Pagi ini, setelah sarapan, Nara dan Yuko sudah siap untuk melanjutkan agenda liburan mereka di Shima Onsen. Mereka berencana menjelajahi beberapa tempat di sana, yaitu Kuil Hiyorimi Yakushido, Air Terjun Koizumi, dan Danau Okushima. Mereka berangkat dengan mobil, membawa serta semua barang pribadi karena mereka akan langsung ke stasiun setelah puas berwisata.
"Kau tidak akan mengurus pekerjaan, 'kan?" tanya Nara saat melihat Yuko mengutak-atik ponsel dengan ekspresi serius.
"Tidak, aku sudah minta bantuan temanku kemarin."
Nara mengelus dagu. "Meminta bantuan, ya?"
"Ya, cuma sedikit. Kemarin saat di kereta aku sudah hampir membereskan tugasku," jelas Yuko.
"Kau memberinya imbalan?"
"Tidak. Sudah seharusnya rekan kerja saling membantu." Yuko terdiam sejenak. "Mungkin aku akan mengajaknya makan siang untuk berterima kasih."
"Baguslah."
Mobil mereka melaju santai di jalanan yang sepi. Keduanya bercengkerama sembari menikmati pemandangan. Di kiri mereka berjejer pertokoan dengan gaya bangunan yang khas, sedangkan di kanan membentang hutan dan sungai berlatar perbukitan yang hijau. Langit biru cerah berhiaskan awan tipis menemani perjalanan mereka.
Tak lama kemudian, mereka tiba di Kuil Hiyorimi Yakushido, kuil bersejarah yang berumur lebih dari 400 tahun. Bangunan kuil itu sederhana, nuansanya sangat berbeda dibandingkan kuil-kuil megah di Kyoto. Sebagian besar bagian Kuil Hiyorimi Yakushido terbuat dari kayu, tampak serasi dengan asrinya pepohonan di sekitar kuil.
"Ayo berkeliling," ajak Yuko, tersenyum riang.
Mereka menjelajahi area sekitar kuil, sesekali berfoto bersama. Yuko mengambil banyak sekali foto dengan bermacam gaya, sedangkan gaya Nara hanya senyum-senyum saja. Yuko terkekeh melihat hasil foto itu.
"Sekian banyak foto, dan gayamu hanya itu-itu saja," ejek Yuko.
Nara menggaruk kepala. "Aku kehabisan gaya."
"Keluarkan kegilaanmu."
Yuko memegang ponsel, berswafoto dengan Nara. Kali ini, Nara tak ragu membuat ekspresi lucu walaupun masih kurang luwes. Yuko sampai harus menahan tawa melihat raut wajah Nara.
Tak butuh waktu banyak untuk menelusuri kuil itu karena areanya tidak luas. Mereka lantas menuju Air Terjun Koizumi, tak jauh dari sana.
Sayangnya, mereka hanya bisa menikmati indahnya air terjun dari kejauhan. Hujan kemarin membuat trek menjadi licin dan susah dilalui. Meski begitu, air terjun itu tampak jelas. Airnya mengucur deras dan area sekitarnya dihiasi hijaunya pepohonan yang rimbun. Sebelum melanjutkan perjalanan, Yuko mengambil beberapa foto dengan ponsel.
Tujuan terakhir mereka adalah Danau Okushima. Ditemani kopi dingin dan makanan ringan, mereka menikmati pemandangan danau dari kafe yang terletak tak jauh dari sana. Danau itu tampak indah dengan air yang berwarna kebiruan, serasi dengan langit yang cerah. Bukit-bukit hijau mengelilingi danau itu.
"Nara-san, menurutmu bagaimana liburan kita?" tanya Yuko.
Nara tersenyum simpul. "Aku sangat senang, terutama saat berendam di onsen. Itu sangat berkesan."
"Kali pertama memang selalu berkesan. Kau tahu, kau bisa menyewa onsen privat semacam itu di Kyoto. Kabarnya air panas alami itu baik untuk saraf, mungkin bisa membantu terapi penyakitmu," ujar Yuko, lalu meminum kopi.
"Akan kucoba, tapi aku tidak yakin penyakitku bisa sembuh. Aku hanya berharap bisa lancar bermain gitar dengan tangan kiri secepat mungkin."
"Pelan-pelan saja. Jangan memaksakan diri."
Nara terkekeh. "Nasihat itu juga berlaku untukmu."
Yuko ikut tertawa. "Ya, benar juga. Setidaknya aku tidak seambisius dulu."
"Hm, uang bukan segalanya."
"Nasihat itu juga berlaku untukmu," balas Yuko.
Nara menaikkan sebelah alis. "Maksudmu?"
"Pikir saja sendiri."
Nara berdecak, memaksa diri untuk tersenyum. Wanita memang punya cara sendiri untuk membuat pria kebingungan.
Selepas makan dan puas menikmati pemandangan, Yuko dan Nara berkendara menuju Stasiun Nakanojo. Di perjalanan, tak lupa mereka membeli bekal dan oleh-oleh. Setibanya di Nakanojo, mereka mengembalikan mobil sewaan itu, lalu berjalan menuju stasiun.
Kereta yang mereka tumpangi melaju mulus tanpa getaran. Yuko dan Nara sekali lagi memanjakan mata dengan pemandangan di sepanjang perjalanan. Bentang alam dan perkotaan tersaji silih berganti.
Beberapa jam berselang, mereka pun tiba di Stasiun Kyoto.
"Sampai jumpa. Jaga kesehatanmu, Nara-san!" kata Yuko, melambaikan tangan di atas kepala.
"Kau juga. Terima kasih untuk liburannya! Sampai jumpa," balas Nara. Mereka berpisah di sana, menumpang taksi menuju kediaman masing-masing.
Di kasur tipis yang tergeletak di lantai apartemen, Nara berbaring sambil melihat-lihat foto-foto liburannya. Yuko mengirim banyak sekali foto, termasuk foto mereka bersama. Nara tersenyum saat menyadari hubungan mereka yang semula sebatas rekan kerja profesional di satu band, kini menjadi teman yang akrab.
Nara membayangkan betapa buruk nasibnya jika tak pernah mengenal Yuko dan tidak membentuk band bersama wanita itu. Bagaimanapun, kesuksesan Harukaze tak lepas dari peran Yuko sebagai vokalis dan penulis lirik lagu. Tanpa Yuko, pasti Nara akan terlunta-lunta tanpa sumber keuangan yang memadai.
"Yuko sangat membantuku," gumam Nara seraya mengelus Maru yang tidur bersamanya. Pria itu lantas melirik mawar biru di atas meja, pemberian Yuko dulu. "Aku akan terus berusaha."
Keesokan harinya, sejak pagi Nara sudah berlatih gitar. Terbiasa mengajar murid-murid pemula membuatnya tahu harus melakukan apa agar cepat menguasai gitar. Namun, dia tak serta-merta bisa lancar. Hingga saat ini, gerakan jari tangan kanannya masih tidak luwes, tidak bisa memainkan melodi atau mengganti chord dengan cepat. Selain itu, bunyi gitarnya juga masih kurang bagus.
Nara berlatih hingga menjelang sore. Waktu latihan yang ekstrem, memang. Jika dia tak punya jadwal mengajar, dia pasti akan berlatih sepanjang hari.
Setelah bersiap dan berpakaian kasual rapi–menutup semua tatonya–Nara berangkat menuju Eikyō Music School. Namun, setibanya di sana, dia dipanggil ke ruang atasannya. Katanya, ada sesuatu yang penting dan harus dibahas saat ini juga.
"Selamat sore," sapa Nara saat memasuki ruangan Akizuki, sang atasan.