan sketsa-sketsa itu dengan sedikit keraguan. “Aku... aku ingin tahu pendapatmu tentang ini.”

Hana meletakkan lapnya dan mengambil sketsa-sketsa itu dengan hati-hati, matanya meneliti setiap garis arang dan sapuan pensil. Beberapa di antaranya masih didominasi oleh kegelapan, guratan-guratan kasar yang mencerminkan gejolak batinnya. Namun, Hana melihat dengan cermat, dan ia menangkap beberapa sketsa yang mulai menampilkan sentuhan warna yang lebih berani, meskipun masih terasa samar dan ragu-ragu.

“Ada perubahan yang signifikan, Ji-hoon-ah,” kata Hana lembut, mengangkat satu sketsa yang memperlihatkan garis cakrawala dengan semburat warna oranye tipis. Ia menatap mata Ji-hoon dengan senyum kecil yang penuh harapan. “Warna-warna ini... mereka seperti mencoba untuk menemukan jalan keluarnya. Seperti matahari yang perlahan mengintip di balik awan gelap.”

Ji-hoon menghela napas perlahan, matanya tertuju pada sketsa di tangan Hana. “Aku... aku mencoba, Hana-ah. Tapi terkadang terasa sulit sekali. Rasanya seperti ada sesuatu yang berat yang terus menahanku, menarikku kembali ke dalam kegelapan itu.”

Hana meletakkan sketsa itu di meja dan meraih tangan Ji-hoon, menggenggamnya dengan lembut. “Aku mengerti, Ji-hoon-ah. Proses penyembuhan tidak terjadi dalam semalam. Akan ada hari-hari yang terasa lebih berat dari yang lain. Tapi yang terpenting adalah kau tidak menyerah. Ingat apa yang pernah kau katakan padaku? Setiap goresan di kanvas adalah luapan perasaanmu. Biarkan perasaan yang lebih cerah itu juga menemukan jalannya melalui warna-warna baru.”

Beberapa hari kemudian, Hana mengajak Ji-hoon mengunjungi pantai di luar kota saat matahari mulai terbenam, memancarkan warna-warna hangat di langit. Mereka duduk berdampingan di atas pasir yang mulai terasa dingin, menyaksikan ombak yang memecah di tepi pantai dengan suara yang menenangkan.

“Kau tahu, Ji-hoon-ah,” kata Hana, menatap laut yang luas dengan tatapan kontemplatif, “laut juga terkadang terlihat gelap dan bergelombang, penuh dengan amarah yang tersembunyi di kedalamannya. Tapi di saat lain, ketika matahari bersinar atau bulan memantulkan cahayanya, ia bisa menjadi begitu tenang dan memantulkan keindahan yang luar biasa. Seperti hidup, bukan? Ada badai, tapi juga ada ketenangan dan keindahan yang menanti untuk ditemukan.”

Ji-hoon terdiam sejenak, matanya mengikuti gerakan ombak yang tak pernah berhenti. “Aku... aku sepertinya selalu fokus pada badainya saja, Hana-ah,” gumamnya pelan, suaranya hampir tertelan oleh desiran angin laut. “Aku sulit melihat ketenangan dan keindahannya.”

Hana menggeser duduknya mendekat dan meraih tangan Ji-hoon, menggenggamnya erat. “Tapi kau tidak sendirian menghadapinya sekarang, Ji-hoon-ah. Ada aku di sini bersamamu. Kita bisa menjadi mercusuar satu sama lain. Saat badai menerjangmu, aku akan menjadi cahayamu, dan begitu juga sebaliknya.”

Kembali di studionya, Hana seringkali menemani Ji-hoon saat ia melukis, memberikan dukungan tanpa kata. Suatu sore, saat Ji-hoon sedang berdiri di depan kanvasnya dengan tatapan kosong, Hana bertanya dengan lembut, “Warna apa yang sedang kau cari hari ini, Ji-hoon-ah? Warna apa yang ingin kau tuangkan ke dalam lukisanmu?”

Lihat selengkapnya