Sinar matahari pagi yang menyusup masuk melalui jendela dan ventilasi seolah menjadi alarm bagi Nara. Pria itu terbiasa bangun pagi, bahkan sebelum alarmnya berbunyi. Dia tinggal di apartemen sederhana di pinggiran Kyoto. Apartemen itu hanya terdiri dari satu ruang studio, dapur, dan kamar mandi. Harga sewanya jauh di bawah rata-rata. Jadi, jangan harap ada fasilitas serba modern di sini.
Selepas membereskan kamar dan bersiap kerja, Nara hampir selalu menyempatkan diri duduk sejenak menikmati sarapan dan segelas teh di rooftop apartemen. Di sana terdapat gazebo dan beberapa bangku panjang lengkap dengan kanopi, cocok untuk bersantai dan melihat pemandangan sekitar meski hanya dari ketinggian empat lantai. Pohon-pohon bonsai yang ditata rapi menyerupai taman kecil semakin mempercantik tempat itu. Pasangan paruhbaya pengelola apartemen ini sangat menyukai bonsai.
Nara duduk di gazebo sambil makan roti dan minum teh. Dia ditemani Maru, seekor kucing gendut berwarna abu-abu. Nara suka kucing. Saking sukanya, dia membawa Maru ke kamar hampir setiap malam.
"Kau lapar?" Nara mengelus punggung Maru, lantas mengambil stoples berisi makanan kering untuk kucing. "Ini, jangan makan terlalu banyak, nanti tambah gendut."
Nara menyesap teh yang terasa tawar, tanpa gula. Dia tersenyum tengil, lalu menggelitiki Maru yang sedang lahap-lahapnya makan. Alhasil, Maru pun marah. Ia mencakar dan menggigit tangan usil Nara.
"Aduh! Maru nakal. Jadi kucing sensitif amat." Nara mengusap tangannya yang sedikit sakit.
Jika Maru bisa bicara, pasti dia akan berkata, Sialan, kau yang nakal! Dasar manusia.
"Aku pergi dulu, ya." Nara menepuk punggung Maru sebelum pergi. Maru hanya menoleh seraya memberi pandangan dingin yang menyiratkan pesan, Pergi saja sana, jauh-jauh!
Dasar kucing.
Nara mengenakan jaket, lalu menggendong tas khusus gitar di punggung. Sebelum berangkat, dia tak lupa memastikan apakah apartemennya sudah terkunci atau belum. Meskipun hunian Nara sudah dilengkapi sistem penguncian otomatis, tidak ada salahnya waspada untuk mencegah hal buruk terjadi.
Untuk mencapai halte bus terdekat, Nara harus berjalan kaki selama beberapa menit. Dia tak masalah dengan itu, justru senang karena jalanan Kyoto asri dan bebas polusi. Sebagian besar kendaraan sudah bertenaga listrik, sisanya menggunakan sumber energi terbarukan lain dengan emisi yang sangat minim.
Meskipun teknologi modern diterapkan secara masif, Jepang masih mempertahankan Kyoto sebagai salah satu pusat kebudayaan tradisional. Tidak seperti kota-kota besar lain yang dibangun menjadi kota metropolitan, Kyoto justru menambah taman dan ruang terbuka hijau alih-alih gedung pencakar langit. Kyoto adalah contoh sempurna kota hijau nan maju.
Bus tanpa pengemudi membawa Nara menuju pusat kota. Pria itu turun di halte yang dekat dengan tempat kerjanya, Windgarden Studio. Dari halte itu, dia bisa melihat beberapa pegawai yang baru datang memasuki gedung studio itu.
"Selamat pagi, Nara-san," sapa Takumi saat Nara baru memasuki ruang kerja.
"Selamat pagi. Apa yang kita kerjakan hari ini?" tanya Nara.
"Kemarin, rekaman untuk dua soundtrack terakhir sudah dikirim dari Eikyō Music. Jadi, tugas kita sekarang ke proses mixing dan mastering," jelas Takumi. "Aku sudah mendengar audio mentahnya, yang satu terdengar sedih, satu lagi sangat suram. Entahlah, sulit kugambarkan."
"Benarkah?"
"Ya, lagu berjudul Pain itu membuatku merinding. Kau hebat, Nara-san."
"Terima kasih. Aku juga suka nuansa mencekam di lagu itu." Nara tersenyum lebar. Dia sangat senang ketika lagu yang ditulisnya mendapat pujian seperti ini. Bentuk apresiasi sederhana itulah yang membuat Nara percaya, musik akan selalu punya tempat yang istimewa di hati orang-orang.
Proses mixing dan mastering berjalan lancar dan cepat walaupun lagu itu terbilang rumit–terima kasih pada kemajuan teknologi yang luar biasa. Sebelum sore, tim teknisi audio sudah merampungkan dua soundtrack itu, serta beberapa tugas lain. Mereka sangat puas dengan hasil kerja hari ini.
"Nara-san, mau minum sake malam ini?" ajak Takumi saat melihat Nara berkemas-kemas.
"Aku ada pekerjaan lain. Maaf, ya."