Hari masih pagi, tetapi Nara sudah sibuk di depan laptop. Dia sedang menulis lagu perdana untuk Harukaze, band barunya. Karena kontrak kerjanya di Windgarden Studio sudah habis, Nara punya waktu luang untuk menulis lagu setiap pagi hingga sore hari.
Kemarin, Yuko sudah mengirim lirik lagu pada Nara. Lagu itu diberi judul Usotsuki. Yuko butuh waktu seminggu untuk menyelesaikan lirik lagu itu. Hasilnya memuaskan walaupun ditulis oleh pemula. Dia menulis lirik tentang remaja yang sedang dalam masa mencari jati diri dan cita-cita. Pengalaman Yuko menulis novel sangat berguna untuk membuat lirik lagu. Dia berhasil menuangkan konflik yang erat dengan dunia remaja ke dalam kata-kata yang ringan, tetapi tidak terkesan dangkal.
Dengan bantuan aplikasi digital, Nara memeras otak untuk membuat musik yang menurutnya bagus dan laku di pasaran. Walaupun ingin lagunya laku keras, dia tak mau asal mengikuti tren terkini. Dia masih memegang idealismenya tentang musik yang baik.
Musik untuk lagu baru itu selesai dalam waktu tiga hari. Nara hanya merekam bagian gitar, sedangkan instrumen lain dan vokal dibuat dengan aplikasi digital. Untuk sementara, dia harus melakukan itu untuk berhemat. Biaya untuk menyewa studio, musisi, dan instrumen tidaklah murah. Selain itu, Yuko tidak bisa membaca partitur, sehingga cara terbaik untuknya berlatih adalah mendengar langsung bagaimana lagu itu dinyanyikan.
Setelah tiga hari berlatih, Yuko merasa siap untuk merekam bagian vokal. Minggu pagi, dengan antusiasme tinggi dia pergi ke apartemen Nara.
"Selamat pagi, Yuko-san," sapa Nara ramah.
Yuko tersenyum riang. "Selamat pagi."
Saat Yuko masuk, dia mengedarkan pandang ke seisi apartemen Nara. Ruang apartemen itu sederhana dan tidak luas. Hanya ada satu sekat yang memisahkan ruang studio dengan dapur dan kamar mandi. Suasananya sangat berbeda dengan apartemen yang Yuko huni. Apaertemen Yuko hanya sedikit lebih luas, tetapi fasilitas dan interiornya jauh lebih unggul.
"Nara-san, di mana bunga yang dulu kuberikan padamu?" tanya Yuko.
"Oh, itu, di atas mejaku." Nara menunjuk meja studio. "Terlihat cantik di sana."
Yuko mengangguk. "Hm, aku senang kau menyukainya."
"Tentu. Ehm, Yuko-san, bisa tunggu sebentar? Aku belum selesai menyiapkan peralatannya," ujar Nara.
Yuko mengiakan. Dia duduk di sofa, memperhatikan Nara yang sibuk menyiapkan peralatan rekaman. Wanita itu tegang, tampak dari bibir bawahnya yang digigit dan cara duduknya yang tegak. Dia mengatur napas. Walaupun terbiasa mengisi suara, bernyanyi seperti ini adalah pengalaman baru baginya.
"Peralatannya sudah siap?" tanya Yuko.
"Ya, kau bisa mulai rekaman sekarang."
"Apa tetanggamu tidak terganggu?"
Nara terkekeh. "Tenang, dinding apartemen ini sudah kupasangi peredam."
Jemari Yuko menyentuh dan menekan peredam di dekatnya. "Empuk."
"Itulah lapisan peredamnya. Suara dari sini tidak akan terdengar dari luar, dan suara dari luar tidak akan mengganggu kita," jelas Nara. Dia menaikkan alis. "Jadi, kau siap?"
"Ya, mohon bantuannya."
Yuko mengenakan headphone, kemudian berdiri di depan mikrofon. Dia mengatur napas, sesekali berdehem kecil. "Umm, Nara-san, sepertinya aku butuh air," gumam Yuko.
Nara langsung memberi Yuko segelas air. Setelah minum, Yuko kembali berdehem-dehem di depan mikrofon.
"Kau siap?" tanya Nara.
"Aku butuh pemanasan vokal," ucap Yuko malu-malu.
"Oh, silakan, santai saja." Nara menahan tawa. "Kau tampak gugup, Yuko-san."
"Hm, aku gugup. Maaf, ya." Yuko tertunduk, menghela napas panjang. Dia mulai melakukan pemanasan pita suara. Kemudian dia berkata, "Aku siap."
"Baik, kita mulai, ya."
"Eh, tunggu sebentar. Ikura, matikan dering," kata Yuko. "A- aku takut ponselku tiba-tiba berbunyi."
Nara tergelak, ikut mematikan ponselnya. "Baiklah, sekarang tidak akan ada gangguan lagi. Kau bisa mulai."
Yuko mulai bernyanyi mengikuti musik dan ketukan metronom yang terdengar di headphone-nya. Teknik bernyanyi wanita itu cukup baik. Napasnya teratur, menghasilkan suara yang lembut, tapi juga bisa bertenaga. Pengalaman mengisi suara tokoh laki-laki membuat Yuko sangat baik dalam menyanyikan nada-nada rendah. Namun, dia kesulitan menjaga power suara saat menjangkau nada tinggi.
Bagian demi bagian di lagu itu berhasil Yuko nyanyikan dengan baik meskipun harus mengulang berkali-kali. Setengah jam kemudian, proses rekaman pun selesai.
"Aku gugup sekali," ucap Yuko dengan suara bergetar. Dia lantas meminum segelas air. "Apa hasilnya bagus?"
Nara mengangguk. "Lumayan, kau mau mendengarnya?"
"Tentu."
"Sebentar, aku harus mengolahnya sedikit." Nara kembali fokus di depan laptop. "Duduk saja dulu, buka pintu, lakukan apa saja yang membuatmu lebih tenang."
"Hm, aku duduk saja."
Beberapa menit berselang, Nara memanggil Yuko untuk mendekat. "Aku baru selesai menggabung vokal dengan musiknya. Coba dengarkan."
Nara melepas headphone, lalu memutar musik melalui beberapa set speaker. Musik itu terdengar energik, temponya cukup cepat. Suara gitar, drum, bass, dan piano berpadu apik, menghasilkan nada-nada yang membangkitkan semangat.
Senyum Yuko terkembang saat mendengar vokalnya di lagu itu. Dia merasa air matanya mendesak keluar saking senangnya. Untuk seorang pemula, hasil rekaman tadi sangat memuaskan. Semua itu berkat pengalaman Yuko sebagai pengisi suara dan penyiar.
Yuko bertepuk tangan dan berseru riang saat lagu berdurasi empat menit itu selesai. "Aku sangat suka hasilnya," ucapnya.
"Aku juga, itu sudah bagus untuk lagu pertama kita," kata Nara.
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?"
Nara mengelus dagu. "Aku harus menyelesaikan proses mixing dan mastering, lalu mengirimnya ke label rekaman."
"Ke mana?" tanya Yuko.
"Evergreen Records," ucap Nara. "Biar aku yang mengurusnya, kau hanya perlu menulis lirik lagu."
"Baiklah. Oh, aku hampir menyelesaikan dua lirik lagu."
Nara memiringkan kepala. "Dua?"
Yuko mengangguk. "Ya, dua. Aku harus merevisinya lagi, mungkin tiga hari lagi selesai."
"Bagus. Kau sangat produktif," puji Nara.
"Terima kasih, senang bisa bekerja sama denganmu."
"Aku juga." Nara menghela napas. "Hmm, Yuko-san, aku punya sedikit saran. Cobalah ikut kelas vokal, aku tahu beberapa kelas online yang bagus."
"Eh? Ada yang salah dari suaraku?"