Spring Dreams

Rana
Chapter #11

Pulang

Indonesia, September 2056

Nara memasang masker saat baru keluar dari bandara. Dia tak kuat menghirup pekatnya polusi di jalanan Indonesia, terutama di kota-kota besar. Ya, Indonesia belum beralih ke kendaraan listrik atau bahan bakar terbarukan lain.

Segera Nara melangkah masuk ke taksi yang dipesannya. Tas gitar besar dan koper diletakkan di kursi paling belakang, sedangkan dia sendiri duduk di kursi tengah.

Mobil itu melaju pelan, mustahil mengebut di jalanan yang sangat padat. Nara mencoba beristirahat, tapi suara klakson yang bersahutan terdengar sangat mengganggu. Pria itu juga tak mau mendengar musik. Entah mengapa akhir-akhir ini mendengar musik justru membuatnya semakin tertekan.

"Habis dari mana, Mas?" tanya si sopir. Pria itu tampak suntuk di kursi kemudi. Dia mengelus kumis tebalnya sambil memperhatikan kendaraan-kendaraan yang menyerobot tak kenal aturan.

"Dari Jepang," jawab Nara.

"Wah, Mas ini kerja apa di Jepang?"

"Saya dulu guru musik, terus ya sekadar main band gitu."

Si sopir terkekeh. "Oh, iya. Pantesan bawa gitar, ya."

"Ya, gitu."

"Dah lama di Jepang, Mas?"

"Lima tahun. Tapi sebelumnya saya di Jerman dua tahun, di Belanda empat tahun." Nara melirik ke luar, melihat permukiman padat nan kumuh di sisi jalan. "Sebelas tahun saya nggak pulang, ternyata Indonesia masih begini, ya."

"Ya, mau gimana lagi," ujar si sopir.

Nara tersenyum kecut. Dia tahu, semua orang punya dosa yang sama besar, yang berujung pada terpuruknya negara ini. Negara yang dulu terkenal indah, kini masuk jajaran atas dari daftar negara yang tak layak dikunjungi dan ditinggali.

Masalah-masalah di negara ini bersumber dari ledakan jumlah penduduk tanpa dibarengi peningkatan kualitas pendidikan. Sebagian besar dari 360 juta masyarakat Indonesia tidak mengenyam pendidikan yang layak. Kualitas pendidikan di Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara lain yang sudah maju. Hal itu diperparah dengan rendahnya literasi masyarakat.

Masalah itu merembet menjadi serius ketika sumber daya manusia di Indonesia tak mampu bersaing dengan kemajuan teknologi. Perusahaan dan pabrik lebih memilih menggunakan tenaga robot dibanding manusia yang tidak cakap. Akibatnya, jumlah pengangguran meningkat drastis, merembet ke tingkat kriminalitas yang semakin tinggi.

Situasi semakin keruh karena pemerintah pada era ini acapkali membuat kebijakan kontroversial. Dan jangan abaikan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela di semua lini, menjadikan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia.

Setelah dua jam terjebak macet, mobil yang ditumpangi Nara akhirnya melaju lancar ketika sudah meninggalkan wilayah kota. Setidaknya, masih ada tempat yang asri di Indonesia, misalnya desa tempat Nara dulu tinggal. Dengan pengelolaan dana desa yang baik, kualitas hidup masyarakat pun meningkat. Seandainya negara ini dikelola dengan apik, pasti nasibnya akan jauh lebih baik.

Di mulut sebuah gang kecil, mobil itu berhenti. Nara turun membawa barang-barangnya, lalu membayar taksi itu. Langkah Nara pelan karena koper dan tas gitar yang dibawanya lumayan berat. Selain itu, hatinya juga dipenuhi keraguan.

Nara menatap lonceng kecil di gerbang rumahnya. Sayup-sayup, dari balik gerbang tinggi berbahan kayu itu dia mendengar suara gesekan sapu lidi yang beradu dengan tanah.

Nara menghela napas, lalu membunyikan lonceng beberapa kali. Suara sapu lidi tak lagi terdengar. Nara tertunduk, jantungnya berdetak cepat saat gerbang itu mulai bergeser.

"Bu, saya pulang," ucap Nara lirih.

"Nara ..." Wanita paruhbaya yang baru saja membuka gerbang itu melongo. Dia sama sekali tak menyangka putranya kini berdiri di hadapannya. "Nara ..."

Nara melepas masker. "Iya, Bu. Ini Nara."

Wanita itu langsung memeluk Nara. Pelukannya erat, meluapkan kerinduan setelah sebelas tahun tak berjumpa dengan sang putra. "Nara ... akhirnya kamu pulang."

Nara tak mampu menjawab, juga tak mampu membalas pelukan ibunya. Dia hanya termenung sampai ibunya melepas pelukan itu.

"Kamu kurus, ya," ucap Hana, ibu Nara.

"Iya, nggak pernah makan banyak."

Hana tersenyum simpul. "Sekarang kamu bakal makan banyak. Ayo, masuk."

Nara berjalan menyeret koper melewati halaman rumah yang luas. Dia meletakkan barang-barang di teras, duduk di sana mengamati pohon-pohon bunga yang tertata rapi tepat di hadapannya.

"Nara, sini masuk," panggil Hana dari dalam rumah.

"Nanti, Bu. Mau istirahat di sini dulu," jawab Nara.

Hana berseru lagi, "Sini istirahat di kamar."

Nara membawa tas gitar besar dan kopernya ke kamar. Pria itu agak terkejut melihat kondisi kamarnya masih mirip seperti dulu. Lemari, kasur, dan meja masih di tempat semula. Bahkan, beberapa poster yang dulu ditempelnya masih terpasang di sana meskipun warnanya sudah memudar.

"Saya tidur sebentar ya, Bu," kata Nara. Pria itu merebahkan diri di kasur. Sebelum terlelap, dia memikirkan bagaimana reaksi ayah dan kakaknya nanti, terutama sang kakak. Sebenarnya, mereka saudara kembar yang sangat dekat sejak kecil. Namun, perselisihan terjadi di antara mereka sehingga Nara meninggalkan rumah sebelas tahun lalu.

Hari sudah gelap saat Nara dibangunkan oleh ibunya. Nara langsung diajak ke ruang keluarga. Pria itu tidak tampak terkejut saat melihat ayah dan kakaknya sedang berbincang di meja makan.

"Halo," sapa Nara canggung.

Arda, ayah Nara, langsung berdiri dan memeluk putranya. "Nyasar ke mana aja kamu? Kok baru pulang?" guraunya saat melepas pelukan singkat itu.

"Nyasar ke Mars, Pak," balas Nara.

Lihat selengkapnya