Dering nyaring terdengar dari sisi kasur Yuko, membangunkan wanita itu dari tidur yang singkat. Dia memijat kepalanya yang terasa pusing, lalu memaksa diri untuk duduk. Semalam, dia hanya tidur selama tiga jam. Tuntutan pekerjaan sebagai programmer serta pengisi suara tak memberi banyak waktu untuk istirahat.
Piranti cerdas yang terpasang apartemen Yuko menyapa, "Selamat pagi, Yuko-san."
"Selamat pagi, Ikura." Yuko melangkah gontai menuju dapur untuk minum. "Siapkan semuanya," perintahnya.
"Oke."
Jendela kamar terbuka otomatis, cahaya pagi yang lembut menyinari seisi ruangan. Kemudian, robot kecil yang dilengkapi empat roda dan sepasang tangan pun menyala. Robot itu lantas mengeluarkan selang seperti belalai yang berguna untuk menyedot debu. Ia bisa menjangkau tempat-tempat tinggi dengan selang itu.
Sesaat kemudian, robot itu mulai menyusuri dan membersihkan seisi ruangan tanpa menabrak satu pun benda. Ia juga membantu melipat selimut dan merapikan kasur dengan sepasang tangannya.
Yuko membiarkan robot itu melakukan tugasnya. Dia menuju kamar mandi, menanggalkan seluruh pakaian, lalu berdiri di bawah shower. Air hangat mengucur otomatis. Yuko langsung merasa relaks, sangat menikmati waktu mandinya ini. Namun, kali ini dia tak bisa berlama-lama karena ada jadwal rapat harian yang menanti.
Saat Yuko selesai dengan segala urusan di toilet, ruangan apartemen itu sudah bersih dan rapi. Bahkan, pakaian yang tadi dia kenakan sudah berada di mesin cuci. Setelah berpakaian, dia menuju pintu depan, mengambil nampan berisi sarapan yang tadi diantar oleh robot lain.
Suasana hati dan pikiran Yuko membaik setelah makan. Dia segera bersiap untuk rapat dengan rekan-rekan programmer di Excape Inc., perusahaan besar pemilik media sosial Excape.
Yuko menghela napas, memakai earphone tanpa kabel sembari mencari posisi paling nyaman di sofa. Layar hologram muncul di hadapannya, diproyeksikan dari alat berbentuk senter kecil di langit-langit ruangan. Semenit kemudian, rincian progres pekerjaan ditampilkan di layar itu. Yuko bisa mendengar atasannya memberikan instruksi dan evaluasi pada seluruh anggota tim secara bergiliran. Dan saat tiba gilirannya, dia merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
"Furukawa-san," panggil Kotaro, si kepala tim. "Kau terlambat mengirim progres tugasmu. Dan saat kau mengirimnya, kau mengirim ribuan baris kode," omelnya.
"Ma- maaf," ucap Yuko terbata.
"Kau tahu, mengirim ribuan baris kode sekaligus seperti itu sangat menyulitkan saat aku melakukan pemeriksaan. Fitur yang kau kerjakan juga belum berjalan dengan baik, aku masih menemukan beberapa kegagalan fungsi. Sederhanakan lagi kode yang kau buat, perbaiki beberapa kegagalan fungsinya, lalu gabungkan fitur itu dengan sistem utama."
"Baik, akan kuselesaikan malam ini."
Rapat itu berlangsung singkat. Setelah selesai, Yuko langsung melepas earphone dan memerintahkan Ikura untuk mematikan layar hologram. Dia bersandar lesu di sofa, mengembuskan napas panjang. Bibir wanita itu cemberut, membentuk lengkungan seperti busur panah. Omelan Kotaro berhasil merusak suasana hati Yuko. Padahal sesaat sebelum rapat, dia sudah merasa sedikit lebih baik dan siap untuk menjalani pekerjaan sampingan sebagai pengisi suara.
"Menyebalkan. Bagaimana caranya menyelesaikan tugas sebanyak itu dalam waktu sehari," gerutu Yuko. "Ikura, aku butuh hiburan."
"Kau mau mendengar lagu?" tanya Ikura.
"Ya, putarkan lagu-lagu favoritku, yang semangat."
Musik terdengar dari speaker kecil di langit-langit ruangan. Akan tetapi, itu tak cukup untuk membuat suasana hati Yuko membaik. Wanita itu masih terduduk lesu sembari memainkan ponsel. Saat sedang menelusuri beranda media sosial, dia sedikit terkejut karena menerima pesan dari salah seorang rekan kerjanya.
"Pesan dari Tamao?" kata Yuko. Seketika, senyum terkembang di wajahnya. Dia membaca pesan itu, "Yuko-san, apa kau butuh bantuan? Sepertinya pekerjaanmu berat."
"Matikan musik," perintah Yuko. Suasana seketika hening. Yuko lantas mengirim pesan suara untuk Tamao dengan nada bicara yang terdengar gundah. "Hmm, ya, aku agak kesulitan."
"Biar kubantu," balas Tamao.
"Eh? Apa tidak merepotkan?"
"Tidak, pekerjaanku sudah selesai sejak kemarin, aku punya waktu senggang hari ini."
Yuko mengatur suara agar terdengar manja dan imut, tapi natural. "Terima kasih, Tamao-kun. Kau memang sangat baik."
"Berikan aku akses ke progres pekerjaanmu, akan kubantu memperbaikinya."
"Ya, terima kasih banyak, Tamao-kun." Tanpa menunggu lama, Yuko langsung memberikan izin pada Tamao untuk mengakses folder pekerjaannya.
Yuko tersenyum tipis sambil mendekap ponsel di dada, senang karena mendapat bantuan secara cuma-cuma. Sisi manipulatifnya sangat berguna di saat-saat seperti ini. Kepribadian yang ramah dan menarik ditambah paras cantik merupakan senjata utama untuk mencuri perhatian beberapa rekan kerjanya. Tentu itu hanya kepribadian palsu, yang dibuat-buat untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dan sejauh ini, cara itu berhasil dengan baik.
"Ikura, sebaiknya hari ini aku mengenakan pakaian apa?" tanya Yuko.
"Pakaian yang hangat, lengkap dengan jaket karena hari ini cuaca akan dingin," jawab Ikura si mesin cerdas. Teknologi kecerdasan buatan yang terpasang di perangkat itu membuatnya bisa melakukan banyak hal, termasuk memprediksi cuaca dengan akurasi seratus persen.
Ikura sebenarnya adalah perangkat lunak yang sedikit dikustomisasi oleh Yuko agar sesuai keperluannya. Instalasi perangkat lunak itu bisa dilakukan di bermacam gawai. Laptop, ponsel, dan layanan modern di apartemen Yuko, semua saling terhubung dan bisa dikendalikan melalui Ikura. Singkatnya, Ikura adalah asisten-virtual pribadi Yuko.
Lemari pakaian terbuka otomatis saat Yuko mendekat. Wanita itu segera bersiap ke Windgarden Studio, tempatnya bekerja sebagai pengisi suara. Dia mengenakan pakaian sesuai saran Ikura–kaus dan celana panjang, lengkap dengan sweater dan syal. Penampilan kasual itu sangat cocok dengan riasan wajah yang tipis dan natural, favoritnya.
"Ikura, aku pergi."
"Hati-hati di jalan," sahut Ikura. Ia mengunci pintu dan jendela setelah Yuko pergi.
Setelah sepuluh menit perjalanan dengan bus, Yuko akhirnya sampai Windgarden Studio. Wanita itu dengan ramah menyapa rekan-rekannya sembari berjalan menuju ruang rekaman.
"Selamat pagi, semuanya," ucap Yuko seraya tersenyum semringah dan melambaikan tangan pada tiga orang rekannya.
"Selamat pagi," balas mereka tak kalah semangat. Mereka berbincang singkat, lalu melakukan pemanasan pita suara.
Tak lama kemudian, proses rekaman dimulai. Yuko berada di ruang rekam bersama seorang rekannya, sudah siap dengan mikrofon masing-masing. Di penyangga mikrofon itu terpasang monitor seukuran kertas A4 berisi teks dialog dari tokoh yang mereka suarakan. Tiga orang pengarah juga berada di ruangan itu, dibatasi sekat kaca kedap suara. Meski begitu, mereka semua dapat saling berkomunikasi dengan bantuan mikrofon dan headphone.
Salah satu dari pengarah itu lantas menginstruksikan untuk memulai rekaman. Yuko berdehem kecil. Saat dia berbicara, suaranya menjadi lebih rendah dan berat, seperti suara remaja laki-laki.
"Apa yang kau pikirkan? Bodoh!" ucap Yuko penuh penghayatan. Suaranya menggelegar dan sedikit bergetar, menyesuaikan kemarahan tokoh yang dia suarakan. Bahkan, tatapan wanita itu turut berubah tajam. "Bisa-bisanya kau meninggalkan Nishiya-chan sendirian."
"Aku, aku tidak tahu harus berbuat apa," balas Ayase, rekan Yuko.
"Cut," sela Keisuke, salah satu pengarah rekaman. "Ayase-san, kau bicara terlalu cepat, pelankan tempo suaramu."
"Baik, aku ulangi," kata Ayase. Gadis itu menghela napas. "Aku ... aku tidak tahu harus berbuat apa."