Spring Dreams

Rana
Chapter #12

Sakura

April 2057

Di kamarnya, Nara asyik memainkan gitar. Jemari tangan kanannya sudah cukup lincah meskipun belum bisa memainkan melodi-melodi cepat. Setidaknya, dia sudah bisa menguasai permainan gitar di Harukaze. Abaikan solo gitar rumit dan cepat yang menjadi kebanggaannya dulu. Pencapaian saat ini sudah tergolong kemajuan yang pesat.

Nara menghentikan latihan ketika mendengar ponselnya berdering. "Takumi?" gumamnya.

"Halo," ucap Nara.

"Halo." Suara Takumi terdengar riang. "Bagaimana kabarmu? Lama tidak berjumpa."

"Aku baik, bagaimana denganmu?"

"Sangat baik." Takumi terbahak. "Aku ditunjuk sebagai kepala divisi sound production di Windgarden Studio. Kami sudah mulai menggarap anime Haru No Yume Season 2."

"Haru No Yume?" Nara langsung teringat pada Yuko. Proyek anime itulah yang mempertemukan mereka. "Lalu?"

"Aku ingin kau menjadi komposer lagi."

Nara tertegun. Jantungnya berdetak cepat. Ini kesempatan emas, pikirnya. Walaupun kehilangan kemampuan bermain gitar, dia sama sekali tidak kehilangan kemampuan menulis musik. Ini bisa jadi kesempatan yang bagus untuk meniti karir sekali lagi.

"Bagaimana? Kau mau?" tanya Takumi.

"Ya, ya, tentu aku mau. Tapi aku harus membicarakan ini dengan orang tuaku dulu."

"Oke. Oh, satu hal lagi. Aku ingin Harukaze mengisi soundtrack. Hmm, kurasa tiga lagu sudah cukup," ujar Takumi.

"Harukaze?"

"Ya, kenapa? Ada masalah?"

"Kami sudah berbulan-bulan vakum."

Takumi tergelak. "Justru anime ini akan menjadi momen yang bagus untuk kembalinya kalian. Jangan sia-siakan ini, Nara-san."

"Baiklah. Aku akan segera mengonfirmasi semuanya."

"Oke. Bye."

Jantung Nara berdegup cepat saat dia menghampiri ibunya di dapur. Dia mengambil segelas air, meminumnya perlahan untuk meredakan rasa gugup. Kemudian, dia berdiri mematung di samping ibunya yang sedang mencincang cabai.

"Tadi siapa yang telepon? Dari Jepang?" tanya Hana karena Nara tak kunjung bicara. Wanita itu tanpa sengaja mendengar putranya berbicara dalam bahasa Jepang.

"Iya." Nara menghela napas panjang. "Bu, saya mau ke Jepang lagi, ditawarin kerja," gumamnya pelan.

Seketika Hana menghentikan aktivitas. "Ke Jepang?"

"Iya. Saya mau tinggal di sana lagi."

Tangan Hana yang menggenggam gagang pisau melemas. Dia menghela napas. "Baru berapa bulan kamu di sini."

Nara terdiam, sudah menduga ibunya tak akan rela berpisah lagi. Dia pun sebenarnya tak ingin meninggalkan kehangatan yang dia dapatkan dari keluarga selama beberapa bulan terakhir.

"Berapa lama mau di Jepang?" tanya Hana.

"Menetap." Sebelum ibunya berbicara lagi, Nara langsung mengutarakan pikiran, "Bu, saya nggak bisa di sini lama-lama. Saya nggak bisa berkembang di sini."

"Tapi kenapa mesti pergi lagi?"

"Musisi kayak saya mana bisa laku di sini. Coba lihat selera pasar di Indonesia. Industri musiknya juga jelek."

"Tapi -"

"Bu, tolong ngerti," sela Nara. "Banyak hal yang bakal saya lewatin kalau saya diam di sini. Saya mau pergi, tapi saya janji bakal pulang tiap tahun."

Hana tertunduk, melepas pisau yang digenggamnya. "Janji?"

"Ya."

Hana memegang pundak putranya, air matanya mendesak keluar. Dia teringat momen sebelas tahun lalu, saat Nara minta izin pergi merantau ke Rotterdam untuk berkuliah dan meniti karir tanpa rencana. Namun, Nara berhasil membuktikan bahwa dia mampu, sehingga tak ada alasan bagi Hana untuk melarang putranya pergi lagi. "Ibu pegang janjimu," ucapnya lirih.

"Makasih, Bu." Air mata dan senyum haru menghias wajah Nara.

Tanpa membuang waktu lagi, Nara langsung berkemas-kemas, menyiapkan segala keperluan keberangkatan ke Jepang. Tiga hari berselang, dia diantar ke bandara oleh orang tuanya. Keluarga kecil sang kakak juga ikut serta.

"Hati-hati, ya. Jaga diri, jaga kesehatan, sering-sering kabarin Ibu ...." Hana memberi pesan panjang lebar untuk Nara.

"Iya, Bu, iya. Doain saya sukses, ya." Nara menoleh pada ayahnya, kemudian mereka berjabat tangan erat. "Pak, saya berangkat dulu."

Arda menepuk pundak putranya. "Sukses di sana, ya. Jangan lupa rumah."

"Nggak bakal." Nara berbalik, menoleh ke arah Rendra. "Bang," ucapnya singkat.

"Hati-hati," kata Rendra, lalu menjabat tangan sang adik.

Kemudian, saat akan berpamitan pada Siska, Nara diserang rasa canggung. Pria itu tertunduk, tak sanggup memandang wanita di hadapannya. "Siska ...."

Siska tersenyum simpul. "Hati-hati, ya."

Lihat selengkapnya