Saya tidak benar-benar bekerja di kantor.
Pada 2003, anak pertama kami lahir. Saat saya kembali bekerja, saya ingin waktu saya di kantor seberkualitas waktu saya bersama keluarga. Saya mengevaluasi kebiasaan saya dengan saksama—dan menyadari bahwa saya tidak benar-benar mencurahkan usaha terbaik saya untuk mengerjakan hal-hal penting.
Maka dari itu, saya mulai memperbaikinya. Saya membaca buku-buku tentang produktivitas. Saya membuat banyak lembar lajur untuk melacak seberapa efisien saya saat berolahraga pada pagi hari dibandingkan saat siang hari, atau saat saya minum kopi dibandingkan teh. Selama sebulan, saya bereksperimen dengan lima jenis daftar pekerjaan yang berbeda. Ya, semua analisis ini memang aneh. Namun, sedikit demi sedikit saya menjadi semakin terfokus dan terorganisasi.
Lalu, pada 2007, saya mendapatkan pekerjaan di Google, sebuah lingkungan sempurna untuk penggila proses seperti saya. Google mendorong adanya percobaan, tidak hanya dalam produk-produknya, tetapi juga pada metode yang dilakukan oleh tiap individu ... dan timnya.
Memperbaiki proses yang ditempuh tim menjadi obsesi baru bagi saya (ya, aneh memang). Usaha pertama saya adalah lokakarya sumbang saran bersama tim rekayasa. Sumbang saran kelompok, tempat semua orang bisa menyuarakan ide mereka, terasa sangat menyenangkan. Setelah berkumpul selama beberapa jam, kami memiliki setumpuk catatan kecil dan semua orang akan merasa sangat bersemangat.
Akan tetapi, suatu hari, di tengah diskusi, seorang insinyur mengganggu proses ini. “Bagaimana Anda tahu kalau diskusi ini berhasil?” tanyanya. Saya tak yakin harus menjawab apa. Sebenarnya, kenyataannya memalukan: saya sudah menyurvei para peserta untuk mencari tahu apakah mereka menikmati lokakarya tersebut, tetapi saya belum mengukur hasil sesungguhnya.
Maka, saya menilik kembali hasil lokakarya yang sudah saya jalankan. Namun, saya kemudian menyadari sebuah masalah. Ide yang akhirnya diluncurkan dan sukses bukanlah gagasan yang dihasilkan dalam diskusi alot dalam lokakarya. Ide-ide terbaik lahir dari tempat lain. Namun, dari mana ide itu berasal?
Kami masih mencari ide dengan cara yang sama seperti biasanya—sambil duduk di meja, menunggu di kedai kopi, atau saat mandi. Ide-ide yang dihasilkan secara individu ini rupanya lebih baik. Saat kehebohan lokakarya berakhir, ide yang dihasilkan dalam diskusi rupanya tidak cukup bersaing.
Mungkin waktu untuk berpikir secara mendalam dalam sesi ini masih kurang. Mungkin, karena diskusi ini hanya menghasilkan gambar-gambar di kertas, bukannya suatu hal yang realistis. Semakin saya memikirkannya, semakin banyak kesalahan yang saya temukan dalam pendekatan ini.
Saya membandingkan proses diskusi ini dengan pekerjaan sehari-hari saya di Google. Saya bisa mencapai kinerja terbaik saya saat saya menghadapi sebuah tantangan besar dengan tenggat yang mepet.
Proyek besar semacam ini terjadi pada 2009. Seorang insinyur Gmail bernama Peter Balsiger mencetuskan ide mengenai surel yang bisa teratur secara otomatis. Saya sangat tertarik dengan idenya—yang disebut “Kotak Masuk Prioritas”—dan merekrut insinyur lain, Annie Chen, untuk bergabung bersama kami. Annie setuju, tetapi dia hanya punya waktu sebulan untuk mengerjakannya. Kalau kami tidak bisa membuktikan bahwa ide itu bisa diterapkan dalam jangka waktu tersebut, Annie akan beralih ke proyek lainnya. Saya yakin waktunya tidak akan cukup, tetapi Annie adalah insinyur yang luar biasa. Jadi, saya memutuskan untuk menjalaninya saja.
Kami membagi waktu sebulan itu ke dalam empat bagian yang masing-masing lamanya seminggu. Setiap pekan, kami menggarap desain baru. Annie dan Peter membuat purwarupa, lalu pada akhir minggu, kami menguji desain ini bersama beberapa ratus orang lainnya.
Pada akhir bulan, kami menemukan solusi yang bisa dipahami dan diinginkan orang-orang. Annie tetap menjadi pemimpin untuk Tim Kotak Masuk Prioritas. Dan entah bagaimana caranya, kami berhasil menyelesaikan tugas desainnya dalam waktu yang lebih singkat daripada biasanya.