Kyoto, Oktober 2054
Furukawa Yuko dan laptop canggihnya belum beristirahat sejak sore tadi hingga saat ini, menjelang tengah malam. Di meja kerjanya, Yuko fokus memperbaiki banyak kesalahan code yang menyebabkan program buatannya gagal berfungsi. Alisnya mengernyit, wajahnya dia dekatkan ke layar laptop. Sesekali, wanita itu memijat-mijat kepala yang pusing dan menaikkan kacamata yang kadang turun.
Tanpa berpindah fokus, Yuko meraih gelas di sudut meja dengan tangan kanan, hanya untuk mendapati gelas yang tadinya berisi kopi itu kini sudah kosong. Dia meletakkan gelas itu sambil mendesah kecewa. Merasa butuh asupan energi, wanita itu memesan makanan melalui layanan apartemen.
"Ikura, layanan apartemen," serunya.
Sekilas, cahaya redup berpendar dari layar perangkat kecil berbentuk persegi yang terpasang di dinding. Lalu dari speaker kecil di langit-langit ruangan terdengarlah suara wanita yang elegan, sangat mirip dengan suara manusia asli. "Ikura di sini. Apa yang bisa kubantu?"
"Aku lapar, aku ingin ramen," ucap Yuko.
Piranti cerdas yang dinamai Ikura itu membalas, "Baik. Ada lagi?"
"Tidak."
"Pesanan sedang diproses, mohon menunggu sebentar."
Yuko merasa tak sanggup lagi melanjutkan pekerjaan. Dia bangkit dari meja kerja, meregangkan pinggang, lalu berjalan-jalan menyusuri ruangan apartemennya. Kemudian, dia melangkah menuju dapur untuk minum. Saat dia meletakkan gelas di bawah keran, air mengucur otomatis hingga gelas hampir penuh. Yuko merasa sedikit lebih baik setelah minum. Dia lantas duduk di sofa empuk, melamun-lamun di sana.
Pada saat-saat putus asa seperti ini, pikiran Yuko selalu dipenuhi penyesalan karena merasa tidak cocok dengan pekerjaannya sebagai programmer. Gelar sarjana dari jurusan software engineering yang dia peroleh tiga tahun lalu pun tak luput dia pertanyakan. Meskipun lulus dengan baik, dia sama sekali tak merasa ahli dalam bidang programming. Karena itulah dia mencari berbagai pekerjaan sampingan yang dirasanya cocok.
Yuko pernah mencoba peruntungan menjadi penyiar podcast dan penulis, tetapi kurang berhasil. Sekarang dia terlibat dalam proyek anime berjudul Haru No Yume, sebagai pengisi suara salah satu tokoh sampingan. Namun, dia tak ingin gegabah meninggalkan profesi utama sebagai programmer tanpa memiliki sumber penghasilan lain yang bisa diandalkan. Biaya hidup di Kyoto tidaklah murah.
[Haru No Yume / 春の夢 = Spring Dreams / Mimpi Musim Semi]
Suara dari perangkat modern di apartemen Yuko membuyarkan lamunannya. "Pesanan sudah datang, selamat menikmati."
Yuko beranjak ke pintu, membukanya dengan sistem perintah suara, lalu mengambil nampan berisi semangkuk ramen yang dia pesan. Ramen itu diantar dengan bantuan robot dari kantin di lantai bawah, tentu dikemas sedemikian rupa agar tidak tumpah.
Robot itu berukuran sedang, hanya setengah meter tingginya. Ia dilengkapi empat roda untuk bergerak. Apartemen ini memiliki beberapa unit robot sejenis. Selain melayani berbagai kebutuhan para penghuni apartemen, robot-robot itu juga bertugas untuk melakukan perawatan rutin.
Dengan lahap, Yuko menyantap ramen yang masih panas itu. Selepas makan, wanita itu kembali ke meja kerja. Bukan untuk melanjutkan pekerjaan, melainkan menuntaskan rasa penasaran pada seorang pria yang juga terlibat dalam proyek anime yang sama. Yuko sering melihat pria itu di kantin setiap jam makan siang.
"Dwinara Hanayukti." Yuko mengeja nama pria itu, membaca profilnya di Wikipedia. "Orang Indonesia?"
"Dia lahir tahun 2027, berarti usianya 27 tahun, dua tahun lebih tua dariku." Yuko membaca sedikit informasi yang tersedia di halaman web itu, kemudian beralih ke situs pribadi si pria. Yuko mengulas senyum hingga matanya menyipit, lalu berkata, "Aku harus menemuinya besok."
***
Dwinara Hanayukti mengawali hari dengan menyesap teh hangat di taman kecil di rooftop apartemennya. Pria yang biasa disapa Nara itu duduk di bangku panjang, menyantap onigiri sebagai menu sarapan. Sepasang matanya memandangi pohon-pohon bonsai yang daunnya mulai berubah kecokelatan menyambut datangnya musim gugur. Di kakinya, seekor kucing gendut berwarna abu-abu tak henti menggosokkan rambut dan mengeong minta makan. Nara tersenyum sambil mengelus punggung si kucing. Dia hendak memberi kucing itu makan, tapi urung saat dia mendengar seruan seorang wanita.
"Maru! Di sini kau rupanya." Seorang wanita paruhbaya menghampiri Nara dan kucing bernama Maru itu. "Maaf, apa Maru mengganggu?" kata si wanita.
"Oh, tidak sama sekali," ucap Nara. "Dia lapar."
Wanita itu terkekeh. "Maru memang selalu lapar."
"Kau sudah memberinya makan, Nishida-san?" tanya Nara.
Wanita bernama Nishida itu berjongkok dan mengelus kucingnya. "Ya, dan sepertinya dia harus mengurangi porsi makan. Lihatlah betapa gemuknya kucing ini."
"Mungkin sebaiknya begitu, tapi Maru terlihat lucu."
"Ya, dia sangat lucu." Nishida berdiri, tersenyum melihat Maru berguling-guling manja di kaki Nara. "Nara-san, bagaimana kunci kamarmu?"
"Sudah tidak rusak lagi, terima kasih banyak." Kemarin, kunci kamar Nara rusak. Sebagai pengelola apartemen, Nishida dan suaminya membantu memperbaiki kunci itu.
"Oh, aku harus segera berangkat," kata Nara saat melihat jam di ponselnya. Dia langsung menghabiskan onigiri dan tehnya, lalu beranjak dari sana. "Sampai nanti, Nishida-san."
"Sampai nanti."
Angin dingin bertiup kencang hari ini. Rambut Nara yang panjangnya setengah punggung beterbangan meski sudah diikat rapi. Nara berjalan cepat menuju halte bus terdekat, lantas menaiki bus bertenaga listrik yang bergerak secara otomatis–tanpa pengemudi–menuju pusat kota. Halte perhentian bus itu dekat dengan Windgarden Studio, studio animasi tempat Nara bekerja.
Perjalanan tak memakan waktu lama karena bus memiliki jalur khusus yang benar-benar bebas hambatan. Setibanya di studio, Nara langsung menuju ruang kerjanya. Hari ini, dia dan rekan-rekannya di divisi sound production harus menyelesaikan tugas-tugas pengolahan audio untuk serial anime berjudul Haru No Yume.
Nara adalah komposer untuk seluruh soundtrack orkestra pada proyek ini. Pria itu juga merangkap sebagai anggota tim teknisi audio. Pekerjaan itu sangat sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Nara sempat menyelesaikan kuliah musik di Rotterdam, lantas berkarir sebagai musisi dan komposer di Munich sebelum merantau ke Kyoto tiga tahun lalu.
Empat orang teknisi audio di ruangan itu sibuk mengutak-atik berbagai tombol seraya mendengarkan audio yang sedang mereka olah dengan saksama. Mereka sesekali berdiskusi. Pagi ini, cukup banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Selain mixing dan mastering pada beberapa soundtrack orkestra gubahan Nara, rekaman dari para pengisi suara serta sound effect juga perlu diolah.
"Bagaimana? Sudah pas?" tanya Takumi, rekan kerja Nara.
Nara mendengarkan musik yang terputar di headphone-nya cermat-cermat. Pria itu memejamkan mata, sesekali mengangguk pelan, kadang mengerutkan dahi. "Bagian akhir, aku pikir permainan biolanya perlu lebih ditonjolkan lagi, sedikit saja. Sisanya sudah pas."
"Oke, akan kukerjakan sekarang," ucap Takumi semangat.
"Sekarang?" Nara melirik ke jam digital yang terpasang di dinding, lalu melepas headphone. "Lebih baik kita istirahat dulu, sudah jam makan siang. Aku lapar dan telingaku lelah."