Januari 2056
Sore ini, via kereta super cepat bertenaga magnet, Yuko pulang dari kantornya di Osaka dengan perasaan lega. Dia dan tim programmer Excape Inc. baru selesai mempresentasikan pemutakhiran algoritme kecerdasan buatan pada media sosial Excape. Itu berarti beban pekerjaan Yuko akan jauh berkurang, sehingga dia bisa meluangkan waktu untuk Harukaze. Belakangan ini, hanya Nara yang mengurus band itu karena Yuko terlalu sibuk.
Nara mengurus Harukaze dengan sangat baik. Pria itu lagi-lagi ditunjuk sebagai komposer untuk sebuah film anime. Pada proyek ini, dia menggunakan tiga lagu Harukaze sebagai soundtrack sehingga popularitas band itu semakin melambung. Jumlah pendengar mereka di salah satu aplikasi streaming musik sudah lebih dari dua juta per bulan. Yuko sangat berterima kasih pada Nara untuk pencapaian itu.
Setibanya di apartemen, Yuko langsung merebahkan diri di sofa. Dia berpikir keras merangkai kata untuk merevisi lirik lagu yang dia tulis dua minggu lalu. Akan tetapi, usahanya tidak membuahkan hasil. Pikirannya buntu, sedangkan ada target yang harus dikejar. Dua bulan lagi, album baru Harukaze harus dirilis, tetapi ada dua lagu yang belum selesai.
Karena tak kunjung mendapat inspirasi, Yuko memutuskan untuk istirahat saja. Pukul tujuh malam nanti dia ada janji untuk bertemu Nara. Sebenarnya Yuko lelah dan malas. Andai dia tidak merasa berutang pada Nara dan Harukaze yang sudah menambah pundi-pundi uang di rekeningnya, wanita itu pasti tidak akan datang.
Pukul tujuh malam, setelah makan dan bersiap, Yuko berangkat ke apartemen Nara. Semoga Nara tidak marah karena aku belum menyelesaikan liriknya, batin Yuko.
"Selamat malam, Nara-san. Maaf aku terlambat," ucap Yuko sopan, sedikit membungkuk.
"Ah, tidak masalah, ayo masuk," kata Nara. "Bagaimana pekerjaanmu? Sudah selesai?"
"Pekerjaan yang mana?"
Nara terkekeh, mendudukkan diri di sofa. "Yang mana saja."
"Pekerjaanku di Excape sudah tuntas, aku punya waktu luang setelah ini." Yuko menghela napas, tampak lesu. "Kalau di Harukaze, aku belum menyelesaikan apa pun."
"Apa kendalamu?"
"Aku kehabisan ide. Album sebelumnya mudah karena aku mengambil konsep lirik dari novelku, tapi kali ini semua ditulis dari awal," keluh Yuko. "Aku sama sekali tidak tahu harus menulis lirik tentang apa lagi."
"Begitu, ya." Nara mengangguk kecil. "Nanti kubantu. Oh ya, kemarin aku menyelesaikan satu lagu instrumental. Kau mau mendengarnya?"
"Boleh."
Nara memutar lagu itu di ponsel. Terdengar alunan nada piano dan biola yang sendu, ditambah backsound hujan. Baru pertama kali Harukaze membuat lagu instrumental dengan nuansa muram seperti itu.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Nara ketika lagu berdurasi dua menit itu berakhir.
"Terdengar berbeda," jawab Yuko singkat.
Nara memperhatikan wajah Yuko yang lesu. Awalnya dia ingin mengajak Yuko membahas musik, tetapi sepertinya niat itu terpaksa diurungkan. "Yuko-san, kau mau minum bir? Atau mungkin sake?"
Yuko melongo, terkejut karena Nara menawarinya minuman beralkohol. "Sake?"
"Ya, kau suka sake? Aku punya beberapa botol sake," ujar Nara seraya menggaruk kepala. "Pasti enak saat cuaca dingin seperti ini."
"Sake boleh juga, tapi sedikit saja, ya. Aku tidak terbiasa minum sake," kata Yuko.
"Sebentar, aku tahu cara yang enak untuk menikmati sake," ucap Nara. Pria itu menghangatkan sake, kemudian menyajikan minuman beralkohol itu dalam gelas kecil.
Nara lantas meletakkan meja lipat kecil di dekat jendela apartemen. Dia menghidangkan sake di meja itu, memutar musik jazz lembut yang menenangkan, kemudian mengajak Yuko duduk bersama di sana. Melalui jendela besar itu, mereka bisa melihat atap-atap rumah yang berwarna putih akibat tertutup salju, cahaya yang berpendar dari rumah-rumah dan lampu jalan, serta pohon-pohon yang nyaris tak berdaun.
"Kurasa kita perlu banyak bicara," ucap Nara, lalu menyesap sake hangatnya.
"Tentang apa?"
"Apa saja. Aku merasa kita selama ini hanya menjalin hubungan sebagai rekan kerja. Maksudku, kita kurang mengenal satu sama lain," ujar Nara.
Yuko menyesap sake, dahinya mengernyit karena belum terbiasa dengan cita rasa minuman beralkohol. "Benar juga."
Nara tersenyum simpul. "Mungkin dari obrolan ini kau bisa mendapat inspirasi untuk lirik lagu kita."
Ditemani sake hangat, mereka berbincang tentang berbagai hal. Dari hal sederhana seperti warna dan makanan favorit, tempat wisata yang berkesan, sampai ke hal yang lebih rumit seperti lingkungan pertemanan.
"Jadi, kita sama-sama tidak punya banyak teman, ya?" kata Nara seraya tertawa. "Teman dekatku cuma Takumi-san dan rekan-rekanku di Sefirot."
Yuko terbahak-bahak, rona kemerahan tampak di wajahnya. "Teman dekatku cuma Ikura, dan dia bahkan bukan manusia!"
"Kau sepertinya punya krisis kepercayaan yang serius. Kau lebih percaya robot daripada manusia."
Tawa Yuko seketika mereda. Dia menatap hamparan salju di luar sana. "Robot tidak akan mengkhianatimu, Nara-san."
Senyum Nara sirna, dia terdiam. Ucapan Yuko benar, dan itu sangat ironis. Robot tidak seperti manusia yang punya bermacam keinginan dan akan melakukan berbagai upaya–termasuk hal tercela–untuk mendapat apa yang diinginkan. Robot tidak punya keinginan. Mereka diciptakan hanya untuk melayani manusia. Namun di sisi lain, robot perlahan menggantikan peran manusia sebagai makhluk sosial yang saling mendukung. Apa guna manusia kalau robot bisa melakukan segalanya?
"Jadi, apa robot bisa sepenunhnya menggantikan manusia?" tanya Nara.
"Tenang saja, banyak peran manusia yang tidak akan bisa digantikan oleh robot," ujar Yuko. "Itulah mengapa hubungan manusia yang saling memanfaatkan akan tetap ada."
"Saling memanfaatkan?"
Yuko menatap gelas yang sudah kosong. "Tujuan manusia menjalin hubungan sosial adalah untuk saling memanfaatkan."
"Aku sedikit tidak setuju tentang itu."
"Terserah. Setiap orang punya pengalaman berbeda yang memengaruhi cara pandang mereka."
Nara mengisi lagi gelas mereka yang sudah kosong. "Apa pengalaman yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya.
"Aku tidak yakin bisa menceritakan itu. Itu adalah masa terkelam dalam hidupku."
"Masa terkelam, ya." Nara menyesap sake, pandangannya menerawang ke luar. "Biar aku bercerita tentang masa kelamku, aku punya banyak."
Yuko terkekeh. "Baiklah, kau duluan. Nanti aku juga cerita."
Nara menghela napas. "Waktu kelulusan sekolah, aku dan beberapa teman menggelar pesta kecil. Aku mabuk, dan nyaris melecehkan pacar kakakku."
"Oh, tidak, itu buruk sekali. Lalu apa yang terjadi?"
"Aku sangat malu dan menyesal. Aku memutuskan untuk pergi merantau walaupun ibuku melarang keras. Kemudian, hal baik justru terjadi padaku."
"Apa itu?"
"Aku ikut perlombaan gitar tingkat internasional, dan aku menang." Nara tergelak seraya memegangi perut. "Sulit dipercaya, aku adalah gitaris muda terbaik di dunia saat itu."
"Kau nyaris melecehkan seseorang, dan mendapat hal baik dari sana?" tanya Yuko.
"Ya, semua pencapaianku ini tidak akan ada kalau insiden malam itu tidak terjadi. Di balik keburukan ternyata ada kebaikan, tapi di baliknya lagi ada keburukan lain," ujar Nara menahan tawa.
"Maksudmu?"
"Dua tahun berselang, aku terkena focal dystonia. Itulah saat terburuk dalam hidupku. Kemampuanku menurun drastis hanya karena kehilangan fungsi satu jari. Butuh dua tahun sampai aku bisa bermain dengan baik lagi," kenang Nara.
"Kenapa kau bisa terkena penyakit itu?"