Di apartemennya, Yuko sibuk bertelepon dengan manajer Harukaze. Mereka membahas konser perdana Harukaze yang digelar seminggu lalu. Rekaman konser itu akan didistribusikan dalam bentuk CD serta album digital.
"Takumi-san sedang mengerjakan sound production, sedikit lagi selesai. Selanjutnya, album itu siap dijual," kata si manajer.
"Ya, ya, urus saja semuanya, aku tidak mengerti hal itu," balas Yuko, ingin segera mengakhiri pembicaraan. "Laporkan lagi perkembangannya besok."
"Baik."
Yuko mengakhiri panggilan. Wanita itu mendesah gusar, menggaruk kepala dengan dua tangan. "Menyebalkan, kenapa aku yang harus mengurus semua ini? Ke mana Nara? Bisa-bisanya dia menghilang seperti itu," gerutunya.
Sejak konser itu, Nara seolah lenyap ditelan bumi. Dia sama sekali tak bisa dihubungi, apalagi dijumpai. Alhasil, Yuko harus menangani berbagai urusan pasca konser.
"Ikura, aku pikir aku harus mencari Nara ke apartemennya," ucap Yuko.
"Kau mau ke sana lagi?" tanya Ikura. "Kau sudah ke sana kemarin."
"Ini keterlaluan, aku tidak bisa mengurus ini semua sendiri." Yuko memanyunkan bibir. "Mungkin saja dia mengunci diri di kamar. Kemarin aku tidak membuka kamarnya."
"Baiklah. Akan kupesan taksi untukmu."
Via taksi tanpa pengemudi, Yuko pergi ke apartemen Nara. Rasa kesalnya tak bisa dibendung lagi. Namun, di hati kecilnya, dia mencemaskan Nara. Menghilang selama seminggu bukanlah hal yang normal untuk dilakukan.
Sepanjang perjalanan, pikiran Yuko berkecamuk. Hal-hal buruk melintas di otaknya. Berbagai kemungkinan buruk–termasuk kematian Nara–coba ditepisnya jauh-jauh.
Setibanya di sana, apartemen Nara terkunci. Yuko memencet bel, bahkan menggedor pintu berkali-kali. Namun, tidak ada jawaban. Putus asa, Yuko memutuskan untuk membuka pintu itu dengan bantuan Nishida, pengelola apartemen ini.
"Jadi, belakangan ini Anda tidak melihat Nara-san juga?" tanya Yuko.
Nishida mengernyitkan dahi. "Dia sempat membeli makanan beberapa hari lalu, tapi setelah itu aku tak melihatnya lagi."
Saat pintu dibuka, udara pengap mengalir keluar. Yuko dan Nishida terbelalak melihat kondisi apartemen yang berantakan. Dan alangkah terkejutnya mereka melihat Nara terbaring tak berdaya di sofa.
"Nara-san!" Yuko terpaku di tempat, sedangkan Nishida melangkah cepat ke arah Nara.
Nishida mencoba mengecek tanda-tanda kehidupan. "Cepat telepon ambulans!" seru wanita itu.
Yuko segera menghubungi rumah sakit terdekat. Kemudian, dia menghampiri Nishida dan Nara. "Apa dia masih hidup?"
"Ya, tapi kondisinya sangat lemah."
Dari dekat, Yuko bisa melihat tubuh Nara lebih kurus dibandingkan saat terakhir mereka bertemu. Kelopak mata Nara sedikit terbuka, tapi dia tak bergerak atau bicara. Dia tampak buruk, dan aroma tubuhnya tak kalah buruk. Yuko sampai harus menahan napas. Nara pasti tak pernah mengurus diri, pikirnya.
Tak lama kemudian, ambulans tiba. Tiga orang petugas kesehatan membawa Nara ke ambulans, lalu melajukan mobil itu menuju rumah sakit. Yuko dan Nishida ikut ke sana.
Dokter dan beberapa perawat segera melakukan pemeriksaan dan perawatan intensif. Yuko dan Nishida menunggu dengan perasaan waswas. Setelah kondisi Nara dirasa stabil, pria itu dibawa ke ruang perawatan.
Yuko memutuskan untuk menemani Nara di rumah sakit. Tak lupa dia meminta Ikura untuk membawakan laptopnya ke sana. Bagaimanapun, Yuko tak boleh melalaikan pekerjaan.
Sore hari, suara erangan lemah dan derit kasur membuat Yuko menoleh. Dia buru-buru menghampiri Nara yang mencoba duduk.
"Nara-san, tidurlah, kau masih lemah," kata Yuko sambil membantu Nara merebahkan badan.
"Yuko-san, apa yang terjadi?" gumam Nara lirih.
"Aku yang seharusnya bertanya begitu. Apa yang terjadi padamu? Dokter bilang kau kekurangan nutrisi dan sempat mencoba bunuh diri."
Nara mendesah, pandangannya menerawang ke jendela besar di kamar itu. Dia terdiam sejenak, kemudian mengangkat tangan kirinya yang tidak diinfus. "Ini yang terjadi," ucapnya lesu.
Nara meregangkan otot-otot jemari tangan kirinya. Kelima jarinya lurus, tetapi sedikit gemetar. Saat dia menggerakkan telunjuk, jari tengahnya mulai tertekuk sendiri hingga ujungnya menyentuh telapak tangan. Sejurus kemudian, jari manis dan kelingkingnya juga ikut tertekuk. Pria itu meringis, jemarinya semakin gemetar. Tetap saja, jari-jari itu tak bisa diluruskan.
"Jarimu ..." gumam Yuko.
"Focal dystonia," kata Nara. "Rasanya lebih buruk daripada kematian."
"Bagaimana bisa?"
"Pagi hari setelah konser, aku sedang merekam lagu baru untuk Sefirot, tapi jariku tiba-tiba tidak bisa digunakan. Aku langsung ke dokter, tapi setelah tiga hari kondisinya malah tambah parah," jelas Nara. Suaranya pelan dan sedikit serak.
"Kau depresi karena itu."
"Begitulah. Maaf merepotkanmu, Yuko-san." Nara menatap laptop Yuko di atas meja. "Sejak kapan kau di sini?"
"Sejak pagi. Nishida-san sudah pulang tadi siang."
"Lalu bagaimana pekerjaanmu?"
Yuko tersenyum simpul. "Tenang, aku bebas bekerja dari mana saja."
"Ah, begitu ya. Maaf, kau jadi repot begini."
"Tidak, jangan dipikirkan. Istirahatlah."
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, Nara akhirnya bisa pulang. Dia harus menjaga asupan nutrisi, serta berkonsultasi ke psikiater untuk menangani depresi beratnya. Bagi seorang musisi, kehilangan kemampuan bermusik tentu saja merupakan pukulan berat, apalagi Nara benar-benar menggantungkan hidup hanya dari musik.
Musik adalah dunia bagi Nara, dan itu semua direnggut oleh penyakit yang belum ada obatnya.
***
Tiga minggu setelah pulang dari rumah sakit, kondisi Nara sudah pulih. Di rooftop apartemen, pria itu menggenggam ponsel pintar di dekat telinga. Dia mencoba menghubungi Johann, rekan band-nya di Sefirot. Setelah sekali tak terjawab, akhirnya Johann menjawab telepon Nara.
"Halo, Johann," sapa Nara.
"Ya, halo. Ada apa?" jawab Johann.
"Ada hal penting yang ingin kubahas. Kau punya waktu sekarang?"
"Ya, aku tidak sibuk. Apa yang ingin kau bahas?"
"Begini ..." Nara menghela napas, "aku ingin keluar dari band."
"Wah, wah, kenapa begitu? Apa ini karena band barumu? Kau menghilang selama sebulan lebih, dan tiba-tiba kau ingin keluar?"
"Bukan begitu -"
"Kau pasti senang di musik pop, ya? Kau sudah kaya?" sela Johann, nada bicaranya terdengar sinis. "Ingat, aku yang merekrutmu saat kau kesulitan dulu, dan -"
"Johann, dengar," potong Nara, tak ingin terjadi perdebatan. "Ini bukan karena band-ku. Ini karena jariku."
"Apa yang terjadi?"
"Sebulan lalu, penyakitku semakin parah. Jari tengah, manis, dan kelingkingku terkena dampak focal dystonia. Sekarang aku sama sekali tidak bisa bermain gitar dan tidak bisa melanjutkan rekaman." Nara mendesah gusar. "Kupikir tidak ada gunanya aku tetap di band. Aku tidak bisa bermain seperti dulu."
"Wah, tunggu dulu." Nada bicara Johann seketika melunak. "Kenapa kau baru mengabari?"
"Aku butuh waktu," jawab Nara.
"Maaf, aku turut prihatin. Bagaimana kabarmu sekarang?"
"Aku baik-baik saja."
"Baguslah. Kau tidak perlu keluar dari band. Kami tidak mungkin mengeluarkanmu karena kau sakit," kata Johann.
"Tapi aku tidak bisa bermain gitar lagi."
"Kau sudah sangat membantu dalam menulis lagu. Sisanya biar Rafael yang urus. Kau bisa istirahat sampai kau sembuh."
"Kau yakin?"
"Ya, jangan meremehkan kemampuan Rafael."
"Tidak, maksudku, kau yakin tidak mengeluarkanku?"
"Oh, tentu tidak. Sudahlah, istirahat saja. Semoga kau cepat sembuh."
Nara tersenyum lega. "Terima kasih."