Malam pembukaan pameran seni Ji-hoon di galeri kecil milik teman Hana terasa seperti mimpi yang perlahan menjadi kenyataan, sebuah kontras yang mencolok dengan kegelapan yang dulu mengelilingi hidupnya. Lampu-lampu sorot galeri memancarkan cahaya hangat, menyoroti lukisan-lukisannya yang terpajang dengan rapi di dinding putih bersih, setiap goresan kuas dan pemilihan warna menceritakan kisah bisu tentang jiwa seorang seniman yang berjuang dan mulai menemukan kedamaian. Orang-orang berdatangan silih berganti, para pecinta seni, teman-teman Hana, dan bahkan beberapa wajah asing yang tertarik dengan bakat baru yang sedang bersinar. Mereka berdiri di depan setiap karya, berbisik-bisik mengagumi, mencoba menyelami emosi yang terpancar dari kanvas. Ji-hoon berdiri sedikit terpencil di sudut ruangan, merasakan gelombang gugup dan haru yang bercampur aduk dalam dirinya. Ini adalah pertama kalinya karyanya dilihat dan dinilai oleh begitu banyak orang.
Hana, bagai malaikat pelindungnya, selalu berada di sisinya. Ia dengan senyum cerah menggandeng lengannya, memperkenalkan Ji-hoon kepada para tamu, menceritakan dengan antusias tentang inspirasi di balik setiap lukisan, tentang perjalanan emosional yang telah dilalui Ji-hoon untuk sampai ke titik ini. Ia adalah jangkarnya di tengah lautan perhatian yang tiba-tiba ini, setiap tatapan mata dan sentuhan lembutnya memberikan Ji-hoon rasa percaya diri dan ketenangan yang sangat ia butuhkan.
Seorang kolektor seni paruh baya dengan kacamata berbingkai tebal menghampiri Ji-hoon setelah mengamati salah satu lukisan abstraknya yang unik, perpaduan antara warna-warna cerah yang berani dengan garis-garis kelam yang masih terasa kuat. "Karya Anda sangat menarik, Tuan Park," katanya dengan nada serius namun penuh minat. "Ada dikotomi yang kuat di sini, sebuah narasi visual tentang perjuangan antara kegelapan dan secercah cahaya. Apa yang sebenarnya menginspirasi Anda dalam menciptakan karya seperti ini?"
Ji-hoon menatap lukisannya sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Ia kemudian melirik Hana, yang berdiri tidak jauh darinya, memberikan senyuman lembut dan anggukan menyemangati. "Kehidupan," jawab Ji-hoon pelan namun dengan keyakinan yang baru ditemukannya. "Tentang kehilangan yang membekas, tentang rasa sakit yang tak terhindarkan, tapi juga tentang harapan yang selalu ada, harapan untuk menemukan keindahan bahkan di tengah kesulitan yang paling gelap."
Kolektor itu mengangguk-angguk perlahan, terlihat terkesan dengan kejujuran dan kedalaman jawaban Ji-hoon. "Saya merasakannya. Ada kejujuran yang menyentuh, sebuah otentisitas yang jarang saya temui dalam karya seniman muda."
Sepanjang malam yang terasa seperti mimpi itu, Ji-hoon menerima banyak pujian dan pertanyaan tentang teknik, makna, dan inspirasi di balik karya-karyanya. Ia merasa terharu dan hampir tidak percaya dengan semua perhatian dan apresiasi yang ia terima. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia merasa karyanya benar-benar dilihat, dihargai, dan dipahami oleh orang lain di luar lingkaran kecilnya dan Hana.
Di tengah keramaian yang semakin surut menjelang akhir acara, mata Ji-hoon bertemu dengan mata Hana yang sedang berbicara dengan kurator seni. Gadis itu menatapnya dengan senyum bangga yang membuat hati Ji-hoon menghangat. Ia tahu, tanpa keyakinan dan dukungan tanpa syarat dari Hana, malam yang luar biasa ini tidak akan pernah menjadi kenyataan.